17. Kalah Telak

2336 Kata
"Kok belok ke sini?" Vio langsung menyambar lengan Ryota untuk menghentikan langkah suaminya ketika jalan yang mereka lalui tidak menuju ruangan pria itu. "Saya mau antar ke ruangan kamu." Vio bertanya tidak suka. "Ruangan aku?" "Iya. Saya sudah minta orang untuk siapkan ruangan kamu." "Aku kan udah bilang, aku maunya ngantor di ruangan kamu," sahut Vio ngotot. Apa Ryota ini b***k atau bebal, Vio jadi dongkol. Semalam jelas-jelas dia sudah bilang ingin berkantor di ruangan Ryota, tetapi pagi ini pria itu malah mengasingkannya ke ruangan lain. "Tidak bisa begitu," tolak Ryota tegas. "Kenapa?" "Kamu mau bekerja atau mau mengawasi gerak-gerik saya?" tanya Ryota sinis. "Ih, curigaan!" desis Vio sebal. "Aku kan harus banyak belajar, kalo aku beda ruangan sama kamu, gimana belajarnya?" "Saya akan datang untuk ajari kamu, tapi tidak bisa sepanjang hari. Saya juga perlu menyelesaikan pekerjaan saya." "Aku enggak larang kamu beresin kerjaan. Silakan aja.” Vio mengedik santai. “Aku kan bisa banyak belajar dari mengamati keseharian kamu. Lagian, dengan pakai satu ruangan bersama, banyak keuntungannya tau. Kita bisa hemat waktu, kalau mau ngomong ya tinggal ngomong, enggak perlu pindah ruangan. Hemat listrik, hemat ruangan, hemat tenaga buat bersih-bersihnya. Pokoknya banyakan plus dari minusnya. Malah kayaknya enggak ada minusnya tuh. Malah nih ya …, kita bisa curi-curi kesempatan kalau mau …. " “STOP!” cegah Ryota. Ia sudah bisa menebak kelanjutan kata-kata Vio. Vio mengulum senyum. “Tapi kan aku bener. Enggak ada minusnya, kan?”  "Minusnya adalah saya tidak bisa fokus bekerja," sahut Ryota dingin. "Aku janji enggak akan ganggu kamu kok," ujar Vio dengan wajah manis yang penuh tipu. Ryota tetap menolak. "Tetap saja saya sulit berkonsentrasi." "Kenapa? Enggak tahan pengin mesra-mesraan sama aku ya?" goda Vio. "Kamu kalau bicara tolong jangan sembarangan, Violet," tegur Ryota. "Cuma becanda malah marah," gerutu gadis itu jengkel. "Jangan-jangan kamu enggak mau seruangan sama aku karena takut enggak bebas mesra-mesraan sama cewek yang kemarin itu ya?" "Kenapa harus membahas Melinda lagi?" desah Ryota lelah.  "Abis tiap inget dia masih sebel terus." "Ya sudah, kalau kamu maunya berkantor di ruangan saya, silakan. Saya tidak akan paksa kamu ke ruangan lain." Pada akhirnya, Ryota lagi-lagi kalah dengan keinginan Vio. Bukan Ryota takut pada gadis ini, hanya saja ia lelah terus berdebat sepanjang waktu. "Makasih, Ryota!" Vio langsung berjingkrak kesenangan dan refleks memeluk Ryota. "Violet, ini di kantor!” seru Ryota terkejut. Ia langsung menarik lepas tangan Vio yang melingkari lehernya dan mendorong gadis itu menjauh. “Tolong jaga sikap kamu." "Kalo di rumah boleh ya?" goda Vio. Benar-benar gadis ini tidak ada matinya. Dimarahi seperti apa pun, dia tidak pernah takut pada Ryota. Ryota tidak menanggapi Vio lagi. Ia segera berbalik dan meninggalkan gadis itu untuk menuju ruangannya. Sedikit lebih lama lagi di lorong ini, mereka akan menarik banyak perhatian karyawan lain yang sejak tadi lalu lalang. Dalam hatinya, Ryota harus mulai berdamai dengan diri sendiri bahwa mulai hari ini ketenangannya akan benar-benar dirampas. Baik di rumah atau di tempat kerja, Ryota tidak bisa lagi menghindar dari Vio. Ryota juga harus menerima dengan pasrah ketika sepanjang hari Vio duduk di hadapannya, tidak beranjak sama sekali. Hanya matanya saja yang terus awas mengikuti ke mana Ryota bergerak.  "Mau sampai kapan kamu mengawasi saya begitu?" Akhirnya Ryota tidak tahan juga. Ia tidak nyaman bekerja di bawah tatapan mata Vio terus-menerus. Vio yang sejak tadi duduk bertopang dagu di depan Ryota hanya menggeleng kecil. "Aku enggak awasin kamu kok." "Kamu pikir saya tidak tahu kalau mata kamu terus bergerak setiap kali saya bergerak?" "Aku tuh bukan mengawasi tau. Aku cuma mengagumi ketampanan kamu yang luar biasa." Vio tersenyum bahagia. Belum pernah sebelumnya ia memiliki kesempatan untuk bebas menikmati profil Ryota tanpa khawatir ketahuan atau mungkin diusir. Namun, mulai hari ini, kesempatan berharga itu jadi milik Vio. "Dan aku baru tau kalo ternyata suami aku makin memikat kalo lagi kerja gini. Ketampanan kamu meningkat berkali-kali lipat." "Violet, bisa tolong kamu alihkan mata kamu ke tempat lain?" pinta Ryota setengah memohon. "Kenapa sih?"  Ryota memijat pelipisnya sekilas. "Saya tidak bisa bekerja kalau begini."  "Terus aku mesti liat ke arah mana? Kalo miring-miring nanti aku sakit leher. Enakan liat ke depan." "Kamu boleh lihat ke depan, tapi duduknya pindah." "Mau pindah ke mana? Kan meja aku belum ada." "Andai bisa, saya akan angkut sendiri meja kamu ke sini," desis Ryota frustasi.  Meja untuk Vio memang belum bisa disediakan karena para karyawan yang biasa mengerjakan urusan seperti ini sedang sibuk bertugas di tempat lain. Lagi pula, Ryota juga tidak enak hati karena tadi sudah memberi perintah untuk menyiapkan ruangan baru pagi-pagi sekali dan sekarang malah tidak jadi dipakai. Sudah begitu, masih juga memberi perintah lagi untuk memindahkan meja dari ruangan tersebut ke ruangannya.  "Jangan! Nanti kamu tambah seksi di mata aku." "Hah?" Ryota melongo. "Eh, tapi boleh juga deh! Puasin fantasi aku liat lelaki ganteng kayak kamu buka jas, gulung lengan kemeja, terus angkat-angkat barang berat. Pasti keliatan macho banget. Otot-ototnya nonjol semua, terus basah-basah berkeringat." "Violet, cukup!"  Baru saja Vio hendak melanjutkan menggoda Ryota, pria itu sudah keburu terselamatkan karena pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. "Siang, Pak!" Terdengar suara ceria seorang perempuan di pintu. Refleks Vio langsung menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang datang. Matanya memicing seketika menemukan sosok Melinda di sana.  "Eh, maaf! Ada tamu ya, Pak?"   Vio mencibir sinis melihat kelakuan Melinda. Sebagai sesama perempuan, ia tahu benar tingkah busuk perempuan itu. Melinda berlagak tidak enak, padahal Vio yakin sama sekali tidak begitu. "Masuk saja," ujar Ryota. Vio kembali mencibir. Lihat saja bagaimana perempuan itu langsung melenggang santai masuk ke ruangan Ryota begitu dipersilakan. "Ada apa, Mel?" tanya Ryota begitu Melinda tiba di depan mejanya. Mendengar Ryota menyapa Melinda sesantai itu, kekesalan Vio semakin bertambah. Dirinya saja tidak pernah dipanggil sesantai itu, tapi Ryota bisa-bisanya hanya menyapa perempuan ini dengan sebutan ‘Mel’ saja.  "Ini, Pak." Melinda meletakkan setumpuk berkas di meja Ryota. "Saya mau menyerahkan tujuh naskah yang baru selesai saya seleksi. Mungkin Bapak ingin periksa dulu." "Taruh saja, nanti saya periksa." "Iya, Pak." "Ada lagi?" tanya Ryota karena Melinda terlihat masih ingin mengatakan sesuatu. "Bapak mau makan sama-sama?" Vio yang sejak tadi memang sudah dongkol, langsung menoleh ke samping, menatap sebal pada Melinda yang berdiri di sisi kursinya. Tangan Vio rasanya gatal ingin menjambak rambut Melinda yang tergerai panjang hingga batas pinggang perempuan itu. "Mel, kamu sudah kenal dengan Violet?"  Melinda menoleh ke samping, menatap sepintas pada gadis baru yang sejak tadi duduk diam di sisinya. "Belum, Pak." "Coba berkenalan dulu," ujar Ryota sambil menatap keduanya bergantian. "Violet kenalkan. Ini Melinda, editor akuisisi di Advaith." Vio tidak berniat mengulurkan tangan terlebih dahulu pada Melinda. Ia hanya diam saja tanpa reaksi. "Dan Mel, ini Violet.” Ryota melanjutkan perkenalan mereka. “Mulai hari ini Violet akan belajar di sini." Vio masih menunggu ucapan selanjutnya, tetapi ternyata tidak ada lagi. Ryota hanya memperkenalkannya sebatas itu saja. "Magang, Pak?" tanya Melinda dengan nada sedikit meremehkan. "Bisa dibilang begitu." Ryota mengangguk kecil. Sontak mata Vio melebar. Benar-benar tidak percaya mendengar ucapan Ryota. Namun, ia sengaja tidak mengoreksinya. Vio jadi ingin tahu, seperti apa kelakuan asli Melinda. Andai perempuan ini sudah tahu lebih dulu kalau Vio adalah pemilik Advaith sekaligus istri Ryota, mungkin perempuan itu akan berpura-pura baik dan menutupi belangnya. Merasa Vio bukan siapa-siapa, Melinda mengulurkan tangan dengan gaya angkuh. Apalagi saat ini posisinya ia berdiri sementara Vio duduk. Rasanya ia semakin superior saja. "Selamat datang di Advaith, semoga betah ya. Kalau ada yang ingin ditanya, jangan sungkan." Tidak tahan dengan sikap Melinda yang membuatnya jengkel parah, Vio berdiri cepat lalu balas menjabat tangan perempuan itu. Ketika posisi mereka sama-sama berdiri, Melinda tidak bisa lagi merasa superior. Tubuh jenjang Vio yang bak model profesional itu memang mampu membuat perempuan mana saja merasa rendah diri. Melihat Vio berdiri, Ryota tanpa sadar mengikuti juga. "Kamu mau ikut makan?" "Sama siapa aja?" balas Vio santai. "Biasanya bersama tim editor dan manajemen," jawab Ryota. "Makan di mana?" "Paling di kantin.” Kali ini Melinda yang menjawab. “Mau coba bergabung?"  "Sure!" sambut Vio tanpa berpikir. "Kamu tidak mau makan di luar?" tanya Ryota heran. Vio tersenyum manis lalu menjawab tenang. "Aku maunya makan bareng kamu." *** "Vi, capek nih!" keluh Tita memelas.  "Iya nih, kaki Ry udah enggak ada rasanya," rengek gadis itu hampir menangis. "Emang biasa kaki lo rasa apa?" sahut Vio ketus. "Ih, Vio! Maksudnya kaki Ry ini udah capek banget, sampe baal. Enggak bisa ngerasain apa-apa." "Lumpuh dong lo." Lagi-lagi Vio menanggapi dengan ketus. "Vio! Jahat banget sih sama Ry!" "Vi, kamu kenapa sih?” tanya Tita penasaran. “Kalo belanja gila-gilaan gini, biasanya kamu lagi kesel." Sudah hampir empat jam ketiga sahabat Vio menemani gadis itu berkeliling mall tanpa jeda sama sekali. Awalnya, seperti biasa di hari libur kejepit seperti ini, mereka berkumpul di apartemen Gin sejak pagi. Menjelang siang, Vio mulai merengek minta ditemani belanja, dan sampai sekarang gadis itu belum juga berniat menyudahi acara belanja kalapnya. "Cari tempat nongkrong dulu aja yuk!” ajak Mia ketika melihat Vio hendak menjawab keheranan mereka. “Istirahat sambil minum." "Ry sekalian mau makan!" seru Ry cepat. "Makan mulu!" omel Vio. "Biar!” sahut Ry tidak peduli. “Daripada mati lemas nemenin Vio keliling kayak gini." "Kenapa sih, Vi? Lagi kesel gara-gara apa?" Tita membuka kembali pertanyaannya semula setelah mereka selesai memesan minuman dan duduk bersantai di salah satu kedai kopi terkenal dalam mall itu. "Tau kan kalo gue tuh mulai ngantor di Advaith dari beberapa minggu yang lalu?" ujar Vio. Semuanya serempak mengangguk. "Tau penyebabnya?" tanya Vio. "Gara-gara cewek melata itu?" tebak Ry. "Kok tau?" Vio mengernyit heran. Padahal ia belum sempat bercerita pada yang lain. "Bocoran dari Mbak Mia dong," sahut Ry bangga. "Ck!" Vio berdecak sebal. "Kamu kan enggak bilang harus dirahasiain," sahut Mia tanpa dosa. "Jadi cewek melata itu ngapain Vio?" tanya Ry penasaran. "Salah nanyanya. Harusnya tanya, cewek itu ngapain Ryota?" ralat Mia. "Dia tuh kegatelan banget deh!" Vio langsung menggeram jengkel. "Kegatelannya gimana?" tanya Tita belum paham. "Dikit-dikit dateng terus ke ruangan Ryota. Terus sok perhatian gitu, sok berasa paling tau dan paling kenal soal Ryota. Kan keki!" ujar Vio dongkol. "Misalnya?" tanya Mia. "Masa nih ya, pas makan siang bareng dia sok-sokan pesenan makanan buat Ryota tanpa nanya dulu, padahal di situ ada gue loh yang jelas-jelas bininya." “Emang dia tau kamu istrinya Ryota?” Setahu Mia, Melindah belum mengetahui fakta itu. “Enggak tau sih,” jawab Vio malas. “Kalo gitu yang dia enggak salah-salah banget kali,” ujar Tita mencoba berpikir positif.  "Tetep aja ngeselin. Kesannya kayak dia itu yang paling tau banget apa yang Ryota suka." "Dan Ryota beneran suka?" tanya Mia. "Ryota sih makan aja tanpa protes." "Kalo Vio tau enggak makanan yang Babang Ryota suka sama yang enggak suka?" tanya Ry. Vio mengangkat bahunya cepat. "Enggak tau." "Wah!” desis Mia. “Menang selangkah dia." "Terus apa lagi?" tanya Tita. "Terus ya, dia sering banget sore-sore dateng ke ruangan Ryota lagi, padahal siangnya atau paginya udah dateng bawa kerjaan.” “Bener yang dibawa kerjaan?” Mia bertanya sinis. “Tau deh! Beneran kerjaan apa kerjaan yang dicari-cari doang,” sahut Vio ketus. “Terus sore-sore ngapain dateng lagi ke ruangan Babang Ryo?” Ry mulai ikutan curigaan seperti Mia dan Vio. “Bawain kopi buat Ryota." Mia memicingkan matanya. "Ryota minum?"  "Minum." Vio mengangguk sebal. "Mas Ryota emang suka kopi?" Kecurigaan yang lain mulai ikut menular juga pada Tita, padahal biasanya gadis ini yang paling bersih hatinya dan selalu berpikiran positif tentang orang lain. Vio mengangkat bahunya kesal. "Enggak tau." "Wah!” seru Mia semakin memanasi. “Menang lagi." "Eh, dia bawain buat Vio juga?" tanya Ry. "Enggak. Katanya takut gue enggak doyan." Lagi pula, andai dibawakan oleh Melinda, Vio juga tidak akan sudi meminumnya. Malah cukup sering Vio melakukan sabotase. Kopi yang Melinda belikan untuk Ryota, dilemparnya ke tong sampah dengan kejam. "Terus terus, ada lagi?" Ry bertanya bak pemburu gossip sejati yang haus berita. "Ada dong! Masih banyak!" seru Vio keki. Lalu meluncurlah dari bibir Vio semua cerita menyebalkan perihal kelakuan Melinda yang jelas-jelas terlihat berusaha menarik perhatian Ryota. Hal ini bukan saja berdasarkan kecemburuan semata, melainkan fakta di lapangan. Vio juga bukan istri yang cemburu buta dan mencurigai semua perempuan di sekitar Ryota. Hanya pada Melinda saja kecurigaannya terarah. Terkadang Vio memang menemukan karyawan perempuan lain yang memandang Ryota dengan penuh kekaguman, tetapi hanya sebatas itu saja. Tidak ada aksi berlebih seperti yang Melinda lakukan. "Pantes Vio belanja edan-edanan gini," desah Tita kasihan. Maklumlah Tita mengapa Vio jadi kesetanan belanja seperti hari ini. "Iyalah! Gue keki berat." "Enggak bisa dibiarin kalo kayak gini," gumam Mia dengan tatapan berbahaya. Ry mengangguk setuju mendukung ucapan Mia. "Vio harus susun siasat buat mengalahkan si ular melata." "Kok jadi ular melata?" tanya Tita bingung. "Gapapa, pengin aja bilang ular. Kan ular itu licik, simbol penggoda," ujar Ry sesuka hati. "Gue tau apa yang mesti Vio lakuin," ujar Mia setelah berpikir beberapa saat. "Apa, Mbak?" sambut Ry penasaran. "Kalau di kantor Vio enggak punya kuasa atas Ryota, berarti dia harus punya kuasa di tempat lain." Mia mengatakannya dengan nada penuh teka-teki. "Maksudnya?" tanya Vio curiga. "Ranjang," ujar Mia singkat.  "Hah?" Vio mendelik kaget. "Vio harus taklukin Ryota di ranjang dan bikin dia enggak bisa berpaling ke cewek lain.” Demikianlah ajaran Mia si ahli urusan ranjang, setidaknya di antara mereka berempat dialah ahlinya. "Gimana caranya? Orang Vio ditolak terus," keluh Vio lesu. Rasanya Vio mulai patah arang mencari berbagai cara untuk mendekati Ryota. "Lo harus jadi penggoda kelas kakap," jawab Mia. "Hah?" Lagi-lagi Vio mendelik. Mia memajukan wajahnya, memberi kode agar Vio mendekat, lalu berbisik, "Lingeriè dari kita masih ada?"  "Masih." "Udah pernah dipake?" "Belum." "Pake!" Mia menjentikkan jarinya di depan wajah Vio. "..." Dan Vio langsung melongo mendengar perkataan frontal Mia. Terbayang dalam kepalanya bagaimana isi set lengkap dalam kotak pemberian ketiga sahabatnya. "Atau lo butuh yang lebih fantastis lagi?" tantang Mia. "Gìla!" desis Vio sambil menggeleng kencang. "Gue serius, Vi,” sahut Mia tidak sabar. “Enggak akan ada laki-laki yang bisa nolak cewek setengah telanjang yang tergeletak pasrah di atas ranjangnya, kecuali dia homo."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN