18. Misi Penuh Perjuangan

2110 Kata
"Violet ….” Ryota mengetuk meja kerja Vio dengan tidak sabar. "Hm?" Gadis yang sejak tadi menunduk memandangi buku tebal di meja, tentunya karena tugas dari Ryota untuk dibaca karena Vio tidak serajin itu, langsung mendongak kaget. Seingatnya, tadi Ryota sedang anteng mengerjakan sesuatu di meja kerjanya sendiri. Kenapa sekarang tahu-tahu saja pria itu sudah berdiri tepat di depan meja kerjanya? Kapan Ryota datang? "Kamu dengar yang saya katakan?" tanya Ryota gusar. "Hah?" Vio mengerjap bingung. "Ada apa dengan kamu hari ini?" Ryota mendengkus jengkel. Sejak pagi, entah sudah berapa kali ia mendapati Vio melamun. Pikiran gadis itu entah mengembara ke mana, membuat Ryota harus memanggilnya berkali-kali atau mengulang-ulang bicara setiap kali ada urusan dengan Vio. Vio menggeleng pelan. "Enggak ada apa-apa." "Kamu terlihat tidak fokus hari ini," ujar Ryota tajam. "Masa?" sahut Vio setengah melamun. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" "Enggak ada." Kembali Vio menggeleng. Namun, tentu saja Ryota tidak percaya. Ia cukup mengenal baik kebiasaan Vio. Gadis ini tidak pernah bisa diam kecuali sedang tidur. Selebihnya, Vio hiperaktif. Ryota menatap curiga pada Vio yang sudah kembali tenggelam dalam lamunannya sendiri, lalu tiba-tiba saja kejadian janggal pagi tadi melintas dalam ingatan pria itu. . "Kamu mau ke mana?" Ryota bertanya heran karena Vio melewati mobilnya begitu saja saat mereka seharusnya berangkat bersama. Vio berhenti melangkah dan hanya balas bergumam tidak jelas. "Tidak kerja hari ini?" tanya Ryota lagi. "Kerja," jawab Vio datar. Ryota menunjuk mobilnya yang sedang dipanaskan. "Mobilnya di sini." "Aku naik mobil sendiri aja," tolak Vio. Sontak Ryota mengernyit curiga. "Kenapa?" "Kenapa, kenapa?" sahut Vio membingungkan. "Hm?" Ryota jadi melongo mendengar ucapan Vio yang tidak jelas. Tiba-tiba seulas senyum licik muncul di wajah Vio. "Merasa kehilangan karena biasa selalu berangkat bareng ya?" Ryota menggeleng malas. "Kalau tidak mau jawab ya sudah." Memang percuma mengajak Vio bicara baik-baik, gadis itu tidak pernah bisa serius. Selalu saja berujung menggoda Ryota dengan segala kecentilannya. Mana mungkin ia merasa kehilangan? Malah lega yang ada. Hanya saja, ini janggal. Vio biasanya tidak pernah mau jauh-jauh dari Ryota. Kalau bisa masuk ke dalam kantongnya, mungkin akan Vio lakukan agar mereka jadi tidak terpisahkan.  "Aku nanti sore ada kerjaan. Jadi mau pulang lebih cepet," ujar Vio menjelaskan sebelum ia berlalu meninggalkan Ryota yang masih diliputi tanda tanya. . Tiba-tiba saja Ryota kembali bertanya. "Apa kamu sedang memikirkan pekerjaan kamu nanti sore?"  "Eh?” Vio jelas terkejut. Tidak disangkanya Ryota akan menebak demikian. Namun, ia tidak bisa berbohong. Akhirnya, Vio hanya mengiakan saja. “Mm …, iya." "Apa pekerjaan itu sangat penting?"  "Hm." Kembali Vio mengangguk. "Kalau begitu lebih baik kamu pulang saja sekarang.”  "Kenapa?" Entah maksudnya tengah menyindir, atau sungguh Ryota tulus mengizinkannya pulang, Vio tidak bisa menebaknya. "Pikiran kamu tidak ada di sini. Percuma dipaksakan. Lebih baik pulang saja dan urus pekerjaan kamu." "Bener gapapa aku pulang sekarang?" tanya Vio dengan mata berbinar. Jujur saja ia memang sama sekali tidak bisa fokus hari ini. Pekerjaan yang harus ia lakukan sore nanti begitu menghantui pikiran Vio dan membuatnya sulit berkonsentrasi pada hal lain. Pekerjaan maha penting yang membutuhkan perhatian ekstra, karena ini menyangkut masa depan Vio. "Hm." Ryota mengangguk kecil. "Kalo gitu aku pulang duluan ya." Tanpa segan, Vio langsung bergerak cepat merapikan meja kerja dan barang bawaannya, lalu menghilang dari ruangan Ryota.  Tinggallah Ryota dalam kebingungan. Benar-benar hari ini Vio bertingkah di luar kebiasaannya.  Namun, bukan hanya Ryota yang dibuat kebingungan, Darmi yang membukakan pintu rumah untuk Vio pun langsung heran. "Loh, Non Vio sudah pulang?" "Iya, Mbok." “Non sakit?” tanya Darmi khawatir. Vio tersenyum kecil. Merasa sangat disayang oleh wanita tua ini. “Enggak kok.” Darmi mencoba melihat keluar dan kebingungannya semakin bertambah. "Mas Ryo mana, Non?" "Masih di kantor, Mbok." "Non Vio bener tidak sakit?"  "Bener, Mbok." Vio menepuk pundak Darmi untuk menenangkan wanita itu. "Kalau gitu kenapa pulang cepat, Non?" "Ada kerjaan yang harus Vio beresin, Mbok." "Non Vio mau pergi lagi?" "Enggak. Vio mau beresin kerjaan dari rumah." Sebelum berlalu menuju lantai atas, Vio tidak lupa berpesan pada Darmi. "Jangan ganggu Vio ya, Mbok. Jangan panggil buat makan malam juga. Vio udah makan tadi." "Baik, Non." Entah apa yang Vio lakukan di kamarnya, hanya gadis itu sendirilah yang tahu.  *** Vio menatap pantulan dirinya di cermin. Saat ini perasaannya campur aduk. Senang sekaligus senewen. Cepat-cepat Vio menyambar ponselnya lalu mengirim pesan pribadi pada Mia.  . Vio: Mbak tegang Mia: tegang kenapa? Vio: mau jalanin misi Mia: serius?? Vio: serius Mbak Mia: udah prepare? Vio: udah luluran udah berendam lama udah cukuran udah pake skincare . Vio langsung menjabarkan semua kegiatan yang sudah dilakukannya sepanjang sore tadi hingga sekarang hari sudah malam. . Mia: ga penting semua itu! Mia: yang mesti dilaporin, udah pake lingerie belum? . Balasan Mia begitu menohok, membuat Vio bergidik ngeri. . Vio: Mbak ga ada sensor banget sih Mia: apa yang salah sama lingerie sih? Vio: iya deh iya Vio: yang udah expert bedalah! Mia: oh tentu!  Mia: hari ini lo pake model apa? Vio: bingung . Vio menatap jajaran ling*rie yang ia bariskan di atas tempat tidur. . Vio: belum mutusin Vio: menurut Mbak bagusnya yang mana Mia: karena ini pengalaman pertama, menurut gue mending main aman.  Vio: maksud? Mia: pilih yang agak baik2, kasih kesan polos dan anggun, jangan dulu pake yang bitchy Vio: yang model panjang aja gitu? Mia: boleh juga Vio: warna apa? Mia: waktu itu beli warna apa aja sih? Vio: putih, ungu muda, biru safir, merah darah Mia: buset! banyak amat.  Mia: itu satu model doang? Vio: itu yang panjang Mia: model lain masih banyak? Vio: banyak Mia: ckckck! ngapain beli banyak2 sih? . Seketika Vio menggeram jengkel.  . Vio: pake nanya! kan kalian yang borong semua Vio: seenaknya aja masuk2in ke belanjaan Vio Mia: masa? Vio: ck! Mia: kalo gitu kapan2 gue boleh pinjem nih  Vio: boleh Mbak Vio: ambil semua juga silakan Vio: tapi sekarang masalahnya Vio mesti pake yang mana? Mia: saran gue, pilih ungu aja. Mia: sesuai nama Vio: oke deh . Vio berlari cepat menyambar lingerie berwarna ungu sesuai saran Mia lalu segera memakinya. Begitu selesai, Vio kembali mematut dirinya di cermin. Mendadak ia merasa mulas. Untuk meredakan ketegangan yang bisa membuatnya gila, Vio kembali berbalas pesan dengan Mia. . Mia: udah dipake? Vio: udah Mia: fotoin dong Vio: gila! jangan aneh2 deh Mbak! Mia: wkwkwkwkk pelit Vio: yang ada nanti foto Vio beredar. amit2 Mia: pertanyaannya sekarang, udah siap tempur? Vio: siap tapi gemeteran Mia: cemen ah Vio: Mbak ini beneran Vio nunggu aja di kamarnya? Mia: iya. udah sana! Mia: jangan lupa laporin hasilnya . Setelah menguatkan hati, membulatkan tekad, dan meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja, Vio meraih mantel panjang yang biasa ia gunakan saat bepergian ke luar negeri di musim semi, lalu memakainya untuk menutupi kulit mulusnya yang terpampang sempurna. Vio mengendap-endap meninggalkan kamarnya untuk menuju kamar Ryota. Tiba di kamar suaminya, Vio membuka mantel yang ia kenakan, menggantungnya di dalam lemari pakaian Ryota, lalu menyelinap ke dalam selimut. Sambil menunggu kepulangan Ryota, Vio asyik bermain ponsel agar tegangnya berkurang. Namun sayang, yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang.  "Lama banget sih, kan ngantuk gue lama-lama. Mana dingin gini. Bisa-bisa yang ada besok gue demam lagi ini sih," gerutu Vio antara bosan dan mengantuk. Pada akhirnya, Vio harus menyerah pada kantuk yang teramat kuat. Gadis itu terlelap nyaman di dalam selimut Ryota hingga tidak tahu ketika sang pemilik kamar kembali pulang. Tidurnya sedikit terganggu ketika merasakan guncangan pelan di bahunya. "Violet, apa yang kamu lakukan di sini?" Vio mencoba paksa membuka matanya yang terasa berat dan menemukan Ryota berdiri di sisi tempat tidur. Untuk beberapa saat Vio seperti orang linglung. Barulah setelah kesadarannya terkumpul, ia ingat tujuan kedatangannya ke kamar ini.  "Sekarang jam berapa?" tanya Vio masih dengan suara mengantuk. "Hampir jam satu." "Kamu baru pulang?" "Hm." "Udah makan?" "Violet, jawab pertanyaan saya,” sahut Ryota dengan nada tidak suka. “Sedang apa kamu di sini?" "Nunggu kamu pulang." "Kalau ada yang ingin dibicarakan, kan bisa besok. Kenapa harus tunggu di sini?" tanya Ryota gusar. Vio menggeleng keras kepala. "Maunya hari ini." "Sekarang sudah terlalu larut. Tidur saja. Besok baru bicara." "Hm." Vio mengangguk setuju. Sedetik kemudian, ia memiringkan tubuh lalu kembali memejamkan mata. "Hei, bangun!" seru Ryota panik. Diguncangnya kembali bahu Vio agar gadis itu tidak langsung terlelap lagi. "Kan katanya tidur," erang Vio sebal. "Tidur di kamar kamu," ujar Ryota dingin. Vio menggeleng lagi. "Di sini aja." "Ayo, pindah!" Ryota mulai memaksa Vio untuk bangun.  "Enggak mau," bantah Vio. "Jangan keras kepala, Violet!" sentak Ryota. Ia mulai hilang sabar menghadapi Vio malam ini.  "Jangan tarik!" Vio berseru panik ketika melihat Ryota menunduk lalu hendak menarik paksa selimut yang menutupi tubuhnya. "Ayo, bangun!" Ryota tidak peduli dengan teriakan Vio. Dicengkeramnya tepi selimut kuat-kuat lalu dalam satu entakan kencang ditariknya paksa. Begitu selimut terbuka, terpampanglah tubuh Vio yang terbaring di tempat tidurnya dalam keadaan tidak pantas yang membuat Ryota langsung berteriak geram. "Hòly shìt!" Untuk beberapa saat tubuh Ryota kaku. Pemandangan di hadapannya membuat Ryota gila. Tubuh indah Vio hanya dilapisi gaun tipis berenda berwarna ungu pucat. Gaun yang sebenarnya bukan berfungsi menutupi, tetapi sebaliknya. Membuat kulitnya yang putih mulus terlihat begitu menggoda. Belum lagi aroma memabukkan yang menguar dari tubuh gadis ini.  "Apa-apaan kamu?!" hardik Ryota begitu pulih dari keterkejutannya. Vio juga untuk beberapa saat tadi tidak bisa berkutik. Ia malu sekaligus penasaran, akan seperti apa reaksi Ryota saat melihatnya. Bagaimana pun juga, inilah kali pertama Ryota melihat tubuh Vio secara utuh. Setelah Ryota menghardikanya, Vio baru bisa kembali bergerak. Cepat-cepat ia duduk lalu menarik selimut yang tadi Ryota lempar. "Udah aku bilang jangan ditarik, ditarik juga." "Bukan itu masalahnya!” seru Ryota berang. “Yang jadi masalah itu, kenapa kamu berpakaian seperti ini dan tidur di ranjang saya?!" "Masih perlu ditanya?" tanya Vio tenang. Entah mengapa, Vio yang biasanya akan balas marah-marah, kali ini kehilangan semangat. Tiba-tiba saja ia merasa sangat lelah, sangat gagal, dan sangat malu. Mendengar balasan Vio yang tenang, Ryota jadi kehilangan kata untuk membalas lagi. "Harusnya ngerti kan? Kita tuh pasangan suami istri, wajar kan kalau aku coba mendekati kamu." Tiba-tiba saja ada rasa sakit yang menusuk tajam di hatinya, membuat Vio seketika ingin menangis. Sudah sampai sedemikian ia merendahkan dirinya di hadapan Ryota, tetapi suaminya tetap tidak tergugah. Alih-alih menyambut Vio penuh gairah, Ryota malah menghardiknya dengan kasar. Bukannya menatap Vio dengan pandangan memuja, Ryota malah terlihat jijik. Sebebal-bebalnya Vio, ia juga bisa merasa sakit.  "Violet …," gumam Ryota pelan. Ia bisa menangkap kesakitan di mata Vio dan itu membuatnya dihinggapi rasa bersalah. Terlalu keraskah sikapnya pada gadis ini? Perlahan Vio menanggalkan selimut yang tadi masih ia genggam, turun dari tempat tidur, lalu berdiri berhadapan dengan Ryota. Ditatapnya sang suami dengan pandangan kecewa. "Aku tau kamu enggak suka aku. Kamu juga udah bilang enggak akan ada apa-apa di antara kita, tapi apa salah kalau aku masih berharap? Salah kalau aku mencoba buat mengubah pandangan kamu?"  Ryota terdiam. Sikap Vio yang seperti ini malah membuatnya semakin dilanda rasa bersalah. Masih lebih kalau Vio balas mengamuk. Namun, gadis itu hanya menatapnya kecewa dan berujar tenang.  Melihat Ryota diam saja, Vio kembali bicara dengan senyum getir menghiasi wajahnya. "Apa sih salahnya aku? Apa kurangnya aku di mata kamu?" "Violet, tolong jangan begini," pinta Ryota. "Kenapa sama cewek itu kamu mau didekati? Kamu bisa beramah-ramah sama dia, tapi sama aku enggak. Apa pernah kamu pikirin gimana perasaan aku?" Ketika mengingat bagaimana akrabnya Ryota dengan Melinda, hati Vio selalu dibakar amarah. Dan di situasi seperti ini, bayangan itu membuat air mata Vio mengalir semakin deras. "Apa bagusnya cewek itu dibanding aku?" Ryota benar-benar terdiam tanpa bisa mengatakan apa-apa.  "Aku cuma perempuan biasa yang berharap bisa punya kehidupan normal seperti perempuan lainnya. Dicintai suami," bisik Vio getir. Usai mengutarakan semua kekecewaannya, Vio berbalik dan meninggalkan Ryota. Ia berjalan gontai menuju pintu sambil membuat satu keputusan baru dalam hati. Mungkin sudah saatnya ia berhenti. Vio tidak akan lagi berusaha menggoda Ryota atau memaksa pria itu untuk jatuh cinta. Vio sadar, manusia memang harus berjuang demi inginnya, tetapi ada kalanya manusia juga harus sadar ada waktunya untuk berhenti berjuang ketika hal yang diperjuangkan nyatanya salah.  Melihat Vio berjalan gontai meninggalkan kamarnya tanpa menoleh ke belakang lagi, cepat-cepat Ryota menyambar selimutnya lalu berlari mengeja gadis itu. Meski ia tidak menginginkan Vio, Ryota juga tidak akan mengizinkan orang lain melihat tubuh indah gadis itu. Begitu berhasil mengejar Vio, Ryota langsung menutupi tubuh gadis itu dengan selimut lalu mendekapnya dari belakang. "Maaf," bisik Ryota penuh rasa bersalah. Dalam dekapannya, Ryota bisa merasakan tubuh Vio bergetar menahan isakan. Hal itu membuat Ryota merasa perlu meluruskan satu hal. "Saya tidak akan pernah bisa memberikan apa yang kamu butuhkan. Tapi itu bukan karena salah atau kurangnya kamu. Saya hanya tidak bisa."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN