Sejak Vio belajar menerima kenyataan bahwa suaminya memang tidak bisa dijangkau olehnya, hari-hari gadis itu jadi jauh lebih damai. Vio tidak lagi berusaha memikat Ryota dengan berbagai daya upaya seperti yang terjadi pada dua bulan pertama pernikahan mereka. Kini Vio belajar merelakan, meski dalam hatinya masih ada harap agar suatu saat kelak kehidupan pernikahan mereka bisa berjalan normal.
Enam bulan terakhir ini Vio memutuskan untuk memfokuskan diri belajar mengelola Advaith sebaik-baiknya. Ia sadar, tidak selamanya bisa mengandalkan Ryota. Setelah dijalani, Vio menyadari bahwa ia memiliki ketertarikan yang cukup besar pada Advaith. Hal itu pula yang membuat sikap Ryota cukup banyak berubah padanya. Pria itu sekarang banyak mengajak Vio berdiskusi, menyertakannya dalam berbagai rapat penting, bahkan melibatkannya dalam pengambilan keputusan menyangkut Advaith.
"Violet, hari ini saya ingin memperkenalkan kamu secara resmi di hadapan seluruh karyawan Advaith," ujar Ryota usai membahas perkembangan website mereka.
"Buat apa?"
"Untuk menegaskan posisi kamu," jawab Ryota sambil mengamati reaksi Vio setelah ia memberi jawab. "Selama setengah tahun lebih kamu belajar di sini, banyak kemajuan yang saya lihat. Saya rasa sudah saatnya melibatkan kamu secara resmi dalam pengelolaan Advaith."
Namun, wajah istrinya terlihat tenang-tenang saja, bahkan cenderung datar. Ryota bukan tidak menyadari kalau beberapa waktu terakhir, Vio banyak berubah. Sikapnya jadi jauh lebih dewasa, lebih tenang dan terkendali, serta sedikit sulit terbaca. Berbeda dengan Vio yang dulu begitu terang-terangan.
Melihat Vio hanya diam saja tanpa berkomentar, Ryota bertanya ragu, "kamu setuju?"
"Terserah kamu." Hanya demikian saja jawaban Vio.
Ryota menelan keheranannya dalam hati. Memang gadis ini sudah banyak berubah. Tidak lagi cerewet dan seceria waktu-waktu lalu. "Tapi kalau kamu sudah memegang jabatan resmi, kamu harus punya ruangan sendiri. Tidak bisa lagi diam di ruangan saya seperti selama ini."
Vio mengangguk tenang. "Atur aja."
Untuk yang satu ini, Ryota tidak bisa menahan keheranannya lagi. "Kamu yakin tidak akan ngotot minta tetap berkantor di ruangan ini lagi?"
"Emang kenapa?"
"Jangan sampai karyawan merasa dikerjai. Sudah susah payah menyiapkan ruangan kamu, malah tidak digunakan,” sahut Ryota. Ia teringat kejadian enam bulan lalu ketika pertama kali Vio meminta berkantor di Advaith.
"Aku enggak akan gitu," jawab Vio datar.
Ryota terus memandangi Vio dengan terheran-heran. Mengapa gadis ini berubah sedemikian drastis?
"Kenapa liatin aku begitu?" tanya Vio heran.
"Saya hanya masih sangsi mengingat betapa keras kepalanya kamu waktu itu."
Vio tersenyum sumbang kemudian menjawab tenang. "Enggak selamanya aku keras kepala dan kekanakan."
Ryota mengangguk paham. "Kalau begitu saya akan kumpulkan semua karyawan di hall menjelang waktu makan siang."
Tepat seperti pembicaraan mereka, siang itu Ryota mengajak Vio ke hall untuk mengumumkan tentang gadis itu. Ketika memasuki hall, Vio bisa melihat para karyawan Advaith yang duduk memenuhi semua kursi, bahkan ada yang sampai berdiri. Kemungkinan besar semua memang berkumpul di ruangan ini, baik dari jajaran atas hingga karyawan kebersihan.
"Selamat siang semua! Hari ini, ada satu pengumuman penting yang akan saya sampaikan." Ryota mulai berbicara di atas panggung kecil begitu pintu hall ditutup. "Mungkin sebagian dari kalian ada yang sudah mengenal Violet, tapi banyak juga yang sama sekali tidak tahu. Selama enam bulan terakhir, Violet belajar banyak di Advaith. Itu semua dilakukan bukan tanpa tujuan. Keberadaan Violet selama enam bulan di sini adalah untuk mempersiapkan dirinya agar dapat mengelola Advaith dengan baik."
Para karyawan mulai terlihat berkasak-kusuk dengan rekan-rekan di sebelah mereka. Sementara Ryota yang duduk di kursi terdepan, hanya mendengarkan dengan tenang setiap perkataan suaminya.
"Hari ini, secara resmi saya akan memperkenalkannya pada kalian. Beri tepuk tangan untuk Violetta Davira Brajamusti, putri dari almarhum Bapak Devan Brajamusti, pendiri Advaith."
Begitu Ryota mengumumkan bahwa Vio adalah putri dari pendiri Advaith, ruangan mulai terdengar bising. Banyak desah terkejut yang terdengar dari para karyawan.
Ryota memberi tanda agar Vio maju dan bergabung bersamanya di atas panggung. Vio hanya mengikutinya saja, berjalan dengan tenang menuju panggung, berdiri menghadap para karyawan, lalu sedikit membungkuk memberi hormat.
Selanjutnya, Ryota kembali mengumumkan sesuatu yang membuat semua orang semakin terkejut. "Sebagai pemilik Advaith, Ibu Violet akan memegang jabatan sebagai komisaris. Mulai hari ini, segala keputusan penting yang menyangkut Advaith, akan saya diskusikan dengan Ibu Violet."
Bahkan untuk yang satu ini, Vio juga terkejut. Tidak terpikir olehnya bahwa ia akan memegang jabatan sepenting ini dan tadi Ryota tidak lebih dulu memberi bocoran.
"Satu hal lagi ….” Ternyata masih ada hal lain yang ingin Ryota sampaikan. “Untuk meluruskan desas-desus yang mungkin akan muncul di kemudian hari, saya ingin mengonfirmasi terlebih dulu pada semua bahwa Violet adalah istri saya. Kami sudah menikah delapan bulan yang lalu. Maaf kalau kalian tidak diundang ke pernikahan kami karena acaranya tertutup untuk umum."
Memang saat mereka menikah dulu, acara digelar secara mewah, tetapi hanya untuk kalangan terbatas. Hal itu Ryota lakukan agar identitas Vio tidak terekspos. Bahkan ia sampai melarang kehadiran pihak media. Intinya, pernikahan mereka benar-benar tertutup. Maka pengumuman terakhir yang Ryota sampaikan ini benar-benar membuat semua orang terperangah.
Dari tempatnya berdiri saat ini, Vio bisa melihat Melinda yang duduk di baris depan memandang nanar ke arahnya. Perempuan itu terlihat sangat terguncang mendengar pengakuan Ryota. Bahkan sejujurnya Vio sendiri terkejut. Ia tidak pernah menyangka Ryota akan melakukan hal ini, apalagi atas keinginan pria itu sendiri. Pada akhirnya, Vio hanya bisa balas menatap penuh kemenangan ke arah Melinda yang terlihat sangat terguncang.
Usai memberi pengumuman dan sedikit perkenalan dengan Vio, Ryota membimbing gadis itu meninggalkan hall.
"Hari ini sebaiknya kita makan siang di luar, terpisah dari yang lain," bisik Ryota sambil berjalan di sisi Vio.
"Oke." Vio mengangguk setuju. Akan sangat canggung rasanya makan bersama karyawan lain saat mereka sudah tahu siapa Vio sebenarnya. "Kenapa tiba-tiba kamu kasih pengumuman soal status kita juga?"
"Kamu keberatan?" balas Ryota heran.
Vio mengangkat bahunya perlahan. "Selama ini aku kira kamu yang enggak suka dan enggak mau orang-orang tau."
"Bukan begitu,” bantah Ryota cepat. “Saya hanya merasa hal itu bukan sesuatu yang perlu diumbar-umbar."
"Terus kenapa berubah pikiran?" tanya Vio curiga.
"Karena kamu akan serius bekerja di Advaith. Saya rasa mereka perlu tahu."
Vio melirik curiga pada suaminya, entah benar demikian atau ada sesuatu yang pria itu tutupi, hanya Ryota sendiri yang tahu kebenarannya.
***
Meski pengakuan tidak membawa pengaruh apa-apa dalam hubungan mereka, satu yang pasti ada perubahan besar dalam diri Vio. Gadis itu kini jadi jauh lebih bahagia, keceriaannya yang sempat hilang perlahan mulai kembali. Bahkan sahabat-sahabatnya menyadari hal itu.
"Itu muka cerah amat?" tegur Mia kepo saat mereka tengah makan bersama usai briefing untuk salah satu acara pernikahan klien mereka.
"Iya ya!” Ry langsung mengangguk setuju. “Aura-aura membunuhnya agak berkurang."
"Asem!" gerutu Vio.
Ry mencolek dagu Vio yang duduk berseberangan dengannya. "Bagi tau dong!"
"Kepo!" Vio menepis tangan gadis itu dengan sadis.
"Ada hubungannya sama Mas Ryota ya?" tebak Tita.
Merasa sudah tertebak, Vio langsung menaikturunkan alisnya dengan gaya menyebalkan.
"Iyalah! Udah jelas kali!” seru Mia melihat senyum Vio yang menyebalkan. “Siapa lagi yang bisa bikin anak ini jungkir balik kalo bukan lakinya sendiri?"
Tiba-tiba saja Ry menyatukan kedua jari telunjuknya sambil tersenyum nakal. "Vio sama Babang Ryo udah …?"
"Stop! Enggak usah ungkit-ungkit soal itu!" larang Vio galak.
"Mulai patah semangat ya?" tanya Tita iba.
"Gue udah abis akal buat deketin dia. Mungkin emang gue harus terima kenyataan bakal jadi perawan seumur hidup," desah Vio pasrah.
"Tapi laki lo itu normal enggak sih?” celetuk Mia. “Kok gue jadi curiga ya. Kayaknya ada yang salah sama dia."
"Jangan mancing-mancing pikiran buruk yang bikin mood Vio jadi jelek deh, Mbak!” protes Vio jengkel.
“Oh, iya!” Mia tergelak kencang. “Lupa gue kalo lo lagi happy.”
“Jadi Vio seneng kenapa sih?” tanya Tita sabar.
Vio tersenyum sombong sebelum memuaskan keingintahuan para sahabatnya. “Ryota ngakuin gue di depan seluruh karyawan Advaith sebagai istrinya.”
“Serius?!” seru ketiganya bersamaan.
“Kaget, kan?” Vio terkekeh senang.
“Kok bisa?” tanya Mia.
“Gara-gara apa?” Ry membeo.
Sebenarnya Vio sendiri tidak yakin, tetapi ada satu hal yang ia curigai menjadi pemicu dari tindakan Ryota.
.
"Pak Ryota ke mana ya?" tanya Melinda tanpa basa-basi begitu melenggang masuk ke ruangan Ryota. Bahkan rasanya Vio tidak mendengar suara pintu diketuk. Semakin lama, perempuan ini memang semakin bertingkah saja.
"Mau apa tanya-tanya?" balas Vio ketus. Berhubung tidak ada Ryota, mau tidak mau Vio harus menjawab. Kalau ada suaminya, Vio paling anti berbicara dengan Melinda.
Melinda mendengkus kasar. "Cara kamu menyahut kurang ajar sekali."
"Kamu yang lebih kurang ajar," balas Vio dingin.
"Maksud kamu?" Seketika Melinda menghampiri meja Vio, berdiri berkacak pinggang, sambil mendelik kesal.
Vio sama sekali tidak terintimidasi. Bahkan untuk sekadar berdiri saja ia malas. Vio tetap duduk tenang, menatap Melinda dengan sorot meremehkan, kemudian berujar sinis. "Apa bukan kurang ajar namanya kalau seorang perempuan terus-menerus mendekati lelaki beristri?"
Melinda terbelalak mendengar ucapan Vio.
"Kalau bukan kurang ajar berarti tidak tahu diri dan tidak punya malu," ujar Vio lagi.
"Jaga bicara kamu ya!” Melinda menggebrak meja lalu menunjuk-nunjuk wajah Vio. “Kamu itu hanya anak magang di sini, sok tahu sekali bicara begitu. Lagi pula, kalau saya memang mendekati Pak Ryota, apa urusannya sama kamu?"
"Apa urusannya? Jelas banyak," sahut Vio tetap tenang. Sebuah pencapaian luar biasa bukan melihat seorang Vio yang biasa meledak-ledak bisa menanggapi musuhnya sedemikian santai. Tahu alasannya? Vio hanya merasa kalau mereka tidak selevel hingga percuma saja membuang-buang tenaga untuk menanggapi perempuan ini.
"Oh ya? Memangnya kamu siapa?" tantang Melinda sambil melipat kedua tangannya di depan d**a.
Vio tersenyum geli. "Kamu benar mau tahu siapa saya?"
"Dasar anak muda! Suka sok menganggap diri penting padahal bukan siapa-siapa.”
"Saya Violetta Davira Brajamusti, putri tunggal Devan Brajamusti. Pemilik Advaith sekaligus pemilik Ryota." Sebenarnya Vio tidak ingin mengakui hal ini. Ia tahu Ryota tidak akan suka. Namun, sikap menyebalkan Melinda membuat Vio sedikit tergelitik untuk memberi perempuan ini pelajaran. Menyadarkan perempuan itu di mana posisinya yang seharusnya.
"Kalau kamu berniat menakuti saya, kamu cukup berhasil. Tapi bercandaan kamu tidak lucu!" sergah Melinda gusar.
"Violet memang istri saya. Kami menikah sekitar delapan bulan yang lalu." Entah sejak kapan Ryota kembali ke ruangannya, tetapi tiba-tiba saja suara itu terdengar. Ryota berjalan tenang mendekati meja Vio lalu berdiri di sisi istrinya.
"Jadi desas-desus kalau Pak Ryota sudah menikah ternyata benar?" tanya Melinda gugup. Wajahnya memucat seketika. Kalau Vio yang bicara, ia bisa menganggapnya hanya bualan. Namun, kalau Ryota sendiri yang bicara, ini pasti kenyataan, bukan?
"Bukan desas-desus, itu fakta," koreksi Ryota.
.
“Gue enggak yakin beneran gara-gara itu atau bukan, tapi mungkin itu bisa jadi salah satu pemicunya,” ujar Vio usai menceritakan perdebatannya dengan Melinda di ruangan Ryota yang terjadi sekitar dua minggu yang lalu.
“Terlepas itu penyebabnya atau bukan, setidaknya kita tau laki lo enggak berniat bikin affair sama perempuan lain. Dia jelas-jelas proclaim kalo dirinya beristri, dengan kata lain bilang kalo dia enggak bisa didekati. Ya enggak sih?” Mia meminta dukungan usai memaparkan kesimpulannya.
“Setuju!” sahut Ry bersemangat. “Babang Ryo mau pamer status kalian di depan semua orang, itu kemajuan yang bagus banget loh.”
“Setuju.” Tita juga ikut mengangguk. Tersenyum tulus untuk memberi dukungan pada Vio. “One step at a time. Aku yakin kalian bakal jadi pasangan yang normal nantinya.”
“Tinggal menunggu waktunya Vio buka segel …,” ujar Ry dengan senyum jailnya yang khas.
“JADI KE SITU LAGI!” seru Vio jengkel. Aura membunuhnya seketika kembali, khusus untuk mencekik Ry seorang.