20. Dia yang Selalu Menjaga

2716 Kata
"Proposal yang dua hari lalu saya berikan sudah dibaca?" tanya Ryota ketika mendatangi ruangan Vio.  Vio melirik map cokelat di ujung meja kemudian mengangguk pelan. Sejak gadis itu resmi memegang jabatan di Advaith, Vio hampir tidak pernah berkunjung ke ruangan Ryota, yang terjadi malah sebaliknya. Ryota yang secara rutin datang ke ruangan Vio untuk melaporkan berbagai hal dan meminta pendapat istrinya. Memang secara jabatan, Vio ada di atas Ryota. Fungsi Ryota sebagai direktur adalah mengelola keberlangsungan Advaith. Sementara fungsi Vio sebagai komisaris adalah memberi pandangan dan masukan mengenai segala kebijakan yang akan Ryota ambil. Meski sebenarnya, Ryota juga tidak butuh masukan dari Vio. Pria itu jauh lebih mampu dari Vio. "Bagaimana menurut kamu?" "Menurut kamu gimana?" Bukannya memberi pendapat, Vio malah bertanya balik. Ryota mengernyit heran. Tidak biasanya Vio seperti ini. Akhir-akhir ini Vio selalu bersemangat jika diajak berdiskusi, sementara hari ini sama sekali tidak.  “Kamu mau gimana?” tanya Vio lagi karena Ryota malah diam saja. "Saya tidak ingin menerimanya." "Karena?" "Mengingat sepak terjangnya dulu, saya tidak yakin mereka akan bermain bersih." "Oke. Aku ikut aja.” Vio langsung mengangguk setuju. “Kamu lebih tau daripada aku." "Kamu kelihatannya sedang sibuk?" Tiba-tiba saja komentar bernada tanya itu terlontar dari mulut Ryota. "Hm." Vio mengangguk kecil. Matanya terlihat tidak fokus. Sesekali menatap Ryota, sebentar kemudian melirik jam tangan, lalu detik berikutnya memeriksa ponsel. "Mau pergi?" tanya Ryota curiga ketiga Vio tiba-tiba berdiri lalu memasukkan barang-barang ke dalam tasnya. "Hm." Vio kembali mengangguk, tetapi tidak memberi penjelasan apa-apa pada Ryota. Barulah ketika Vio sudah hampir mencapai pintu, ia baru ingat untuk memberitahu. "Kayaknya aku enggak akan balik ke kantor hari ini." "Hati-hati," sahut Ryota datar. Ia sendiri segera menyusul langkah Vio untuk kembali ke ruangannya sendiri. Dalam perjalanan menuju ruangannya, Ryota tiba-tiba saja menangkap sesuatu yang mencurigakan. Diam-diam ia terus membuntuti Vio hingga gadis itu menghilang ke dalam lift.  Ryota tidak jadi kembali ke ruangannya, ia memutuskan berjalan menuju sisi bangunan yang menghadap ke arah lapangan parkir untuk memastikan kecurigaannya. Tidak berapa lama, dari jendela tempatnya berdiri, Ryota melihat Vio berjalan meninggalkan pintu utama Advaith lalu menuju mobilnya. Tepat ketika Ryota melihat ke arah mobil Vio, kecurigaannya terbukti. Cepat-cepat Ryota menghubungi kepala staf keamanan yang bertugas di Advaith. "Tutup semua akses untuk keluar! Pejalan kaki, motor, mobil, jangan biarkan satu juga lolos.” Ryota memberi perintah sambil berjalan cepat menuju tangga darurat. Ia hanya perlu berlari menuruni dua lantai untuk mencapai lobi. "Ada apa, Pak?" tanya suara di seberang sana dengan sigap. "Apa ada sesuatu yang harus kami periksa?" "Lakukan saja dulu. Kita tidak punya banyak waktu. Saya akan segera ke bawah." Ryota terus mempercepat langkahnya. Dalam hati ia menekankan agar tidak sampai terlambat. Kali ini Ryota tidak boleh kecolongan lagi. Sementara Vio yang berada di dalam mobil, merasakan suatu keanehan dari kursi belakang. Ia bisa merasakan kehadiran orang lain di dalam mobilnya. Namun, ketika ia hendak menoleh ke belakang untuk memastikan, terdengar suara penuh ancaman dari belakang, menyusul sebuah pisau ditekan ke pinggang kirinya. "Jangan lihat ke belakang!" ancam seorang pria yang duduk tepat di belakang kursi pengemudi. "Siapa lo? Mau apa di mobil gue?" tanya Vio galak. Jangan dikira ia akan menangis termehek-mehek di situasi seperti ini. Ingat! Vio punya bekal bela diri, hanya saja ia tidak boleh gegabah. Vio harus memahami situasi dulu sebelum bisa memutuskan tindakan yang akan dilakukannya. "Diem! Enggak usah banyak nanya!" Pria itu semakin menekankan ujung pisaunya ke pinggang Vio. “Sekarang jalan!” Dengan sangat terpaksa Vio menyalakan mesin mobil dan mulai menjalankannya. "Jalan terus! Jangan coba-coba brenti! Jangan coba minta tolong!" ancam pria itu. Vio tidak berniat menanggapi. Otaknya sibuk memikirkan cara untuk keluar dari situasi ini. "Kenapa brenti?!" tanya pria itu marah ketika mobil Vio tidak lagi melaju. Vio mengedik ke arah depan. "Lo enggak liat? Gimana gue mau maju?" Di depan mobil Vio, berbaris beberapa mobil lainnya sebelum mencapai pintu keluar Advaith. Perlahan Vio menurunkan tangan kanannya dari setir lalu meletakkannya di pintu. "Jangan buka pintu! Berani lo buka, gue tusuk lo." Tidak berapa lama kaca mobil diketuk oleh petugas keamanan. Refleks Vio hendak menurunkan kaca mobil. "Mau ngapain lo?" tanya pria di belakang. "Buka jendela," sahut Vio datar. "Jangan buka!" "Kalo gue enggak buka, orang malah curiga," ujar Vio santai. Ketukan di kaca terdengar semakin kencang.  Akhirnya, pria itu menyerah. Ia merunduk dalam sambil kembali melontarkan ancaman. "Gue bakal ngumpet, tapi awas lo coba macem-macem!" Begitu mendapat izin dari pria di belakang, Vio langsung menurunkan kaca. "Siang, Bu," sapa satpam di luar. "Siang, Pak," balas Vio tenang. "Maaf mengganggu kenyamananya. Boleh lihat kartu identitas Ibu?" Vio mengangguk senang lalu langsung mengambil tasnya dari kursi sebelah. Ia sengaja berlama-lama mencari kartu identitas di dalam dompetnya, sambil berharap satpam di luar bisa melihat ada orang mencurigakan yang bersembunyi di kursi belakang. "Bisa tolong buka bagasinya, Bu?" pinta petugas keamanan yang lain. "Kami sedang melakukan pemeriksaan." "Silakan, Pak." Kembali Vio menyambut dengan bahagia. Ini kesempatan bagus untuknya. Membuka kunci bagasi berarti sekaligus membuka juga kunci di pintu. Dan selama petugas keamanan masih di luar, pria di belakang pasti tidak berani bergerak. Baru saja Vio membuka kunci mobil lalu hendak bersiap mendorong pintu agar ia bisa melompat keluar, gadis itu mendengar pintu belakang bagian kiri dibuka dengan kencang. Vio menoleh cepat dan mendapati Ryota menerjang masuk, meraih kerah pakaian pria di belakang lalu menyeretnya keluar. Vio masih terpaku di kursi, memandang ngeri pergulatan Ryota dengan pria tadi. Baru kali ini Vio melihat Ryota berkelahi dan menyaksikan sendiri bagaimana gesitnya gerakan sang suami.  "Violet, cepat keluar!" seru Ryota di tengah baku hantamnya dengan pihak lawan. Setelah diteriaki, baru Vio tersadar dan bergerak cepat keluar dari mobil.  "Ryota!" Vio menjerit ngeri ketika melihat pria tadi menghunuskan pisaunya ke arah perut Ryota.  Namun, Ryota berhasil menahan pisau yang tertuju padanya. Dicengkeramnya mata pisau kuat-kuat hingga darah segar mengalir dari telapak tangannya. Lalu dalam satu gerakan cepat Ryota memelintir tangan pria tadi, membantingnya ke tanah, lalu membekuknya. Setelah memastikan pria itu tidak bisa berkutik lagi, Ryota meninggalkannya. Para staf keamanan yang bekerja di bawah komandonya akan mengurus pria itu beserta beberapa oknum lain yang tadi sempat Ryota lihat sedang diseret untuk dikumpulkan di dekat pos satpam. Ketika berjalan mengitari mobil untuk menghampiri Vio, mata Ryota tiba-tiba berkilat terkejut.  "Awas!" Ryota berlari secepat mungkin ke arah Vio lalu menerjangnya hingga mereka bergulingan di atas rumput.  Saat itu juga terdengar suara ledakan dari dalam mobil Vio. Kaca-kaca mobil itu pecah berhamburan dan ada percikan api kecil yang mulai terlihat. Begitu situasi aman, Ryota yang tadi berbaring miring setengah menindih tubuh Vio agar gadis itu terlindung, langsung berguling ke samping lalu duduk. "Kamu baik-baik saja?" tanya Ryota sarat rasa khawatir. Matanya bergerak cepat memeriksa kondisi Vio. Vio beranjak duduk mengikuti Ryota. "Aku gapapa. Tapi kamu luka."  "Saya baik-baik saja." Vio menatap ngeri ke arah tangan Ryota yang terus meneteskan darah. "Kita harus ke rumah sakit." "Tidak perlu," tolak Ryota cepat. "Tapi tangan kamu berdarah, harus diobati." "Saya bisa urus sendiri," ujar Ryota sambil bangkit berdiri.  "Kamu mau ke mana?" Vio cepat menyusul Ryota. "Kembali ke ruangan saya."  Vio tidak berkata apa-apa lagi, ia hanya berjalan cepat di sisi Ryota, berusaha mengimbangi langkah pria itu. Namun, sebelum benar-benar kembali ke ruangannya, Ryota terlibat perbincangan serius dengan para staf keamanan. Ia menugaskan mereka untuk membereskan kekacauan di sini dan menunggu laporan secepatnya. "Kenapa mengikuti saya?" tanya Ryota bingung saat Vio terus mengiringi langkahnya menuju lift. "Mau bantu kamu." "Saya bisa sendiri, Violet," tolak Ryota cepat. "Aku tetap mau bantu." "Kamu tidak jadi pergi?" "Nanti aku kasih kabar kalo aku enggak bisa dateng." Vio harus menunggu anak buah Ryota menemukan ponselnya dulu baru ia bisa mengirim kabar. Atau ia akan menghubungi lewat cara lain andai ponselnya tidak terselamatkan. "Jangan batalkan janji kamu karena saya. Pergi saja." "Acara enggak penting kok." Bohong! Sesungguhnya pertemuan hari ini adalah momen penting bagi Vio. Ia diajak oleh beberapa musisi terkenal yang merupakan teman dari dosennya untuk ikut terlibat dalam konser musik tanah air di luar negeri. Namun bagi Vio, Ryota lebih penting.  "Memang tadinya kamu mau ke mana?" Entah mengapa Ryota merasa Vio berbohong. "Pokoknya enggak penting," sahut Vio keras kepala. Ryota tidak mengatakan apa-apa lagi. Sudah tahu kalau percuma saja mengusir Vio. Ketika sudah masuk ke dalam ruangannya, Ryota baru kembali bicara. "Orang di mobil tadi, dia tidak melakukan apa-apa yang membahayakan kamu?" "Dia cuma nodongin pisau ke pinggang aku," jawab Vio santai. "Oh, iya! Kenapa tadi bisa kebetulan ada pemeriksaan?" "Saya yang minta petugas keamanan untuk tutup semua akses keluar." Ryota menjawab sambil berjalan menuju meja kerjanya. "Kamu tau ada sesuatu?" "Awalnya hanya kecurigaan. Saya lihat ada orang yang mengikuti kamu beberapa waktu belakangan ini. Dan tadi gerak-geriknya sangat mencurigakan." Sudah sekitar dua pekan terakhir, Ryota melihat wajah baru yang bekerja di bagian kebersihan dan kebetulan orang itu bertugas di lorong depan ruangan Vio. Beberapa kali Ryota melihat ketika orang itu sedang diam-diam mengamati Vio.  "Kamu tau ada orang di mobil aku?"  "Saya tidak sengaja lihat ada sesuatu yang berkilau dari dalam mobil kamu, padahal kamu belum masuk. Sepertinya itu pantulan dari pisau yang orang tadi pegang."  "Apa kamu tau siapa orang itu?" "Sedang diselidiki. Tapi kecurigaan saya, itu salah satu orang yang menaruh dendam pada almarhum papa kamu." Ryota sudah sering berhadapan dengan situasi semacam ini saat Devan masih hidup. Namun, ia sedikit lalai karena sudah bertahun-tahun situasi tenang. Kalau dulu, baru kecurigaan kecil saja ia pasti sudah bertindak. "Kenapa tiba-tiba? Selama ini baik-baik aja." "Mungkin karena saya mengumumkan identitas kamu." Ryota terlihat sibuk mengeluarkan sesuatu dari lemari di dekatnya lalu meletakkannya di atas meja. "Apa aku bakal terancam terus kayak Papa?" gumam Vio gentar. "Saya pasti akan jaga kamu. Tolong mengerti kalau mulai sekarang saya akan perketat penjagaan untuk kamu," ujar Ryota sungguh-sungguh. Melihat Ryota mulai membersihkan lukanya dengan kapas dan alkohol, Vio perlahan menghampiri pria itu. Ia menatap takjub melihat isi kotak P3K milik Ryota. "Kamu punya kotak obat selengkap ini?" "Hm. Saya selalu simpan di sini, di mobil, dan di kamar." "Biar aku bantu." Tanpa menunggu persetujuan Ryota, Vio mengambil alih pekerjaan suaminya. "Apa kamu sering celaka kayak gini?" "Sudah resiko dari profesi saya," jawab Ryota tenang. "Ngomong-ngomong, aku jadi penasaran. Kamu kan lulusan komputer, kok tapi kerjanya jadi staf keamanan?" Setelah sekian lama menyimpan pertanyaan ini, akhirnya Vio menemukan waktu yang tempat untuk mengutarakannya. "Buat saya, kerja jadi apa saja tidak masalah." "Kamu pernah ikut pelatihan khusus buat jadi staf keamanan?" Tidak sembarang orang bisa memiliki ketajaman mata seperti Ryota. Hal-hal yang bagi orang lain adalah hal biasa, tidak luput dari pengamatannya. Bahkan Vio masih tidak mengerti bagaimana caranya Ryota tahu bahwa di mobil tadi ada sebuah bom rakitan berdaya ledak kecil. Pendengaran Ryota yang sangat peka ternyata mampu menangkap suara detik-detik pengatur waktu yang dipasang di bom rakitan meski hanya samar. "Saya dilatih sejak di rumah kamu." "Sebelumnya?" Vio berusaha terdengar biasa saja ketika bertanya. Untungnya ia sedang sibuk membalut luka Ryota dengan perban, hingga mereka tidak perlu bertatapan. "Sejak kecil saya sudah diajari bela diri." "Terus kok kamu bisa ngerti cara mengelola Advaith?" Kenapa cerita hidup Ryota ini sangat penuh misteri bagi Vio? "Papa kamu menyuruh saya kuliah lagi. Jadi sambil bekerja untuk papa kamu, saya juga kuliah untuk membantu papa kamu menjalankan Advaith." Vio melongo. Bahkan ia tidak pernah tahu hal ini. Bayangkan betapa ia sangat tidak mengenal sosok suaminya sendiri! "Kamu ambil jurusan apa?" "Hukum bisnis." Sejujurnya bukan hanya Vio yang terkejut mendengar fakta-fakta baru tentang Ryota. Pria itu sendiri heran menyadari dirinya mau menjawab banyak pertanyaan Vio hari ini. "Oh …, akhirnya terjawab." Vio mengangguk paham. "Hm?" "Gapapa." Vio menggeleng cepat. Hening setelahnya.  "Ryota …," panggil Vio beberapa saat kemudian. "Hm?" "Makasih ya …, kalo tadi enggak ada kamu, enggak tau gimana nasib aku. Mungkin udah nyusul Papa." "Jangan bicara begitu. Lagi pula, orang itu sepertinya tidak berniat membunuh kamu. Hanya ingin mencelakai saja. Mungkin juga hanya untuk menakuti kamu." "Apa pun itu, makasih udah jaga aku," ujar Vio tulus. *** "Ryota …," panggil Vio sambil melongok ke dalam kamar suaminya. Berhubung tidak ada sahutan Vio melangkah masuk. "Ke mana dia?" Vio yakin Ryota tidak ke mana-mana. Pria itu tidak bisa mengemudi sendiri dalam kondisi tangannya yang terluka. Tadi saja mereka pulang bersama dan Vio yang menyetir karena menjelang sore tangan Ryota mulai terasa kebas. Vio berjingkat-jingkat lalu berhenti di depan pintu kamar mandi. Ia mencoba mendengarkan suara di dalam lalu mengetuk pelan. "Kamu di dalem?" Tidak ada balasan. Di dalam kamar mandi pun sunyi. Vio mulai khawatir. Apakah terjadi sesuatu yang buruk dengan Ryota? Pingsankah suaminya? Demamkah karena infeksi di lukanya? Atau lemas karena kehilangan banyak darah? Daripada bertanya-tanya sendiri, akhirnya Vio memutuskan untuk memastikannya langsung. Beruntung pintunya tidak dikunci. Begitu Vio membuka pintu lalu melangkah masuk, ia bisa melihat dengan jelas keberadaan suaminya. Seketika itu juga Vio merasa lega. Ternyata Ryota baik-baik saja. Sedang berdiri di bawah pancuran air, tetapi dalam kondisi dimatikan. Pantas tidak ada suara apa-apa. Pria itu terlihat tengah berjuang menyabuni tubuhnya dengan sebelah tangan saja. "Apa yang kamu lakukan di sini?!" Ryota berseru terkejut ketika menyadari ada orang yang masuk diam-diam. Kondisinya saat ini benar-benar naas. Ia tidak punya apa pun untuk digunakan sebagai penutup hingga Vio bisa memiliki akses bebas untuk memandangnya sepuas hati. "Cuma mau cek keadaan kamu," jawab Vio tenang. Sama sekali tidak terlihat risih atau terdengar gugup. "Aku panggil-panggil kamu enggak jawab. Kirain ada apa-apa." "Saya baik-baik saja. Bisa kamu keluar?" pinta Ryota setengah memaksa. "Kamu enggak mau aku bantu?" tanya Vio hati-hati.  "Hah?" Ryota melongo. Tidak percaya dengan tawaran yang Vio lontarkan demikian entengnya. "Keliatannya kamu kesusahan," ujar Vio serius.  "Saya bisa sendiri," tolak Ryota tegas. Lalu untuk meyakinkan Vio bahwa ia bisa melakukannya sendiri, dengan bodohnya Ryota memindahkan spons ke tangan kanan. Seketika itu juga rasa perih dan linu menyerang Ryota hingga ia langsung menjatuhkan spons ke lantai. "Aw …." "Tuh kan sakit." Vio ikut meringis membayangkan perihnya tangan Ryota. "Udah sini, biar aku bantu." "Kamu mau apa?!" seru Ryota panik. Ia langsung membuang pandang ke arah dinding ketika melihat Vio membuka kancing gaun tidurnya. "Mau bantuin kamu mandi," jawab Vio heran. "Kenapa harus buka baju?" tanya Ryota geram. "Emangnya ada orang mandi pake baju?" balas Vio jengkel. "Basah semua dong." Lagi pula, gaun tidurnya yang berbahan satin pasti hanya akan menambah keseksian pemakainya saat diguyur air. Bahannya akan melekat sempurna di tubuh dan kain tipisnya akan berbayang, mempertontonkan apa yang seharusnya ditutupi. Jadi sama saja! Lebih baik sekalian dibuka. "Stop, Violet!" teriak Ryota gusar. "Tenang aja, dalemannya enggak aku lepas." Vio menanggalkan pakaian tidurnya yang berupa terusan panjang dan membiarkannya begitu saja di lantai. "Lagian kamu kayak enggak pernah liat cewek nakèd aja. Udah gitu ini istri kamu sendiri kok. Diliat juga kamu enggak dosa. Kalo enggak mau liat ya merem aja." Berbekal sepasang pakaian dalam yang masih melekat di tubuhnya, Vio berjalan mantap menghampiri Ryota. Dipungutnya spons yang tadi Ryota jatuhkan, menyalakan pancuran untuk membersihkannya, lalu mulai menggosokkan spons di tubuh suaminya.  Vio menyalakan kembali air pancuran lalu membantu Ryota membilas tubuh. Vio sama sekali tidak terlihat gugup. Ia melakukan semuanya dengan tenang tanpa maksud buruk atau mencoba menjaili Ryota. Tidak ada niatan Vio malam ini untuk mencuri-curi kesempatan seperti yang dulu sering ia lakukan. Bukan Vio tidak lagi merasakan apa-apa untuk suaminya. Bahkan sesungguhnya tubuh Vio terbakar. Namun, ia cukup tahu diri sekarang. Apa pun yang ia lakukan, Ryota akan menolaknya. Dan Vio tidak ingin sakit hati lagi dan merasa terhina seperti waktu itu. "Udah selesai …," ujar Vio usai mengeringkan tubuh Ryota dengan handuk.  Namun, Ryota tidak merespon. Pria itu hanya terus berdiri dengan mata terpejam erat.  "Kamu mau di sini terus?" tanya Vio heran. "Kamu keluar dulu dan pakai baju kamu. Baru saya keluar," sahut Ryota. "Segitunya enggak mau liat aku." Vio menggeleng tidak percaya. Lagi-lagi ada senyum sedih membayang di wajahnya. "Tenang aja, aku juga enggak akan maksa kamu nyentuh aku lagi kok. Aku bener-bener cuma mau tolongin kamu, karena kamu jadi gini kan gara-gara jagain aku." Vio berjalan menjauh, menyambar gaun tidurnya dari lantai, lalu memakainya asal. Tidak peduli dengan tubuhnya yang masih basah. Tidak peduli jika pakaian dalamnya yang basah kuyup akan ikut membasahi gaun tidurnya. Ryota hanya menatap dalam diam punggung Vio yang menjauh. Ia teringat kejadian-kejadian lalu ketika penolakannya ternyata melukai hati gadis itu. Dan malam ini, Vio kembali meninggalkan Ryota dengan rasa kecewa. Menyisakan rasa bersalah yang dalam untuk pria itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN