Sabtu pagi yang cerah, Syera tengah memilah pakaian yang akan di masukannya ke dalam tabung mesin cuci. Hari weekend seperti ini adalah hari sibuknya berada di rumah menjadi seorang babu rumah tangga. Maklum, di rumah ini hanya Syera yang bekerja sehingga semua pengeluaran sebagian dia yang menanggungnya. Sedangkan untuk menyewa ART saja pun dia tak sanggup untuk menggajinya.
“Morning, Beib,” sapa Nara yang tiba-tiba muncul pagi itu.
Syera hanya melirik gadis jangkung itu sekilas, lalu kembali fokus pada tumpukan pakaian di depannya. Masih ada beberapa pekerjaan rumah yang menunggu untuk diselesaikan.
“Syer, jalan yuk,” ajak Nara yang saat ini tengah duduk di kursi plastik seraya memangku stoples kripik kentang.
“Lo gak liat, gue lagi sibuk,” sahut Syera masih tak menoleh ke arah lawan bicaranya.
“Lo itu terlalu ribet, tau gak? Kan ada laundry kenapa gak kirim ke sana,” saran Nara dengan mulut penuh kripik.
Syera menoleh ke arah Nara, seraya bertolak pinggang dan mengembuskan napas lelah. Sejujurnya dia pun capek melakukan ini semua, tetapi mau bagaimana lagi, di rumah ini hanya dia yang 'waras'. Mau tak mau dia harus berpikir realistis dengan pengeluaran. Meskipun abangnya juga kerja, tetapi hasilnya sama sekali tidak kelihatan. Entah ke mana larinya.
“Sengaja,” kata Syera pelan. Padahal dia hampir menyerah. Dia hanya tidak ingin terlihat lemah di hadapan siapa pun.
“Syer, yuk,” ajak Nara lagi.
“Bentar lagi beres, Ra. Sabar,” kata Syera akhirnya. “Ini juga baru jam sembilan, mau ke mana, sih?”
“Biasalah, pengen have fun aja ke tempat-tempat yang seru. Bete gue!” keluh Nara.
“Bantuin gue dulu ya,” kata Syera seraya tersenyum miring. Dia menemukan ide.
“Bantu apa?” tanya Nara dengan mata menyipit.
“Habis ini kering, lo jemurin di belakang situ. Kemudian gue mandi, terus itu kita cabut deh,” ujar Syera menawarkan.
“Siap, Bos!”
Nara memang teman yang bisa di andalkan, selain baik dia juga sangat pengertian. Nara juga banyak membantu keluarga Syera walau tanpa diminta. Itu sebabnya Syera banyak berhutang budi pada wanita itu, apa lagi mamanya bila sudah soal uang, selalu membuatnya malu.
Syera mengeluarkan pakaian yang sudah dikeringkan ke dalam keranjang besar, kemudian membawanya ke teras belakang untuk menjemurnya.
“Udah sana mandi, biar gue aja yang jemurin,” kata Nara seraya menyenggol tubuh Syera.
Dia tau, kalau tadi Syera tidak sungguh-sungguh untuk menyuruhnya menjemur. Adik pacarnya itu tidak pernah meminta tolong, padahal Nara memang ingin sekali membantunya.
Setelah pakaian di keranjang tersisa sedikit, barulah Syera meminta Nara untuk melanjutkan, dan dia ke kamarnya untuk membersihkan diri.
Kurang dari tiga puluh menit Syera pun sudah rapi, dan bersiap keluar dengan Nara. Gadis itu memakai kaus berwarna pink berlengan pendek dipadukan dengan celana jeans hitam ketat. Rambut hitamnya dia biarkan tergerai indah di belakang punggungnya.
“Udah?” tanya Nara ketika melihat Syera sudah berdiri di bawah tangga.
“Yuk,” ajak Syera seraya melangkah menuju pintu dengan Nara yang menyusul di belakangnya.
Sabtu ini rumah terasa sepi, Raffa pergi pagi-pagi sekali karena ada job pemotretan di sebuah acara pernikahan. Sedangkan sang Mama tadi dijemput dengan teman-temannya, entah mau ke mana, Syera pun tak mau tau dan tak bertanya.
“Lo, tuh, cantik banyak yang naksir. Kenapa gak cari pacar aja sih,” kata Nara melihat penampilan Syera yang menurutnya sempurna dan hanya kurang tinggi saja.
Syera mengangkat bahu, dia malas mencari pacar. Bukankah dia sudah punya Kavi? Walau mereka tidak ada ikatan, Syera merasa cukup hanya dengan perhatian dari lelaki itu.
Setelah mengunci pintu dan pagar, Syera membuka kursi penumpang dan mendaratkan bobotnya di sebelah Nara yang sudah siap di balik kemudi. Tak lama kendaraan roda empat Nara pun melaju, meninggalkan area rumah Syera.
Syera membuka aplikasi chat yang berlogo gagang telepon dan mendapati pesan dari Kavi yang masuk sekitar satu jam lalu. Dia ingin membalasnya, tetapi diurungkan setelah melihat story lelaki itu yang tengah berfoto bersama Manda di sebuah kafe. Seakan ada sembilu yang menghujam hatinya. Dia cemburu.
Nara membelokkan mobilnya memasuki area parkir mall di basemen. Setelah menemukan lahan kosong untuk parkir, keduanya keluar dan berjalan ke arah tangga menuju ruangan yang ada lift di dalamnya.
Kotak besi yang membawa mereka berhenti di lantai lima mall tersebut. Keduanya keluar dengan di suguhi oleh aroma wangi masakan dari kafe dan resto yang ada di lantai itu.
Syera dan Nara masuk ke resto langganan mereka dan mencari tempat yang kosong, setelah itu mereka memesan makanan. Keduanya berinisiatif mengisi perut dahulu sebelum menjelajah isi mall.
“Lo masih berhubungan sama Kavi?” tanya Nara ketika pelayan resto meninggalkan meja mereka usai mencatat pesanan.
Syera mengangguk, mengiyakan.
“Kenapa gak cari pacar aja, sih, Syer. Gue tau lo susah move on, tapi ... sadarlah, dia itu udah mau married. Bukannya gue mau ikut campur ya, gue cuma gak mau lo bakal kenapa-kenapa nantinya,” ucap Nara khawatir pada sahabatnya itu.
Memang sejauh ini Syera sudah menceritakan tentang hubungan yang dijalaninya dengan Kavi kepada Nara. Gadis berambut cokelat itu awalnya tidak protes, tapi begitu Syera mengatakan kalau Kavi sudah bertunangan dia pun langsung menentangnya.
“Cari yang free, Syer, jangan yang udah terikat,” katanya awal Syera menceritakan tentang Kavi pada gadis itu.
“Gue gak larang lo mau FWB-an sama siapa aja, tapi ... plis deh jangan sama tunangan orang.”
Itu yang dikatakan Nara berbulan-bulan yang lalu. Namun, Syera tak menanggapinya, malah makin jatuh lebih dalam pada pesona mantan kekasihnya itu. Karena rasa cinta pada lelaki itu masih bersemayam di hatinya, membuat Syera susah untuk move on.
“Gak ada yang bisa gantiin dia, Ra,” keluh Syera seraya memainkan kotak tisu di depannya.
“Bukan gak ada, tapi lo belum menemukan seseorang itu.”
“Entahlah, gue ikutin alurnya aja.”
“Ck!” Nara berdecak dengan sikap pasrah Syera yang selalu membuatnya sebal.
Selang beberapa menit kemudian seorang pelayan resto membawakan pesanan mereka. Keduanya pun fokus pada makanan di piring masing-masing.
Usai makan Syera dan Nara pun mencari brand pakaian yang menurut mereka bagus. Mereka memang jarang sekali berbelanja bersama seperti ini karena Nara yang sibuk dengan pekerjaannya menjadi seorang model. Sedangkan Syera tipe wanita yang malas keluar bila tidak ada teman.
Nara mengatakan kalau dalam dua Minggu ini jadwalnya akan sedikit lowong. Karena dia baru saja menolak kontrak yang memintanya untuk bekerja sama selama lima tahun. Syera sempat mengatainya bodoh pada sahabatnya itu karena menolak pekerjaan. Tetapi, akhirnya Syera pun berpikir ulang, walau Nara menolak pun dia tidak akan merasa rugi, toh, bisnis ayahnya sudah menjamur di mana-mana.
Awal perkenalan Syera dan Nara adalah sekitar tiga tahun yang lalu. Nara datang ke rumahnya di suatu pagi dan mencari Raffa, kakaknya. Katanya dia ingin memakai jasa Raffa untuk pemotretan. Karena saat itu kakaknya sedang sakit belum bisa menerima job, akhirnya Nara pun mengajak Syera mengobrol saja karena sudah tanggung datang, dan ternyata keduanya nyambung. Dari situ mereka langsung akrab satu sama lain hingga sekarang.
Saat ini Syera dan Nara tengah berjalan tak tentu arah di mall, belum ada yang membuat keduanya tertarik untuk mampir ke stand-stand yang berjejer. Tiba-tiba ....
“Aw!”
“Sorry, sorry gak sengaja,” ucap seorang yang baru saja menabrak Syera.
Syera sedikit meringis menahan bahunya yang di tabrak oleh pria di depannya.
“Gimana sih, jalan gak liat-liat!” maki Nara marah.
“Nara, kan?” kata pria itu.
“Lho, Aldy ....”