bc

Rumah Tua

book_age16+
278
IKUTI
1.4K
BACA
HE
tragedy
mystery
city
like
intro-logo
Uraian

Sebuah keluarga kecil bahagia memulai kehidupan barunya setelah pindah ke rumah baru mereka. Rumah baru mereka ini jauh lebih besar dan mewah dari rumah yang pernah mereka miliki. Pada awalnya mereka heran kenapa rumah semewah ini dijual dengan harga yang murah, namun pada akhirnya mereka sadar, ada sesuatu yang menakutkan di balik rumah baru mereka.

Di lain pihak, kehidupan serba kekurangan yang dilalui sebuah keluarga miskin membuat seorang Ibu putus asa. Karena keputus asaan itu akhirnya dia memutuskan untuk mencari jalan pintas, pesugihan. Dia tak pernah tahu harga yang harus dia bayar untuk kekayaan kilat itu.

chap-preview
Pratinjau gratis
Chapter 1 - Pindah
Author note: Jadi gini, sebelum nanti kalian komplain kenapa ceritanya membingungkan atau nggak nyambung antar chapternya, aku jelasin dulu ya. Cerita ini ditulis dengan dua alur berbeda. Masing-masing alurnya dipublish bergantian. Alur pertama dipublish setiap chapter ganjil, alur kedua dipublish setiap chapter genap. Masing-masing alur cerita memiliki tokoh dan latar yang berbeda tapi tetap berkaitan. Seharusnya di akhir cerita nanti kedua alur akan menyatu. Semoga saja. Saat chapter 1 ini aku publish, 08-Sep-2022, cerita ini dah ditulis sampe chapter 40, sekitar 40ribu kata. Tapi kalian kan tahu author kek apa aku ini, suka ngilang nggak jelas dan mood nulis angin-anginan. Jadi, enjoy, jangan berharap banyak dan tetap putus asa. Wkwkwkwk. ===== Di sebuah desa antah berantah, terdapat sebuah rumah yang berada di pinggiran desa. Umumnya, rumah-rumah di desa terletak saling berdekatan dan berkumpul menjadi satu. Selain itu, antara warga satu dengan yang lain memiliki kekerabatan yang dekat. Rumah yang satu milik kakaknya, sebelahnya mungkin masih paman, dan belakangnya keponakan.  Tapi rumah yang ada di pinggiran desa itu berbeda. Dia berdiri sendiri tanpa tetangga di kiri kanannya. Selain letaknya yang sendirian, ada beberapa hal lain yang mungkin mencolok perhatian. Rumah di pinggiran desa itu berukuran besar dan megah. Seolah tak lazim dan salah tempat jika disandingkan dengan hamparan sawah di sebelah kanan dan kirinya, atau kebun bersemak di bagian belakangnya.  Hal yang mencolok lainnya, rumah besar itu dikelilingi tembok setinggi 2 meter di ketiga sisinya, dua sisi samping dan sisi belakang. Hanya di bagian depan tak dilindungi oleh tembok tinggi yang seolah memberikan kesan bahwa rumah itu berada di dunia yang berbeda. Tapi, rumah itu terlihat sepi dan tak terurus, jelas-jelas menunjukkan kalau sudah tak berpenghuni dalam waktu yang lama. Berbagai jenis pohon buah-buahan terdapat di berbagai sudut halaman rumah itu. Mungkin karena tak ada yang merawatnya, buah itu dibiarkan jatuh dan membusuk di tanah, menimbulkan aroma yang sedikit aneh di hidung orang-orang yang lalu lalang di jalanan sana. Halaman rumah dan terasnya juga dipenuhi oleh dedaunan kering yang berterbangan ketika tertiup angin disertai bunyi berdesau lirih, menimbulkan suasana mistis layaknya rumah-rumah angker yang sering digambarkan dalam cerita-cerita. ===== “Dina!! Bantuin gih!! Malah asyik-asyikan main hp aja,” sungut Mama ke arah anak gadis semata wayangnya yang asyik dengan hpnya di dalam mobil. “Huft,” dengus Dina kesal dan meletakkan hpnya ke atas jok, lebih tepatnya, membanting hp itu ke atas jok. “Kamu!! Dasar!!” geram Mama melihat tingkah kolokan anaknya. Dina lalu membuka pintu bagasi belakang mobil dan mulai menurunkan barang-barang yang ada disana. Dia melirik sekilas ke arah rumah yang kini berada di depannya dan Dina tertegun untuk sesaat. Rumah ini sekalipun terlihat tak terawat, tapi Dina bisa melihat kalau bangunan dan arsitekturnya didesign dengan sungguh-sungguh.  Rumah ini bukanlah rumah kampung model kuno yang asal jadi dan tanpa konsep. Dina bahkan tahu kalau rumah ini mungkin modelnya tak kalah dengan rumah Pauline, salah satu teman yang paling tajir di sekolahnya. Dina lalu membantu menurunkan barang tanpa senyuman dan memasang muka masam. Karena memang agendanya sekarang ini, dia ingin menunjukkan kepada Mama kalau dia sedang ngambek.  Bagaimana tidak? Seenaknya saja Papa dan Mama memutuskan pindah rumah dengan alasan Papa pindah kerjaan ke kota kecil ini. Lalu mereka memberitahukan bahwa Dina juga harus ikut pindah sekolah mengikuti mereka. Hellooo? Dina bukan barang bawaan yes? Setidaknya Dina juga punya hak untuk berpendapat kan? Kenapa seolah-olah kalian mengambil semua keputusan tanpa mengajak Dina?  Dina tentu saja kesal. Karena alasan itu, Dina akhirnya memutuskan untuk melakukan perang dingin dengan Papa dan Mama, sampai detik ini dan sampai titik darah penghabisan!! Dina masih dengan setengah hati dan mulut cemberut membanting-banting tas yang berisi pakaian mereka sekeluarga ke tanah ketika tiba-tiba Papa datang bersama seorang ibu-ibu yang terlihat tersenyum ramah ke arah Dina dan Mamanya. “Ma, ini Bu Hapsari, dia RT disini,” kata Papa sambil memperkenalkan wanita itu. Rupanya Papa tadi ke tempat pengurus RT setempat dulu, mungkin untuk memberitahukan kedatangannya sebagai warga baru yang datang bergabung ke sini. Mama mendekat dan mengulurkan tangannya ke arah Bu RT dan memperkenalkan dirinya, “Lina.” “Hapsari,” jawab Bu RT. “Oiya Bu, seperti yang saya bilang tadi. Mana tahu ada yang bersedia untuk bantu-bantu di rumah ini, monggo nanti diinfokan saja ke saya, kalau bisa secepatnya. Soalnya kita kan lagi banyak kerjaan untuk bersih-bersih rumah,” kata Papa. “Iya Pak, nanti coba saya tawarkan ke warga, siapa tahu ada yang berminat,” jawab Bu RT sambil melirik sekilas ke arah rumah besar di depannya dengan tatapan sedikit aneh. Bu RT, Papa, dan Mama berbincang-bincang sekedarnya selama beberapa menit, sedangkan Dina masih saja sibuk dengan ulahnya yang setengah hati untuk membantu membongkar barang-barang bawaan mereka dari atas mobil. Tak terasa, waktu semakin beranjak sore, keluarga Dina masih belum juga selesai membongkar dan membersihkan barang-barang mereka.  “Pa, belum kelar juga ni. Malam ini, kita nginep di Hotel dulu aja ya?” kata Mama kearah Papa. Dina mendengarkan percakapan kedua orangtuanya sembari duduk di atas sebuah koper dan melihat ke sekelilingnya. Mereka bertiga sedang berada di ruang tamu rumah ini. Daritadi, Dina juga tak berhenti mengagumi keindahan dekorasi dan design rumah ini. Sekalipun kondisi rumah saat ini sangat kotor dan banyak sarang laba-laba di mana-mana, tapi Dina tahu kalau rumah ini sangat indah dan mewah. Papa terlihat berpikir sebentar sambil melihat ke sekelilingnya lalu dia menarik napas, “Oke deh, kita ke hotel aja. Lagian dah hampir maghrib juga kok ini. Papa belum ngecheck aliran listriknya. Kata Bu RT tadi sudah lama dimatikan,” jawab Papa. “Yang penting Mama mau mandi yang bersih, lengket semua ni badan,” keluh Mama sambil menggelayut ke arah Papa. Dina hanya memonyong-monyongkan bibirnya sambil berjalan mengikuti mereka berdua dari belakang. ===== ‘Sebel. Mereka lho ndak ngajak aku diskusi atau apa,’ ketik Dina melalui pesan WA kepada sahabatnya Nayla. ‘Jadi sekarang kamu positif ni pindah sekolah Din?’ tanya Nayla. ‘Ya iya lah Nay, huft,’ balas Dina sambil mengirimkan emot kesal. Dina masih melanjutkan kembali chatnya bersama sahabat kentalnya itu tanpa mempedulikan tatapan Papa dan Mama-nya yang kelihatannya sedang berdiskusi sesuatu yang penting. “Lumayan lah Pa, sekarang pengeluaran kita jadi berkurang. Ditambah lagi gaji Papa kan lebih tinggi, jadi setidaknya kita bisa mulai nabung. Persiapan buat kuliahnya si Dina nanti,” bisik Mama saat melihat selembar kertas penuh coretan angka-angka di depan mereka berdua. “Iya Ma. Tapi mama harus bersabar. Kita kan sekarang tinggal agak jauh dari kota, hiburan juga jadi lebih susah. Nanti si Dina bakalan sering protes ke Mama,” jawab Papa. “Resiko Pa, namanya juga anak tunggal, kolokan minta ampun,” jawab Mama sambil tersenyum kecil dan melirik ke arah Dina yang berbaring tengkurap di ranjang sambil asyik mengutak atik hpnya. Mereka berdua lalu saling berpegangan tangan dan menyenderkan tubuhnya, saling bermesraan dan menatap masa depan mereka yang terlihat cerah. ===== “Dina!!” teriak Mama. Dina dengan malas-malasan berdiri dari kamarnya dan turun ke lantai satu. Mama sibuk mengepel lantai di bantu oleh Sekar, seorang gadis remaja yang beberapa hari lalu direkomendasikan oleh Bu RT untuk membantu-bantu di rumah mereka. “Kamu tu ya!! Nggak liat apa Mama masih sibuk gini? Asyik main hp aja!!” teriak Mama saat melihat sosok anaknya berjalan menuruni tangga dari lantai dua. Dina hanya mendengus kesal dan menghentakkan kakinya ke lantai, tapi tak urung dia berjalan turun dari tangga dan menuju ke lantai satu. Bukan apa-apa, Mama adalah bendahara keluarga, bisa panjang urusannya kalau Dina secara terang-terangan memberontak kepada beliau. “Bantuin sini!” kata Mama sambil menyerahkan pel lantai ke Dina, “Mama mau ambil air dulu di ember.” Mama lalu berlalu ke belakang. Dina memegang lap pel di tangannya dan terlihat kebingungan mau melakukan apa. Lalu dia melihat kearah Sekar, yang sedang asyik membersihkan meja ruang tamu sambil duduk di lantai dengan santainya. “Sekar!” panggil Dina. Sekar menoleh ke arah Dina dengan pandangan bertanya-tanya dan kebingungan. “Ni!!” kata Dina sambil memberikan lap pel kepada gadis yang sebenarnya berusia hampir sama dengan dirinya itu. Sekar terlihat ragu dan agak bimbang ketika Dina menyodorkan lap pel yang dipegangnya, tapi apapun ceritanya, gadis di depannya ini adalah majikannya juga, dengan muka bingung, Sekar pun menerima lap pel itu dari tangan Dina. Setelah itu Dina melesat pergi dan kembali menghilang di lantai dua. Saat Mama kembali dan melihat Sekar sedang mengepel lantai, Mama otomatis melirik ke arah pintu kamar lantai dua yang sudah kembali terkunci, “anak ini!!” geram Mama saat melihat tingkah putrinya. Sore harinya, Mama seperti biasa sedang menunggu Papa pulang di teras depan rumah. Sekar terlihat sedang sibuk menyirami tanaman di halaman depan. Sudah seminggu sejak keluarga mereka pindah ke rumah ini dan mereka pun mulai merasa nyaman dengan suasana tenang pedesaan di sekeliling mereka, setidaknya Papa dan Mama.  Ketika waktu menunjukkan pukul setengah lima, mobil Papa terlihat melintasi jalan yang sepi dan masuk ke dalam halaman rumah yang luas. Tak lama kemudian, Mama langsung menyambut Papa yang turun dengan senyuman di bibirnya. Potret sebuah keluarga kecil bahagia.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Si Kembar Mencari Ayah

read
28.6K
bc

Istri Tuan Mafia

read
17.1K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
3.4K
bc

Pembalasan Istri Tersakiti

read
8.2K
bc

CINTA ARJUNA

read
12.0K
bc

Tergoda Rayuan Mantan

read
24.3K
bc

Ayah Sahabatku

read
20.3K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook