Chapter 10 -Arsitek

1113 Kata
Astuti melihatnya. Di jalanan depan rumahnya, sebuah iring-iringan terlihat berjalan pelan. Dari semua iring-iringan itu, yang paling mencolok adalah sebuah kereta kencana yang berjalan di tengah-tengah iringan. Ada tiga orang yang duduk di atas kereta kencana. Seorang gadis muda mengenakan busana putri keraton khas jawa lengkap dengan hiasan kepalanya dan dua orang gadis kecil yang mengapit di sebelah kiri dan kanannya. Saat Astuti melihat ke arah putri keraton di atas kereta kencananya itu, entah kebetulan atau tidak, sang Putri juga menolehkan kepalanya ke arah Astuti dan tersenyum. Ketika mereka berdua saling bertatapan mata, Astuti merasakan seluruh bulu kuduknya meremang berdiri. Astuti sendiri tak mengerti bagaimana bisa mereka berdua saling bertatapan mata. Dia hanya mengintip dari celah jendela yang tak terbuka sempurna. Tapi dia juga tahu kalau itu semua bukan kebetulan saja. Astuti masih terpaku di tempatnya dan tak bisa menggerakkan sedikit pun anggota badannya ketika bertatapan mata dengan sang Putri di atas kereta kencana itu. Untungnya, sesaat kemudian, sang Putri memalingkan kepalanya dan kembali melihat ke depan, tak lagi mempedulikan Astuti. Saat itulah Astuti kembali terbebas dari pengaruh tatapan mata menakutkan itu. Astuti melihat ke arah iring-iringan yang disertai gending gamelan itu tapi dia tak bisa menemukan kemana rombongan nayaga penabuh gamelan di antara mereka. Lalu kalau tidak ada rombongan gamelan, darimana suara yang didengarnya saat ini dan sedari tadi berasal? Tapi, pertanyaan itu segera terhapus oleh kejadian ganjil yang kembali dilihatnya dari iring-iringan di jalan sana. Astuti melihat, kereta kencana sang Putri ternyata tak ditarik oleh seekor kuda melainkan oleh empat orang laki-laki dewasa. Keempat laki-laki itu berwajah murung dan sedih. Tatapan mata mereka juga kosong dan hampa. Entah kenapa, terlintas sebuah pikiran di kepala Astuti bahwa mereka akan menarik kereta kencana itu untuk selamanya, kemana saja sang Putri meminta. Di bagian belakang iring-iringan, Astuti melihat puluhan manusia, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, tapi mereka semua memiliki ekspresi wajah yang sama, ekspresi wajah seperti para penarik kereta, ekspresi wajah para tersangka yang sedang digiring menuju vonisnya, ekspresi para penghutang yang tak lagi bisa menghindari penagihnya. “Iring-iringan apa ini?” gumam Astuti sesaat sebelum dia tiba-tiba kehilangan kesadaran diri. ===== “Ini si Edi,” kata Joyo sambil menepuk-nepuk pundak Edi yang berdiri di sebelahnya. Di depan Joyo dan Edi berdiri seorang wanita yang langsung mengulurkan tangannya ke arah Edi, “Retno.” “Edi,” jawab laki-laki yang dikenalkan oleh Joyo barusan. “Si Edi ini arsitek yang bakalan nggambar sama ngawasi pembangunan rumah ini. Kau bisa yakin sama dia, kerjaannya bagus. Dia ini udah sering bikin rumah-rumah mewah untuk juragan-juragan di kota sana,” promosi Joyo. “Saya mohon bantuannya ya Mas Edi,” kata Retno sambil tersenyum dan menganggukkan kepalanya ke arah Edi. “I… Iya,” Edi tergagap untuk sesaat. Jujur saja, Edi terpana saat melihat wanita bernama Retno yang kemungkinan besar akan menjadi kliennya ini. Dia tak menyangka jika sosok aslinya berbeda jauh dari bayangan yang ada di kepalanya. Beberapa hari lalu, sahabatnya memberi tahu bahwa salah satu kenalannya membutuhkan jasa seorang arsitek. Sahabat Edi yang bernama Pulut itu menceritakan bahwa kenalannya ini sedikit unik. Dia seorang Lurah yang bernama Joyo. Menurut cerita Pulut, si Joyo ini kaya raya. Mungkin karena kekayaannya, dia berhasil mempersunting seorang kembang desa bernama Astuti yang usianya terpaut jauh untuk menjadi istrinya. Dan sekarang, si Joyo membutuhkan jasa arsitek untuk membangun rumah bagi istrinya itu. Tapi bukan di situ letak keunikannya. Menurut cerita Pulut, ternyata keluarga Astuti hanya terdiri dari dua orang, Astuti dan Ibunya. Bapak Astuti sudah meninggal, itu artinya Ibu Astuti adalah seorang janda. Dan menurut rumor yang beredar, si Lurah Joyo ini selain mempersunting anak gadisnya, dikabarkan juga sering meniduri ibu mertuanya sendiri, si Janda. Saat Edi mendengar cerita Pulut, dia serasa ingin muntah. Binatang macam apa yang melakukan hal seperti itu? Edi sadar, dirinya bukan manusia suci. Dia juga akrab dengan kehidupan malam, tapi apa yang dilakukan oleh Joyo sudah benar-benar di luar nalar. Saat itu, Edi bahkan sempat menolak tawaran Pulut untuk mengambil proyek ini karena alasan itu. Dia tak ingin berurusan dengan manusia-manusia seperti Joyo dan ibu mertuanya. Tapi setelah Pulut memberitahu nominal nilai proyek rumah yang diinginkan Joyo, jiwa kapitalis Edi menang. “Asalkan harganya cocok, sekalipun iblis yang datang memintaku untuk membangun rumahnya, aku akan melakukannya,” kata Edi saat itu sambil tertawa menjijikkan. Tapi sekarang, saat Edi berdiri di depan Retno. Dia terpana. Dia bahkan beberapa kali harus menelan ludah secara sembunyi-sembunyi karena entah kenapa tenggorokannya terasa kering sedari tadi. Edi juga merasa kalau matanya susah sekali beralih dari sosok wanita dewasa itu, si Janda ibu mertua Joyo. Joyo seorang laki-laki dan dia buaya darat veteran, jam terbangnya sudah jauh di atas si Edi. Dia tentu bisa menebak apa isi kepala laki-laki itu. “Oke kalau begitu, kita langsung saja ke lokasi,” kata Joyo sambil berjalan mendekati Retno. Sesampainya di dekat Retno, tangan Joyo tiba-tiba meremas p****t Retno. Dia bahkan tak merasa malu meskipun ada Edi yang jelas-jelas melihat kelakuannya. “Mas!!!” teriak Retno sambil melotot ke arah Joyo. Joyo hanya tertawa kecil saja sambil melirik ke arah Edi dengan tatapan aneh. Edi yang melihat kelakuan Joyo tentu saja panas dingin. Dari gesture tadi, dia tahu kalau Joyo sengaja memanas-manasinya dan menunjukkan bahwa Retno adalah wanitanya. Entah kenapa, emosi Edi tiba-tiba meluap tak terkendali. Dia tahu kalau tak ada hubungan apa pun antara dia dan Retno tapi dia merasa cemburu tanpa sebab atas kelakuan Joyo. ===== Orang-orang berkata, “Uang bisa menyulap penampilan seseorang.” Begitu juga dengan warga desa Setoyo. Selama beberapa waktu ini, ada satu keluarga yang selalu menjadi bahan perbincangan mereka semua. Siapa lagi kalau bukan Retno dan anak gadisnya. Semuanya masih wajar-wajar saja saat sang kepala keluarga, Prayitno, masih hidup. Mereka hidup seperti layaknya petani desa yang serba sederhana dan apa adanya. Tapi semenjak kematian Prayitno, kehidupan Retno dan anaknya justru berubah drastis. Mulai dari rumah, pakaian, cara berdandan dan sebagainya. Mungkin untuk Astuti, perubahan itu tak terlalu signifikan. Dia hanya mengenakan baju-baju yang lebih bagusdan bersih tetapi dia masih tetap sederhana, rendah hati dan pendiam. Tapi Retno? Retno berubah menjadi orang lain. Wanita desa yang dulu sederhana kini berubah menjadi wanita yang gemar bersolek dan mengenakan pakaian yang menunjukkan pesona tubuhnya. Dia juga memakai berbagai perhiasan yang membuat istri-istri tetangganya selalu melirik dengan iri ke arahnya. Untuk sebagian besar orang, perubahan Retno mungkin adalah sesuatu yang tak penting bagi mereka, tapi untuk para istri yang merasa kalau suaminya mulai tergoda dengan pesona si Janda? Tentu ini sesuatu yang sangat penting. Rumah tangga mereka terancam karena Retno. Joyo hanyalah satu dari sekian banyak pengagum Retno yang mulai bermunculan di Setoyo. Dan tentu saja, Joyo adalah yang paling agresif karena dia merasa cukup memiliki modal untuk itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN