Kamari meneguk ludah, menatap Liam dengan mata membulat. “A-apa kabar, Om, eh, ma-maksudku Pak Liam.”
Masih dengan senyum di bibir, Liam mengamati Kamari dari atas ke bawah lalu menganggukkan kepala dengan mantap. “Bagus, kamu sudah dewasa sekarang. Sudah waktunya untuk kita menikah.”
“Apa? Me-menikah?” Kamari masih tidak mengerti, tapi melihat senyum di bibir Liam, ia tahu sedang dipermainkan. Ia melirik sekeliling, di mana orang-orang sedang menatap tajam padanya dan bergumam kecil. “Pak, sebaiknya cepat pergi. Aku mau pulang cepat.”
Entah apa yang membuatnya tertawa begitu lepas, tapi Liam tidak bisa menahan gelak tawa yang keluar dengan begitu bebas. Sikapnya yang tiba-tiba berubah menjadi ceria dan penuh semangat membuat para eksekutif yang mengikutinya merasa bingung dan heran. Mereka sudah terbiasa dengan sisi Liam yang dingin, tegas, dan terkadang sulit didekati. Namun, kali ini, pria yang biasanya serius dan penuh perhitungan itu justru memancarkan keceriaan yang menggelitik hati.
Di hadapan gadis itu, yang dianggapnya sebagai calon istri, segala bentuk kewibawaan yang biasa dimilikinya tampaknya hilang begitu saja. Tawa yang terus terdengar itu membuat suasana sekitar terasa jauh lebih ringan. Para eksekutif saling bertukar pandang, tidak tahu apakah ini hanya lelucon besar atau mungkin hanya bagian dari rencana kejutan yang belum mereka pahami.
Mereka pun bertanya-tanya dalam hati, bukankah sekarang sudah memasuki bulan Mei? Lalu, apakah tawa Liam ini hanya bagian dari lelucon yang lebih besar?
“Kamari, kenapa kamu masih malu-malu? Kita sudah mau menikah.”
Wajah Kamari memerah dan panas seketika. Ia merasa Liam sudah gila. Tujuh tahun tidak bertemu, siapa sangka mengubah laki-laki baik menjadi aneh.
Dengan berani, Liam mengusap lembut kepala Kamari. Menatap pada manajer yang masih berdiri kaku di tempatnya dan berujar nyaring. “Pak Didi, aku nitip calon istriku di sini. Tolong, jaga!”
Didi, sang manajer mengangguk dengan wajah pucat. “Iya, Pak.”
“Aku pergi dulu, Sayang. See you!”
Liam meninggalkan Kamari diikuti oleh banyak orang. Kamari menatap kerumunan yang menjauh dan terduduk sambil mengusap wajah. Tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Mulai kapan Liam menjadi calon suaminya? Mereka sudah tidak bertemu bertahun-tahun lamanya. Apakah laki-laki itu mengalami kecelakaan, lalu gegar otak dan menjadi gila? Ia sungguh tidak mengerti.
“Kamu nggak bilang mau kawin sama Pak Duda!” Balqis datang dan menepuk punggungnya dengan keras.
Kamari menggeleng. “Kita saling kenal, tapi nggak mau nikah.”
“Bohong kamu!”
“Buat apa aku bohong?”
“Mana aku tahu. Nggak mau tahu, pokoknya kamu harus cerita semuanya sekarang. Nata sama Vasthi lagi otewe jemput kita.”
Di hadapan tiga sahabatnya, Kamari diberondong banyak pertanyaan tentang Liam. Kapan bertemu, kapan mau menikah? Dan Kamari menjelaskannya dengan susah payah. Sahabatnya tidak ada yang percaya kalau ia hanya sekedar kenal dengan Liam, itu pun sudah tujuh tahun yang lalu.
“CLBK, kalian. Enak banget kamu, balikan sama mantan yang kaya raya,” celetuk Vasthi, mengunyah sate ati. Mereka makan bubur ayam gerobakan yang berada di pinggi jalan masuk komplek.
“Udah aku bilang, nggak ada yang jadian!” sergah Kamari.
Balqis mengangguk kecil. “Nggak masalah, sih, kalau kalian mau jadian juga. Pak Liam duda, kamu masih gadis. Wajar itu.”
“Aah, bodo ah!”
Vasthi menyenggol Balqis dengan ujung sikunya. “Ngomong-ngomong, pasti nggak imbang ntar.”
“Apanya?” tanya Balqis.
“Pertarungan di ranjang, Pak Liam udah jago, sedangkan Kamari, ciuman aja belum pernah.”
Kamari tersedak bubur, sementara teman-temannya tergelak. Nata menyodorkan teh hangat sambil menyengir jahil. “Kalau kamu butuh tuntutan buat belajar s*x, bilang ama aku. Ntar aku download-in dari yang semi sampai yang paling ancur! Aku ada!”
Kamari melotot. “Kamu ngomong lagi, aku gebuk!”
“Oh, takut. Tapi, bener, ada juga yang bisa ajarin kamu step per step.” Nata menggerakkan alisnya dan seketika tawa kembali pecah.
Kamari berusaha makan dengan tenang, meskipun ledekan dari teman-temannya terus menggema di sekitarnya. Mereka tak henti-hentinya menggodanya, dan ia hanya bisa tersenyum canggung, menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dalam hati. Semua tanya yang mengendap tentang Liam masih menghantui pikirannya.
Ini adalah sebuah kebetulan yang sangat aneh—bisa bertemu kembali dengan cinta pertama setelah tujuh tahun terpisah tanpa kabar. Liam kini telah menduda, dan hal itu membuat Kamari bertanya-tanya lebih jauh. Apa yang sebenarnya terjadi dengan pernikahan Liam? Mengapa mereka bercerai? Adakah anak dari hubungan itu yang kini menjadi bagian dari hidupnya?
Namun, meski rasa ingin tahu itu terus mendorongnya untuk mencari jawaban, Kamari menyimpulkan untuk tidak terlalu menganggap serius perkataan Liam. Bagaimanapun, masa lalu mereka sudah cukup lama berlalu, dan ia tidak ingin terjebak dalam kenangan yang mungkin tak seindah yang ia bayangkan. Kamari berusaha fokus pada dirinya sendiri, tidak membiarkan diri tenggelam dalam pertanyaan yang belum tentu memiliki jawaban pasti.
Ternyata, harapan tidak sejalan dengan kenyataan. Keesokan harinya, saat Kamari mencapai lantai ruang pameran, banyak mata menatapnya. Ia berusaha bersikap tenang, dan mengatakan pada diri sendiri kalau sedang geer. Sesampainya di ruang ganti sudah ada Vasthi di sana, bersama beberapa SPG lain. Sahabatnya itu menarik lengannya ke pojok dan berbisik.
“Kamu nggak ngrasa ada aura-aura pembunuhan?”
Kamari memberanikan diri melirik ke sekeliling tempat ganti dan bisa merasakan pandangan setiap orang yang tertuju padanya. la menghela napas, membalas bisik Vasthi.
“Siapa targetnya?”
“Elo! Siapa suruh mau kawin sama Pak Liam.”
“Damn! Aku yang repot jadinya!”
Vasthi menepuk pundak Kamari. “Bertahanlah, bestiee.”
Kamari mendesah. “Ngomong-ngomong, pameran masih kesisa berapa hari lagi?”
“Seminggu, napa? Udah nggak betah?”
Kamari mengangguk. “Iya.”
“Jangan takut, hadapi mereka. Ingat, belakang kamu ada Pak Duda yang tampan, kaya raya, dan berkarisma. Aduh, aku jadi pingin ketemu.”
Percuma bicara dengan Vasthi. sama sekali tidak membantu Kamari. Selama satu hari itu, Kamari merasakan tatapan aneh setiap orang padanya. Ada yang sinis, ada yang ingin tahu. Semua terjadi karena Liam. Bahkan saat istirahat, ia mendengar perkataan para SPG lain yang diucapkan dengan lantang dan jelas-jelas ditujukan padanya.
“Kalau kita punya pacar CEO, mana mungkin masih jadi SPG.”
“Jelaslah, minimal jadi nyonya atau paling nggak, manajer.”
“Mungkin bukan pacar, tapi itu, you know-lah.”
“Ah, teman tapi mesra?”
“Bukan, teman tapi tidur bersama!”
Mereka tergelak, dengan tatapan sinis ke arahnya. Kamari merasa makan siangnya menjadi hambar dengan nasi sekeras batu. Ia menutup kotak nasinya, membuang ke tempat sampah dan bergegas ke toilet untuk merapikan make-up. Memantut diri di depan cermin dan memoles bibir dengan lipstik, Kamari bergumam pada diri sendiri. Ia membutuhkan uang ini untuk biaya hidup. Tidak boleh menyerah. Barangkali, sampai akhir pameran Liam tidak akan pernah datang lagi. Dengan begitu, hidupnya kembali tenang.
Ternyata, keadaan sedang tidak berpihak padanya. Pukul delapan malam, Didi datang menghampiri. Sang manajer mengatakan kalau Liam menunggunya di pintu selatan gedung dan ingin mengantarnya pulang. Kamari hendak menolak tapi Didi berujar cepat.
“Kalau nggak nurut, nanti potong gaji, Kamari. Udah, ikut aja. Kapan lagi pulang bareng sama ayang beb.” Didi mengerling dan meluncur pergi, meninggalkan Kamari yang tercengang.
Ada apa dengan orang-orang ini? Pikir Kamari bingung. Didi yang biasanya selalu berwibawa dan galak, mendadak menjadi Iaki-Iaki penuh humor. Teman-teman SPG yang biasa selalu ramah, kini berubah sinis. Semua karena Liam.
Vasthi sudah pulang lebih dulu, digantikan oleh Balqis. Saat jam pulang tiba, ia meminta maaf pada sahabatnya karena tidak bisa pulang bersama.
“Om Liam mau antar aku pulang.”
Balqis mengangkat sebelah alis. “Om?”
Kamari mengangguk. “Iya, Om. Dari dulu aku manggil dia begitu.”
“Oh, aku jadi pingin juga punya om-om ganteng dan sexy gitu.”
Kamari memutar sebelah mata. “Nata mau kamu kemanain?”
“Ih, siapa juga pacaran sama dia?”
“Halah, ngeles mlulu kayak bajaj. Awas aja kalau ujung-ujungnya kamu bunting duluan!”
Balqis mencubit pinggang Kamari dan membuat gadis itu menjerit. “Sakiit!”
“Lagian, mulut nggak bisa dijaga.”
“Lah, Nata sendiri yang bilang dia banyak video anu-anu, takutnya kamu juga nonton trus pengen.”
Lagi-lagi Kamari menjerit saat cubitan kedua mampir di pinggangnya. Setelah Balqis puas menganiaya, berpamitan pulang lebih dulu. Kamari merapikan barang-barangnya dan memasukkan dalam tas. Ia melangkah perlahan, menahan d**a yang berdebar keras. Setiap langkah menuju pintu samping terasa berat. Seandainya bisa, ia ingin kabur saja. Tapi, ancaman potong gaji membuatnya terdiam.
Seharusnya, Liam tidak bisa memotong gajinya sembarangan. Bukankah ia tidak melakukan kesalahan? Apakah menolak pulang bersama CEO itu pantas mendapatkan hukuman? Masalahnya, posisi Liam sekarang adalah bossnya. Seorang boss akan menggunakan segala cara untuk menekan pegawainya, termasuk dengan memotong gaji. Kamari mendesah, berjalan di antara kerumunan yang hendak keluar menuju teras samping.
“Kamari! Di sini!”
Berteriak padanya dari samping mobil mewah warna silver, Kamari menatap laki-laki yang bertahun-tahun lalu menjadi obyek mimpi-mimpinya. Liam muda menjelma menjadi laki-laki matang, kaya raya, dan sexy. Itu yang harus diakui oleh Kamari. Menghela napas panjang, ia menghampiri Liam.
“Om, eh, Pak, selamat malam.”
Liam tersenyum. “Kamu dulu manggil aku apa?”
“Om.”
“Dulu nyaman nggak manggil gitu?”
Kamari mengangguk. “Nyaman.”
“Nah, tetap panggil gitu. Aku selamanya akan jadi om kamu. Ayo, masuk!”
Liam membantunya membuka pintu, Kamari masuk dan duduk di jok depan. Ia letakkan tas di bawah kursi dan berusaha mengendalikan gugupnya.
“Sini, pasang sabuk pengaman.”
Kamari mematung, saat Liam mencondongkan tubuh ke arahnya. Rambut laki-laki itu menyapu wajahnya saat jemari Liam meraih kait dan membantunya memasang sabuk. Aroma parfum yang lembut tapi maskulin menguar dari tubuh yang dibalutjas mahal.
“Oke, sudah! Duduk yang benar.”
Liam kembali duduk sempurna. dengan Kamari seolah kehilangan napas.
“Kita makan malam dulu, bagaimana kalau cari sate pakai lontong? Kamu dulu suka makan itu.”
Melihat Kamari yang mematung, Liam bertanya sekali lagi.
“Kamari, kamu nggak mau makan sate?”
Kamari tersadar dan mengangguk. “Mau. Apa saja, terserah.”
Kendaraan melaju kencang meninggalkan gedung pameran, menembus lalu lintas yang cukup padat. Liam melirik gadis yang menunduk di sebelahnya. Rambut Kamari yang hitam dan panjang, diikat kuncir kuda, menampakkan bentuk wajah yang tirus. Bibir tipis, mata bulat, dengan kulit yang putih.
“Kamari ...”
Kamari mengangkat wajah, menatap Liam. “Iya, Om.”
Liam tersenyum. “Kamu cantik sekali. Tidak sia-sia aku menunggumu tujuh tahun.”
Kamari bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, dan wajahnya memanas. Menunggu tujuh tahun? Apakah Liam sedang membohonginya?