BAB 3

1721 Kata
“Nenek, mau kemana?” Kamari yang baru pulang sekolah dan sedang mencopot sepatu di teras, menatap neneknya yang keluar sambil membawa kotak plastik. Si nenek menoleh. “Kamari, ada tetangga baru di ujung gang. Anaknya baik, tadi habis nolongin nenek. Buat tanda terima kasih, nenek mau kasih dia bolu.” Kamari mengangguk. “Rumah ujung gang yang gede itu, Nek?” “Iya, di sana. Kamu mau ikut? Ayo!” “Sekarang, Nek?” “Iya, nggak usah ganti baju. Kamu taruh tas dan buku di dalam.” Awalnya Kamari ragu-ragu mau ikut, tapi karena si nenek memaksa akhirnya ia ikut. Lagipula. dalam hatinya merasa penasaran, siapa yang menyewa rumah besar itu? Pasti satu keluarga. Semua penduduk gang tahu, rumah itu terlalu lama kosong karena terlalu besar dan harga sewanya pun mahal. Terakhir, yang tinggal di sana hanya mampu bertahan enam bulan. Masih dalam balutan seragam putih dan rok biru, Kamari mengikuti langkah neneknya. “Tadi pagi, nenek ke tukang sayur. Pas lewatin depan rumah dia, nenek jatuh karena hampir diserempet motor. Untung ditolongin sama dia.” “Baik berarti orangnya, Nek.” “Memang, makanya Kamari kenalan. Panggil ‘Om’ biar sopan, ya? Soalnya jauh lebih tua dari kamu.” Dalam benak Kamari, orang yang dipanggil ’Om’ ini pasti sudah tua atau bapak-bapak. Memang sudah sepantasnya kalau sebagai orang muda, ia ikut mengucapkan rasa terima kasih atas pertolongannya. Itu yang namanya adab bertetangga dan sopan santun.Tiba di rumah besar berpagar putih, Kamari memencet bel dan menunggu si om membuka pagar. Ia berdiri memunggungi pagar, sibuk menatap jalanan yang cukup ramai dan tidak menyadari pagar terbuka. “Siapa, ya?” Suara laki-Iaki terdengar dari belakang. “Ini, aku, nenek yang tadi kamu tolong.” “Oh, ya, Nek. Ada apa? Mari masuk!” Kamari membalikkan tubuh dan terkesima, bayangan seorang om yang merupakan bapak-bapak tua di benaknya, sirna seketika. Ternyata, om penolong nenek adalah laki-laki muda yang Iuar biasa tampan. Dengan tubuh tinggi dan rambut hitam tebal yang agak panjang. Laki-laki itu tersenyum padanya. “Kamari, sapa Om Liam, cepat!” Si nenek menyikutnya. Kamari menelan ludah dengan gugup, sibuk meredakan jantungnya yang berdetak tak karuan. Terlebih, saat laki-laki itu tersenyum ramah padanya. “Ha-halo, Om. Namaku Kamari.” Liam tersenyum. “Nama yang bagus, Kamari.” Kamari tidak menjawab, masih mematung dengan mata bulatnya menatap Liam tak berkedip. “Mari masuk, Nek. Maaf, masih berantakan rumahnya.” “Nenek datang bawa bolu. Semoga kamu suka.” “Repot-repot amat, Nek.” Pertama kalinya, Kamari menginjak rumah besar berpagar putih yang sekarang dihuni Liam. Selama di dalam, ia lebih banyak diam, mendengarkan neneknya bicara dengan Liam. Sesekali ia melirik laki-Iaki itu dan menunduk saat Liam menangkap pandangannya. Kamari merasa kalau panggilan om tidak cocok untuk Liam, harusnya kakak atau abang, tapi saat tahu kalau umur mereka terpaut hampir 11 tahun, ia menyadari kalau memanggil ‘om’ adalah wajar. Baru kali ini ia merasa kalau om-om memang sangat memikat, pantesan saja banyak teman-temannya yang bercerita kalau suka diajak jalan sama om-om. Apakah mereka semua setampan Liam? Tumpukan di pojok ruang tamu, menarik perhatian Kamari. Ia bangkit dari sofa, menghampiri tumpukan itu dan berseru. “Komik detektif Conan, wow, banyak banget. Om Liam suka baca ini juga?” Liam tersenyum dari seberang ruangan. “Kamu suka juga?” Kamari mengangguk. “Iya, suka banget.” “Baca aja kalau mau. Kamu bisa datang kapan aja kalau mau baca, mau minjam juga boleh.” “Mau, Om!” Bermula dari komik, mereka akhirnya dekat satu sama lain. Setiap sore, Kamari menunggu Liam pulang kuliah untuk berkunjung. Sesekali ia membantu pemuda itu masak mie instan atau ceplok telur kalau tahu Liam sedang kelaparan. Tidak jarang, Liam mentraktirnya makan, dan membuat Kamari bergurau, kalau makanan-makanan itu bisa membuatnya gendut. “Kamu baru 15 tahun, sering olahraga dan beraktifitas. Mana mungkin gemuk? Ayo, habiskan pizzanya.” Kamari tidak malu-malu menerima kebaikan hati Liam. Ia menganggap rumah besar berpagar putih adalah rumahnya, komik-komik yang ditumpuk di atas lantai, ditata rapi olehnya ke dalam rak, termasuk buku-buku kuliah Liam. Saat tertentu, Liam sedang sibuk dengan pekerjaan di depan laptop, Kamari tanpa sungkan membantu membersihkan rumah. Ia sering bergurau dengan diri sendiri, merasa seperti suami istri dengan laki-laki muda itu. “Kamari, kalau main ke rumah Om Liam, pulangnya jangan malam-malam.” “Kenapa, Nek?” “Nggak pantas, soalnya kalian sama-sama masih muda. Orang-orang bisa mikir macam-macam.” Awalnya Kamari tidak mengerti, tentang pikiran orang-orang yang macam-macam itu. Sampai suatu hari, ia melihat pagar sedikit terbuka dan masuk tanpa memencet bel. la mengambil komik dan duduk di ruang tamu, menduga Liam pasti sedang tidur. Sepuluh menit berlalu, ia tenggelam dalam bacaannya dan menoleh saat terdengar suara langkah dari belakang. “Om, bangun tidur, ya?” Ia terbelalak, menatap Liam yang muncul hanya memakai selembar handuk yang menutupi dari perut sampai atas paha. Air menetes-netes dari ujung rambut Liam dan membasahi dadanya. Kamari terkesima hingga tak mampu bicara. “Ups, sorry, Kamari. Aku lagi mandi, nggak dengar kamu datang. Tunggu, aku ganti baju.” Liam melesat masuk dan meninggalkan Kamari yang melamun. Menghela napa panjang, Kamari meraba wajahnya yang memanas. Ia merasa kalau semua yang baru dilihat, itu melanggar hukum. Seharusnya seorang laki-laki setampan Liam, tidak boleh sembarangan pamer tubuh. “Aduuh, gerah!” Kamari memekik, tanpa berpamitan berlari pulang. Ia tidak mengerti, kenapa jantungnya berdetak tak karuan dan dadanya berdesir karena Liam. Setiap malam, sebelum tidur ia sibuk membuat rencana tentang laki-laki itu. Ia menyukai waktu-waktu yang dihabiskannya di rumah Liam, mendengarkan laki-laki itu bicara, atau menertawakan tingkahnya yang lucu. Ada banyak pemuda seusianya di sekolah, tapi tidak satu pun yang seperti Liam. “Kayaknya aku naksir orang deh.” Suatu hari, Kamari curhat sama temannya. “Naksir siapa kamu?” “Om di ujung gang.” Si teman mendengkus keras. “Yaelah, kirain naksir si Justin idola sekolah atau, Henry yang artis sinetron itu, malah naksir om-om, nggak banget kamu, Kamari!” “Emang apa salahnya naksir om-om? Kamu nggak tahu aja gimana Om Liam?” “Kenapa? Dia tampan gitu? Aku yakin, dia nggak ada seujung kukunya Justin. Hah, om-om kok ditaksir! Ambil duitnya aja, jangan main hati sama om-om, mah!” Secara kebetulan, Justin yang mereka bicarakan lewat. Pemuda tampan dengan wajah tampan menggemaskan, kesana kemari diikuti banyak cewek. Bagi banyak cewek, Justin memang tampan tapi menurut Kamari, tetap Liam lebih mengesankan. Kamari merasa makin lama otaknya makin geser, gara-gara naksir om-om. “Kamari, makan di sini bagaimana?” Pertanyaan Liam menarik Kamari dari kenangan masa lalu. Ia menatap restoran besar di pinggir jalan yang menyediakan aneka masakan khas daerah. Menghela napas, ia berucap lirih. “Kalau Om suka di sini, ya, di sini aja nggak apa-apa.” Liam mengernyit. “Jawabanmu ambigu banget. Emangnya kamu nggak suka?” “Terserah aja, mau makan di mana.” “Aku paling nggak suka jawaban terserah. Kamari, aku tanya lagi. Kamu mau makan di sini atau ada rekomen tempat lain?” Kamari menggigit bibir, berpikir sesaat. “Ehm, aku tahu di ujung jalan ini ada warung gerobak pinggirjalan. Lebih enak satenya di sana daripada di sini.” Liam tersenyum, kembali menyalakan mesin. “Oke, kalau gitu kita ke sana.” Mereka melanjutkan perjalanan mereka, namun Kamari merasa seolah ada jarak yang tak terucapkan di antara mereka. Liam yang dulunya begitu familiar kini terasa asing, dan kehadirannya kembali dalam hidupnya membuatnya bingung. Kamari tidak tahu harus berkata apa. Apakah ia harus berbicara tentang betapa kayanya Liam sekarang, atau mungkin bertanya soal mantan istrinya? Kenapa mereka bercerai? Semua pertanyaan itu terasa konyol baginya, bahkan seakan tidak layak untuk diajukan. Perasaan itu menahan kata-kata di tenggorokannya, dan Kamari memilih untuk tetap diam. Ia lebih memilih untuk mengunci mulutnya, membiarkan dirinya meresapi suasana, membaca situasi yang ada. Seiring langkah mereka yang terus maju, Kamari bertanya-tanya dalam hati, apakah Liam masih laki-laki yang sama seperti tujuh tahun lalu? Atau mungkin sudah banyak yang berubah dalam dirinya, seperti halnya dirinya yang juga tidak lagi sama. Ia menyadari, ada begitu banyak waktu yang telah berlalu dan banyak hal yang bisa berubah. Tapi, entah mengapa, ia merasa ragu untuk menggali lebih dalam. Mungkin ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan terlupakan. Mereka tiba di warung yang dituju. Sebuah tempat makan dari tenda sederhana. Liam memarkir kendaraannya di tanah kosong samping warung. Menatap sekeliling yang cukup ramai. “Sepertinya enak. Ayo, turun.” Kamari mengangguk dan bergegas membuka pintu. Saat melangkah beriringan dengan Liam menuju meja kosong, ia mendengar laki-laki di sampingnya bicara dengan nada menggoda. “Kamari, lain kali kalau kamu mau ini dan itu, langsung bilang. Nggak usah pakai malu-malu. Kamu lupa? Waktu nelanjangin aku dulu, kamu nggak semalu-malu ini?” Kamari terantuk batu dan hampir jatuh kalau bukan Liam yang sigap meraih lengannya. “Hei, hati-hati!” Kamari mengeluh dalam hati, bagaimana ia bisa tetap hati-hati saat berdekatan dengan Liam yang selalu mengganggunya. Apakah laki-laki itu sedang balas dendam? Dulu, Kamari yang mendekati dan menggoda tanpa ampun. Tanpa malu-malu menunjukkan cinta. Tapi, itu dulu. Sekarang, ia bahkan tidak punya keberanian untuk sekedar bercanda. “Kalau nggak salah ingat, kamu dulu suka sate kambing bumbu kecap, pakai cabai dan bawang merah iris. Benar?” Kamari ternganga takjub. “Om masih ingat?” Liam tersenyum misterius, seperti menyimpan sebuah rahasia yang hanya ia dan waktu yang tahu. Tanpa ragu, ia memanggil penjual dan memesan tiga puluh tusuk sate kambing dengan dua lontong, seperti yang mereka biasa pesan dulu. Untuk minuman, ia memilih es jeruk peras, tak ada yang berubah dari pilihan itu. Kamari mengamati semuanya dengan perasaan campur aduk, entah mengapa, semua ini terasa begitu akrab, namun sekaligus asing. Liam menatap Kamari lekat-lekat, seolah mencoba mencari tahu siapa sebenarnya gadis yang duduk di depannya ini. Selain semakin cantik, ada banyak hal yang berbeda dalam diri Kamari. Keceriaan yang dulu selalu menyertai setiap langkahnya, kini seakan sirna, digantikan oleh sesuatu yang lebih suram. Senyum yang dulu tak pernah hilang, kini hanya terlihat sebagai bayangan samar. Mata yang dulunya selalu berbinar penuh semangat dan jenaka, kini tampak redup, seakan tertutup kabut yang sulit ditembus. Waktu telah mengubah banyak hal, dan Liam tak bisa tidak merasa bahwa Kamari telah melalui sesuatu yang berat. Mungkin, di balik senyum tipis itu, ada cerita yang belum ia dengar—sesuatu yang mengubahnya tanpa bisa ia hindari. Liam merasa sedikit kehilangan, teringat pada gadis yang dulu ia kenal, yang kini tampak begitu berbeda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN