BAB 4

1836 Kata
“Bagaimana kabar orang tuamu? Terakhir aku ke sana, kalian sudah pindah.” Kamari mengedip, sekali lagi merasa takjub. “Om ke tempat kita dulu?” Liam mengangguk. “Iya, dua atau tiga tahun lalu. Kebetulan lagi lewat sana, trus mampir. Ternyata kalian sudah pindah.” “Kami pindah, satu tahun setelah Om nikah,” ucap Kamari pelan. “Kemana?” “Ke kampung, ehm ... Papa meninggal dan kami bangkrut. Terpaksa jual rumah.” Pedagang datang mengantarkan pesanan, Liam mengaduk sate dalam kecap dan menyodorkan pada Kamari. “Makan dulu, nanti baru cerita lagi. Jangan sampai ceritamu, bikin hilang selera makan.” “Eh, ini nggak kebanyakan, Om?” Kamari mengambil satu tusuk dan mulai memakannya. Liam melakukan hal yang sama. “Nggaklah, sate kambing bagus kesehatan.” “Bukannya bikin darah tinggi?” “Tergantung, ada juga yang bagus untuk meningkatkan stamina.” Kamari mengangguk-angguk. “Oh, baru tahu kalau sate kambing buat stamina.” “Masa? Pengantin baru makan sate kambing biar bagus stamina di ranjang.” Kamari berhenti mengunyah, menatap Liam dengan heran. la merasa ada sesuatu yang salah dengan laki-laki di depannya. “Om, boleh tanya sesuatu?” “Ya, Kamari.” “Jadi duda berat, ya?” Liam mengangkat sebelah alis. “Maksudnya?” “Berat menahan rasa kesepian.” “Nggak, kenapa tanya gitu?” “Omonganmu, m***m terus.” Liam tergelak, suaranya terdengar nyaring dan mengalun, begitu riang di tengah kesunyian malam. Ia sadar betul, sudah lama sekali sejak terakhir kali ia merasa sepenuhnya seperti ini—bebas dari beban dan tekanan. Biasanya, rutinitas pekerjaan yang padat membuatnya lupa bagaimana rasanya tertawa tanpa beban. Namun kini, di hadapan Kamari, ia merasa seakan segala sesuatunya menjadi lebih ringan. Gadis itu, meskipun tidak lagi sering bertemu, seakan tahu persis bagaimana cara menghiburnya. Kamari dengan caranya yang sederhana dan tanpa pretensi, berhasil membuatnya tertawa tanpa khawatir tentang pekerjaan yang menanti atau tanggung jawab yang harus diselesaikan. Ternyata, tidak salah ia mengajak Kamari makan malam. Rasanya seperti menemukan kembali kebahagiaan yang sempat hilang. Liam tersenyum pada dirinya sendiri, menyadari betapa kehadiran Kamari, bahkan setelah waktu yang begitu lama, mampu membuatnya merasa nyaman dan bahagia seperti dulu. “Cara bicararnu, kayak dulu masih 15 tahun. Padahal, sekarang kamu sudah berapa? Dua puluh dua?” Kamari menggeleng. “Dua puluh tiga.” “Nah kan, usia cukup buat menikah. Entah kenapa kamu malu-malu sekarang, padahal dulu kamu berani nelanjangin aku. Ingat, loh. Dulu, pas kamu masih 15 tahun!” “Om, stop!” Kamari mengerang, dan Liam kembali tertawa. “Om, itu kan masa lalu. Bisa nggak jangan diingat lagi?” Liam menggeleng. “Tega kamu, Kamari. Padahal, cewek pertama yang lihat tubuh aku itu kamu. Bisa-bisanya kamu suruh aku lupain?” Mereka terus mengobrol sambil menikmati sate, menghabiskan waktu dengan percakapan yang mengalir begitu alami. Liam mengamati Kamari dengan seksama, merasa ada sesuatu yang berubah. Sepertinya, Kamari hampir menghabiskan 15 tusuk sate seorang diri. Liam tersenyum dalam hati, merasa sedikit heran dengan kemampuan makan gadis itu yang tampaknya tidak berubah, meski banyak hal lain yang telah berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Ia melihat wajah Kamari perlahan memerah, tidak lagi tampak murung atau pucat seperti sebelumnya. Ada sedikit keceriaan yang kembali muncul, meskipun tidak secerah dulu. Wajah yang dulu selalu dipenuhi senyum lebar kini menunjukkan ekspresi yang lebih tenang, lebih bijaksana. Liam merasa ada banyak hal yang telah terjadi dalam tujuh tahun ini, dan meskipun ia ingin tahu, ia tahu bahwa tidak ada jalan pintas untuk memahami perubahan yang terjadi pada Kamari. Ia akan mencari tahu perlahan-lahan, tidak ingin terburu-buru atau menekan gadis itu dengan pertanyaan yang mungkin terlalu berat. Kali ini, ia bertekad untuk melakukan semuanya dengan benar. Tidak ada lagi keraguan atau ketakutan seperti dulu. Liam tahu, untuk memahami Kamari sepenuhnya, ia harus memberi ruang dan waktu, dan itu adalah sesuatu yang siap ia lakukan. Saat membayar tagihan, pedagang yang sepertinya mengenal Kamari tersenyum kecil. Laki-laki berkulit sawo mata dengan rambut dikuncir itu menatap Kamari dan Liam bergantian. “Ah, Kakak ini sudah menikah ternyata. Selamat, ya? Pengantin baru memang harus banyak makan sate kambing,” ucapnya dengan logat daerah yang khas. Kamari terdiam, dan belum sempat menjawab Liam sudah mengajaknya pergi. “Om, kos aku dari sini udah dekat. Aku naik ojek aja.” Kamari memberi saran, saat mereka selesai makan. Liam menggeleng. “Mana alamat, biar aku antar sampai depan kos.” “Nggak mau ngrepotin, Om.” “Terlambat Kamari. Dari dulu kamu udah ngrepotin perasaanku. Ayo, naik!” Menatap lampu-lampu jalanan yang bersinar di kegelapan, Kamari meraba dadanya yang bergetar. Cara Liam bercanda, terlihat begitu santai tanpa perasaan. Apakah laki-laki itu tahu bagaimana rasa hatinya? Bertemu kembali dengan laki-laki yang selama ini mengisi mimpi-mimpi, ibarat mendapatkan duriah runtuh. Ia tidak ingin berharap, tidak berani berharap, dan semoga Liam tidak membuatnya berharap lebih. “Ini, Om kos aku.” Kamari menunjuk malu-malu pada bangunan berlantai dua, dengan dinding dan pagar warna abu-abu. Kos-annya memang tidak mewah tapi layak untuk ditinggali dan berada di pusat kota. Memudahkan untuk mencari transportasi. “Sebulan berapa di sini?” “Delapan ratus ribu sudah sama listrik.” “Murah juga. Khusus cewek?” Kamari menggeleng. “Nggak, campur. Yang khusus cewek agak jauh dari kampus. Terpaksa ambil yang ini.” “Mana ponselmu?” “Buat apa?” Kamari bertanya sambil menyerahkan ponselnya. Liam meraih dan menyorongkan layar yang menyala. “Sidik jarimu.” Setelah terbuka, Liam memasukkan rangkaian nomor dan memberikannya pada Kamari. “Ada nomorku di sana. Dua nomor, satu untuk pekerjaan dan satu lagi untuk pribadi. Hubungi aku, kapan pun kamu longgar.” Kamari tersenyum. “Makasih, Om. Aku turun dulu.” Liam terdiam, membiarkan Kamari membuka pintu. Sebelum gadis itu menutupnya, ia berucap kecil. “Kamari, kamu tahu aku sudah bercerai bukan?” Kamari mengangguk kecil. “Iya. Om.” “Tapi, tubuhku masih sama seperti yang kamu lihat dulu. Nite, Kamari!” Pintu tertutup dan kendaraan melaju meninggalkan Kamari yang berdiri bingung di depan gerbang kos. Apa maksudnya dengan tubuhnya yang sama seperti dulu? Memangnya apa bedanya duda dengan perjaka? Kamari kebingungan menafsirkan perkataan Liam. Kamari melangkah lunglai memasuki lorong, tidak peduli dengan beberapa panggilan iseng yang datang dari penghuni kos laki-laki. Ia sudah terbiasa dengan hal seperti itu, dan kali ini, ia sama sekali tidak ingin terlibat dalam obrolan yang hanya akan mengganggu pikirannya. Setelah hari yang melelahkan, satu-satunya yang ingin ia lakukan adalah kembali ke kamar dan mencari sedikit kedamaian. Saat menaiki tangga, ia berpapasan dengan anak pemilik kos, seorang pemuda muda dengan rambut yang dicat cokelat terang. Pemuda itu tersenyum ramah, menyapa Kamari seperti biasa. Meskipun sikapnya tidak pernah berubah—selalu penuh energi dan terbuka—Kamari tetap merasa sedikit tidak nyaman. Pemuda itu sering kali mencoba mengajaknya mengobrol, memulai percakapan tentang hal-hal sepele yang sebenarnya Kamari tidak terlalu pedulikan. Kamari hanya memberi senyum tipis, tidak berniat untuk melanjutkan percakapan. Ia tahu bahwa pemuda itu tidak bermaksud buruk, tapi entah mengapa ia tidak merasa nyaman dengan obrolan yang selalu dipaksakan. Tanpa kata-kata lagi, Kamari melanjutkan langkahnya menuju kamar, berharap bisa mendapatkan sedikit ketenangan setelah hari yang panjang. “Kamari, pulangnya malam amat?” sapa Ferdi. Kamari mengangkat bahu. “Sibuk.” “Yah, padahal aku mau ngajak kamu makan indomi di warung depan.” “Oh, sorry. Capek soalnya.” Kamari melewatinya tapi Ferdi tidak mau melepasnnya. “Kamari, kamu pasti capek. Mau aku buatin teh hangat?” “Nggak, makasih.” “Cemilan mau nggak? Kita bisa sambil ngobrol.” Kamari buru-buru membuka pintu, menoleh enggan pada Ferdi. “Nggak bisa, besok harus bangun pagi. Daah!” Tanpa memberi kesempatan pada Ferdi untuk menjawab, Kamari melesat masuk dan menutup pintu dengan cepat. Ia menghela napas panjang, melepaskan segala penat yang mengumpul sepanjang hari. Setelah itu, ia merebahkan diri di atas ranjang, merasakan kasur yang empuk menyambut tubuh lelahnya. Namun, meskipun fisiknya terbaring dalam keheningan, pikirannya tidak bisa berhenti berputar. Ia menatap langit-langit kamar, pikiran Kamari melayang pada Liam. Wajahnya terbayang jelas di benaknya, seiring dengan segala kenangan yang perlahan datang kembali. Seingatnya, istri Liam sangat cantik, kaya, dan tampaknya hidup mereka terlihat sempurna. Tapi kenapa mereka bercerai? Apa yang salah dengan pernikahan itu? Tanya-tanya itu semakin mengganggu pikirannya, semakin ia mencoba untuk mengabaikannya. Kamari bahkan tidak tahu kapan tepatnya Liam menjadi duda. Ia hanya tahu bahwa ada sesuatu yang tak terungkap, suatu masalah dalam rumah tangga mereka yang hingga kini masih terasa misterius. Frustrasi, Kamari memukul sisi kepalanya pelan, berharap bisa menenangkan pikirannya yang berlarian. “Kenapa harus aku yang memikirkan ini?” gumamnya keras, meskipun hanya dirinya yang bisa mendengar. Ia berharap bisa melupakan semua ini, tapi ternyata, tak semudah itu. “Jangan kepo, Kamari. Bukan urusan kamu!” Malam itu, Kamari tidur tidak nyenyak. Bayangan tentang Liam dan pernikahan laki-laki itu keluar masuk dalam mimpinya. Hingga keesokan harinya, ia bangun dengan kepala terasa sakit. Pagi-pagi, Balqis menelepon dan mengatakan akan menjemput. Ternyata, bukan hanya gadis itu yang ada di dalam mobil, melainkan ada formasi lengkap termasuk Vasthi dan Nata. Kamari bingung melihatnya. “Kalian tumben amat pagi-pagi nongol? Vasthi, kamu bukannya shift sore?” Vasthi mengangguk dengan mata berbinar. “Emang, aku mau ke kampus dulu, nebeng Nata. Ngomong-ngomong, gimana sama Pak Duda?” Pertanyaan Vasthi memicu pandangan ingin tahu dari orang-orang di dalam mobil. Kamari merasa tatapan mereka terarah padanya dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Ia melengos, tapi mereka tidak menyerah. “Kalian ngapain aja semalam?” cecar Balqis. “Nggak mungkin cuma bahas masa lalu kan? Pegang tangan? Pelukan?” Wajah Kamari memanas. “Apaan, sih?” “Oh, nggak pelukan, nggak pegang tangan, jangan-jangan lumat-lumatan?” sela Vasthi. Mereka tertawa dan Kamari memejam, perjalanan ini akan terasa sangat lama karena teman-temannya tidak akan membiarkannya lolos begitu saja tanpa bercerita. Ia berdecak kecil sebelum menjawab. “Kami cuma makan sate, yang di warung langganan kita. Itu aja.” “Trus?” desak Vasthi. “Ngapain lagi?” “Nggak ada, Om, eh, Pak Liam nganterin aku pulang. Udah.” “Ciee yang punya om-om,” ledek Nata dari balik kemudi. “Om-om ketemu gede.” “Om-om bisa diajak anu-anu.” Balqis menyahut nakal sambil mengedipkan sebelah mata. “Om-om tajir yang bisa diporotin. Jangan lupa, kalau kalian tidur bersama ntar, minta mobil, ya?” saran Vasthi yang mendapatkan satu cubitan keras di pinggang. “Aduuh, Kamari! Sakit tahuu!” “Biarin, lagian omongan kalian ngaco!” “Mana ada kami ngaco, kami hanya menjelaskan keadaan sebenarnya. Tentang hubungan laki-laki dan perempuan pada seorang perawan!” Vasthi berkata tidak mau kalah. Lagi-lagi mobil meledak oleh tawa. Saat Kamari turun diikuti oleh Balqis, wajahnya memerah menahan malu. Bisa-bisanya mereka menggodanya tentang s*x segala macam. “Kamari, kamu ke ruang ganti dulu. Aku mau ke minimarket bentar.” Balqis bergegas ke minimarket yang terletak di samping gedung. Kamari melangkah cepat ke ruang ganti, dan sedang mengeluarkan seragam dari dalam tas saat terdengar teguran. “Kamari, kami mau ngomong!” Kamari menegakkan tubuh dan mengernyit, melihat beberapa teman SPG mendatanginya. Apakah ia melakukan kesalahan? Kenapa mereka menatapnya seolah ingin menelannya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN