Suasana pagi yang sibuk, orang-orang tenggelam di dalam kubikel mereka. Sedikit sekali yang bercakap, ketegangan terasa hingga ke wajah mereka yang menegang. Laporan penjualan, perhitungan uang, dan arsip administrasi yang panjang, membuat para pegawai tidak ada waktu untuk sekadar bercakap.
Pimpinan biasa akan datang pukul 10, setelah itu bisa dipastikan kalau kesibukan akan meningkat hingga sore menjelang. Bekerja di PT. Astatama memang penuh tekanan tapi sesuai dengan gaji yang tinggi. PT. Astatama bukan hanya bergerak di bidang otomotif dengan menjual mobil mewah, tapi juga membawahi beberapa perusahaan dagang sparepart dan onderdile. Tidak heran kalau perusahaan itu sangat besar dengan ratusan karyawan di dalamnya.
Pendiri dan pemilik PT. Astatama adalah keluarga Surapraja. Mereka memimpin perusahaan secara turun temurun, dan sekarang jatuh ke generasi ketiga yaitu Liam Surapraja. Tidak ada yang berani main-main dengan Liam. Sikapnya yang dingin dan tegas, membuat banyak orang segan padanya. Namun, dalam hal pekerjaan Liam juga terkenal sangat profesional.
Dalam bekerja, Liam dibantu dua asisten. Satu laki-laki bernama Joshua, dan satu perempuan bernama Lucky. Keduanya sudah hampir empat tahun ini mendampingi Liam, membantu kelancaran jalannya pekerjaan sang boss.
Seorang perempuan berambut pendek dengan setelan hitam trendy, keluar dari ruang direktur. Perempuan itu berdiri di ujung ruangan, mengedarkan pandangan lalu mengecek jam di pergelangan tangan.
“Pak Liam akan tiba di kantor kurang lebih 30 menit lagi. Saya mengharapkan laporan sudah ada di meja saya sebelum waktu itu.”
Semua yang ada di ruangan menegakkan kepala dan meneguk ludah. Menatap nanar dengan batin merintih pada perempuan yang berdiri tanpa senyum. Seorang laki-laki berkemeja biru, duduk di kubikel dekat pintu bertanya dengan takut-takut.
“Kalau ternyata data belum sepenuhnya kita terima, bagaimana, Bu?”
Perempuan itu menatap sekilas pada laki-laki berkemeja biru lalu menjawab tanpa senyum.
“Berusahalah. Ingat, ada banyak orang yang ingin duduk di kursimu!”
Perempuan itu membalikkan tubuh dan kembali ke ruangannya. Orang-orang mulai saling pandang dan bergumam lembut satu sama lain.
“Nggak boss, nggak asisten sama aja kejamnya.”
“Hooh, mereka bertiga seperti tiga serangkai yang membuat iblis paling kejam pun takut.”
“Eh, jangan ngomong gitu. Pak Joshua agak lumayan tahu.”
“Idih, kata siapa? Kamu belum dengar aja dia ngamuk. Bisa-bisa balikin meja.”
Mereka menghela napas panjang bersamaan, seakan merasakan beban yang sama. Tak ada kata-kata lebih lanjut yang keluar dari bibir mereka, hanya keheningan yang menyelimuti. Kamari dan Vasthi tahu benar, tidak ada gunanya mengeluh atau protes. Semua sudah menjadi peraturan di tempat ini: siapa yang ingin mendapatkan jabatan tinggi dan gaji besar, harus siap dengan kerja keras yang tak kenal henti. Semua itu adalah harga yang harus dibayar untuk kesuksesan.
Daripada terus-menerus membuang waktu untuk bergosip atau menyesali keadaan yang tidak bisa mereka ubah, Kamari memutuskan untuk fokus pada pekerjaan yang ada. Ia menoleh ke Vasthi, yang tampaknya juga memiliki pemikiran yang sama, dan mereka pun kembali melanjutkan aktivitas mereka.
Dengan pikiran yang lebih tenang, Kamari mulai merasa lebih siap untuk menghadapi hari ini. Waktu adalah hal yang paling berharga, dan tidak ada gunanya menghabiskannya untuk hal-hal yang tidak membawa hasil. Mungkin hari ini tidak berjalan sempurna, tapi setidaknya mereka bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik.
Di dalam mobil sedan yang melaju kencang di jalanan, Liam terdiam dengan lembaran dokumen di tangan, sementara Joshua membacakan jadwal hari ini.
“Meeting dengan bagian penjualan dijadwalkan pukul lima sore sampai delapan, Pak. Bagaimana?”
Liam menggeleng. “Majukan, aku ingin semua selesai sebelum pukul tujuh malam.”
“Tapi, siangnya Anda harus meninjau lokasi pabrik.”
Liam menatap asistenya dengan heran. “Joshua, ubah semuanya. Kita mampir ke kantor sebentar, pukul satu siang ke pabrik, dan meeting jam empat. Harusnya bisa.”
Joshua mengangguk. “Baik, Pak. Saya ubah. Tadinya saya berpikir untuk memberi Anda kesempatan untuk istirahat.”
Liam melambaikan tangan. “Nggak perlu. Aku belum setua itu. Beritahu Lucky, siapkan semua dokumen untuk ditandatangani dan juga dokumen untuk rapat. Jangan sampai bagian penjualan membuatku marah, kalau sampai ada informasi atau data yang ketinggalan.”
“Siap, Pak. Segera saya lakukan.”
Liam mengalihkan pandangan dari dokumen ke jendela. Mengingat tentang Kamari. Beberapa hari ini, bayangan gadis itu keluar masuk dari pikirannya. Seolah udara yang memenuhi paru-parunya, Kamari memberinya kesegaran. Hidupnya yang terjebak dalam rutinitas membosankan, terasa nyaman karena Kamari. Setelah menunggu sekian lama, ia tidak akan membiarkan kesempatan ini berlalu bergitu saja.
“Pak, ini ...”
Joshua menoleh ke belakang untuk bertanya dan suaranya menghilang saat melihat Liam melamun dengan wajah lembut menatap jendela. Ia sedikit heran, karena tidak biasanya laki-laki itu bersikap seperti itu. Biasanya, setiap detik yang berlalu selalu terisi dengan pekerjaan dan juga diskusi. Joshua menghela napas panjang, tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada bossnya tapi memutuskan untuk menunggu hingga Liam tersadar.
Tiba di kantor, seorang penjaga dengan sigap membuka pintu. Liam melintasi lobi dengan Joshua di belakangnya. Saat lift meluncur ke atas, Liam bertanya pada Joshua.
“Menurutmu, kalau ada gadis suka sate dan lontong, kalau misalnya kita beri bunga, dia mau nggak?”
Joshua tercengang, tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan yang begitu aneh dari Liam. Mulai kapan bossnya bicara soal gadis?
Liam berdecak, menatap asistennya yang melamun. “Kenapa kamu bengong? Memangnya kamu nggak punya pacar?”
Joshua tergagap. “Pak, kalau cewek suka makanan, le-lebih baik kasih hadiah makanan juga daripada bunga.”
Liam mengangguk kecil. “Teruskan.”
“Bisa dicoba misalnya, coklat atau buket cemilan begitu.”
“Ide bagus, tolong kamu pesankan buket cemilan yang enak. Taruh di mobilku, malam ini aku mau bawa.”
Joshua memiringkan kepala, saat mengiringi langkah Liam menuju ruangan laki-laki itu. Ia nyaris tidak memperhatikan para karyawan yang bangkit dari kubikel mereka untuk mengucapkan salam pada Liam.
Keheranannya mengalahkan kewaspadaannya. Gadis mana yang disukai Liam? Mulai kapan Liam berteman dengan seorang gadis? Joshua merasa teramat sangat penasaran.
®
Kamari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Para perempuan cantik itu sedang menatapnya dengan penuh permusuhan. Ia berpikir, adakah sikapnya yang menyinggung mereka, atau membuat para perempuan itu marah? Seingatnya, ia tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk.
“Ada apa, ya?” tanyanya berusaha untuk tetap tenang.
Salah seorang SPG yang dikenal Kamari bersama Mela, maju selangkah. Menatap Kamari dengan pandangan tanpa senyum.
“Kamu tahu nggak? Yang kamu lakukan itu menjijikan?”
Kamari mengerjap bingung, menepuk dadanya. “Emangnya aku ngapain?” tanyanya bingung.
“Jangan sok polos Kamari. Kami semua tahu apa yang terjadi di sini. Kenapa bisa Pak Liam bersikap baik sama kamu. Pasti karena kamu nyogok uang sama Pak Didi, ya kan?”
“Hah! Ma-maksudnya gimana?”
“Halah, jangan berkelit!” Perempuan lain maju, kali ini ada nama Ami di name tag-nya. “Dulu, Pak Didi bersikap tegas dan nggak pandang bulu. Nggak peduli sama siapa juga. Sekarang, sama kamu dia berbeda. Kok bisa, Kamari? Jangan-jangan kamu bayar ke Pak Didi, ya?”
Kamari yang merasa tuduhan mereka makin aneh, tersenyum sambil menggelengkan kepala. Semua yang terjadi karena Liam. Tidak ada satu pun di antara para SPG ini yang tahu, kalau dulu ia dan Liam adalah tetangga.
Sekarang, mereka mencurigainya menyogok untuk mendapatkan perhatian Didi yang bisa berujung dengan perkenalannya pada Liam. Sungguh teori yang luar biasa.
“Tunggu, ada kesalahpahaman di sini.” Kamari tetap tersenyum, mengamati jam di ponsel dan sedikit kuatir akan terlambat, sedangkan dirinya belum berganti baju dan merias wajah “Kalian pasti ingin tahu kenapa aku dekat sama Pak Didi dan Pak Liam bukan?”
Para perempuan saling pandang lalu mengangguk.
“Bukan penasaran, hanya ingin tahu,” sela Mela.
Kamari tertawa lirih sekarang. “Bukannya sama aja? Ingin tahu dan penasaran itu sebelas dua belas. Kalau kalian memang benar-benar ingin tahu caranya, coba tanya Balqis. Aku belajar dari dia.”
Kebetulan Balqis baru saja memasuki ruang ganti, tercengang saat melihat semua SPG mengerumuni Kamari. Perkataan terakhir dari temannya, membuat Balqis tersenyum. Menyibak kerumunan, ia menyerahkan sebotol air minum pada Kamari. Membalikkan tubuh lalu berkata lantang.
“Kalau ada yang ingin tahu, kenapa bisa Pak Didi bersikap baik sama Kamari, tanya aku! Kalian pasti bingung, apa hubungannya sama aku? Iyalah, karena aku yang ngenalin dukun buat melet.”
Kamari melotot pada sahabatnya, begitu pula yang lainnya. Namun, Balqis tetap tenang, mengibaskan rambut ke belakang dan menegakkan kepala dengan angkuh.
“Aku tahu kalian mau melet Pak Liam bukan? Syaratnya gampang, bagi yang minat serahin KTP, uang tiga juta kontan, tanpa nyicil dan satu lagi, harus siapin embun yang didapat dari daun melati. Jumlahnya dua puluh tetes, nggak kurang, nggak lebih. Siap juga untuk berendam sumur dari jam 12 malam sampai empat pagi, telanjaaang! Yang boleh lihat hanya dukunnya. Ingat, dukunnya laki-laki, loh? Mau?”
Mereka menatap Balqis dan Kamari bergantian dengan jijik. Satu per satu, meninggalkan tempat dengan gumaman keras. Kamari menghela napas panjang, mencubit pinggang sahabatnya.
“Apa kamu bilang? Aku melet Om Liam?”
Balqis meringis. “Cuma itu jalan satu satunya biar mereka mingkem. Lihat kan? Berhasil!”
“Iya, tapi nama aku jadi jelek.”
“Ah, cuma nama. Yang penting wajah tetap cantik.”
Sisa hari itu, Kamari merasa seolah-olah semua mata tertuju padanya dengan pandangan penuh penilaian. Setiap kali ia melintas, bisikan-bisikan tak mengenakkan terdengar, entah itu tentang omongan aneh atau gosip yang beredar. Semua itu berawal dari ucapan Balqis, yang tanpa sadar membuat suasana menjadi tidak nyaman baginya. Kamari bisa merasakan pandangan sinis dari beberapa SPG yang mungkin sudah terlalu terbawa cerita-cerita yang tidak benar.
Setelah makan siang, Balqis selesai bekerja dan digantikan oleh Vasthi, sahabat baik Kamari. Saat istirahat, Kamari akhirnya menceritakan kejadian yang menimpanya kepada Vasthi, berharap mendapatkan sedikit ketenangan. Seperti yang sudah ia duga, Vasthi tidak bisa menahan tawa, bahkan hampir menyemburkan air yang sedang diminumnya.
“Sungguh, Kamari! Kamu selalu saja punya cara untuk menarik perhatian, ya!” kata Vasthi sambil tertawa geli. Meskipun Kamari merasa canggung, ia tidak bisa menahan senyum melihat sahabatnya yang ceria itu.
Kamari menghela napas, merasa sedikit lebih ringan meskipun situasi itu masih terasa agak rumit. Namun, setidaknya ia tahu bahwa ada yang selalu ada untuk mendengarkan ceritanya.
“Ya ampun, lucu banget, sih, kalian.”
Kamari bersungut-sungut. “Lucu apaan? Kamu nggak tahu gimana mereka nglihatin aku dari atas ke bawah. Semua gara-gara si Om, ini. Coba dia bisa nahan diri, nggak bakalan kayak gini.”
“Lah, kamu nyalahin Pak Liam. Kalau aku, sih, malah senang. Dapat duda yang perhatian kayak dia. Udah, sih, Kamari. Jangan jual mahal, terima kenyataan aja kalau kalian CLBK!”