Kamari terdiam sejenak, memandang Vasthi yang masih tersenyum lebar. Tanpa kata, ia berbalik dan kembali ke tempatnya semula, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Ia memasang senyum di wajahnya, meskipun hatinya tidak secerah ekspresinya. Sambil menyapa pengunjung dengan ramah, pikirannya terus melayang jauh, terfokus pada satu pertanyaan yang tidak bisa ia jawab.
Kenapa nasib membawanya bertemu kembali dengan Liam? Dari sekian banyak orang yang ia temui, mengapa justru pria itu yang kembali muncul dalam hidupnya? Kamari menyandarkan hatinya pada keraguan dan kebingungan. Meskipun di dalam dirinya, ada perasaan bahagia yang menggebu, ia tidak bisa menepis kenyataan bahwa pertemuan ini bukanlah hal yang sederhana.
Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat, dan jarak yang tercipta tidak hanya fisik, melainkan juga perbedaan yang mencolok dalam kehidupan mereka. Liam kini bukanlah lelaki yang sama, dan Kamari pun bukan gadis yang dulu mengenalnya. Strata sosial yang memisahkan mereka kian jelas. Kamari tahu, meskipun perasaan itu ada, kenyataan akan selalu berbicara lebih keras.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikiran. Tapi, hatinya tetap bertanya-tanya, apakah ada ruang untuk mereka dalam dunia yang kini begitu berbeda?
Dulu, saat mereka masih tinggal di gang yang sama, Kamari sudah bisa melihat perbedaan pada Liam. Meskipun mereka hanya berbagi jalan yang sempit dan sederhana, Liam selalu menunjukkan tanda-tanda bahwa ia tidak sama dengan yang lain. Bahkan di usia muda, Liam sudah bisa menyewa rumah besar lengkap dengan perabot mewah, naik motor mahal yang memikat perhatian, dan kuliah di universitas swasta elite yang hanya bisa dijangkau oleh orang-orang berduit. Kamari tahu, dengan jelas, bahwa Liam bukan anak orang sembarangan.
Namun, saat itu ia tidak terlalu berpikir banyak tentang perbedaan itu. Baginya, yang terpenting adalah bagaimana bisa lebih dekat dengan Liam, atau bagaimana cara mengajak pemuda itu nonton film bersama. Kekayaan dan status sosial tidak pernah menjadi fokus utamanya. Kamari lebih fokus pada perasaan yang tumbuh dalam dirinya, pada keinginan untuk mengenal Liam lebih jauh, tanpa memikirkan bagaimana perbedaan dunia mereka.
Sekarang, kenyataannya berubah begitu drastis, dan itu terasa menakutkan. Liam bukan lagi pemuda kaya yang dulu ia kenal. Ia telah menjelma menjadi laki-laki jutawan, seseorang yang tidak lagi berada di dunia yang sama dengan Kamari. Perbedaan yang dulu terasa kecil kini menjadi jurang yang besar, dan Kamari merasa begitu jauh darinya. Dalam mimpi pun, ia bahkan tidak berani berharap bisa berada di dunia yang sama dengan Liam. Perasaan itu, yang dulu begitu sederhana, kini menjadi perasaan yang penuh dengan keraguan dan ketakutan akan kenyataan yang ada.
“Kamari? Ini kamu?”
Kamari memalingkan wajah ke arah datangnya suara dan tersenyum menyapa. “Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?”
“Ah, ternyata benar ini kamu. Apa kabar, Kamari?”
Kamari memiringkan kepala, menatap bingung pada pemuda tampan berambut pirang di depannya. Ia merasa pernah bertemu pemuda itu, hanya saja tidak tahu di mana.
Pemuda itu tersenyum ramah. “Kamu pasti lupa. Aku Justin, kita pernah satu sekolah dulu waktu SMP.”
Kamari ternganga, menatap Justin dari atas ke bawah lalu tersenyum. “Ah, ya. Apa kabar?”
“Akhirnya, ingat juga. Padahal, dari sebelum masuk ke ruang pameran ini, aku udah ingat kamu.”
“Maaf.” Kamari menatap sekeliling, di mana ada staf kantor yang sedang mengawasinya. “Justin, aku sedang kerja. Bisa kita mengobrol nanti?”
Justin menggeleng. “Nggak mau, karena aku ingin ngajak kamu ngobrol soal mobil ini. Menurutmu, mobil ini cocok nggak buat kerja?”
Kamari mengerjap malu, lalu kembali menyunggingkan senyum. Membuka pintu mobil dan berujar lembut. “Tentu saja, cocok Justin. Sedan ini termasuk kategori dry car yang irit bahan bakar.”
Justi mengangguk, menunduk ke dalam mobil. Ia mendengarkan dengan tekun setiap penjelasan Kamari dan tidak menyela sedikitpun. Selesai menerangkan kurang lebih lima belas menit tanpa jeda, Kamari merasa aneh. Dengan posisi masih di dalam mobil, ia menatap ke arah teman SMP-nya.
“Bagaimana? Kurang cocok buat kamu, ya?” tanyanya.
Justin menggeleng. “Nggak, cocok, kok. Aku suka. Lebih suka lagi kalau suatu saat nanti kamu mau naik mobil ini sama aku.” Justin mengeluarkan dompet dan selembar kartu nama berikut pulpen. “Tulisin nomor ponselmu, bisa?”
“Eh, ini nggak ada hubungannya sama pribadi,” tolak Pendan
“Aku beli mobil ini, buat mastiin kalau ada masalah bisa ada orang buat dihubungi. Ayo, Kamari. Masa nggak mau ngasih nomor ke teman lama.”
Kamari ragu-ragu sesaat, melihat Justin yang memandangnya dengan senyum ramah dan mata berbinar penuh harap, mau tidak mau ia menuliskan nomor ponselnya. Justin menerima kartu nama dengan senyum terkembang.
“Thanks, Kamari. See you later. I'll call you!” Justin bergegas ke arah kasir dan duduk di sana, menghadapi Didi.
Kamari keluar dari mobil sambil berdecak bingung. Sebenarnya, bulan ini bulan apa? Kenapa banyak orang-orang dari masa lalunya muncul. Apakah di bulan ini ada perayaan tentang masa silam? Kamari tidak mengerti.
Di sudut ruang pameran yang ramai, Liam berdiri dengan sikap tenang, seolah menyatu dengan keramaian. Tubuhnya yang tinggi menjulang seolah menonjol meskipun setengah tersembunyi di balik pintu. Mata tajamnya mengamati setiap sudut ruang, namun yang paling menarik perhatiannya adalah Kamari. Dengan diam-diam, ia mengamati gadis itu, mencoba membaca ekspresi wajah dan gerak-geriknya. Tidak banyak pegawai pameran yang menyadari kehadirannya malam itu, termasuk Didi yang sibuk dengan tugasnya.
Liam tidak ingin menarik perhatian, sehingga ia sengaja mengganti jas dan kemeja formalnya dengan kaos polo sederhana dan celana denim, menciptakan tampilan yang lebih santai. Topi hitam yang ia kenakan sedikit menutupi wajahnya, ditambah kacamata gelap yang semakin membuatnya tampak seperti orang biasa. Namun, meskipun ia berusaha menyamarkan dirinya, daya tarik maskulin dan ketampanan yang terpancar dari sosoknya tetap tak bisa disembunyikan sepenuhnya.
Dia tahu bahwa kali ini ia harus berhati-hati. Tidak hanya karena ingin menjaga jarak dari perhatian, tetapi juga karena dirinya tahu betul bahwa pertemuan ini bisa mengubah banyak hal, terutama antara dirinya dan Kamari.
Ia mengernyit, saat seorang pemuda tampan berlama-lama di area Kamari. Mereka terlibat percakapan serius dan Liam berusaha menghilangkan rasa cemburu serta kesalnya. Kamari sedang bekerja, tentu saja sebuah keharusan kalau bersikap ramah dengan pengunjung. Tetap saja, di matanya pemuda berambut pirang itu terlihat sangat tertarik dengan Kamari, meskipun pada akhirnya tetap membeli mobil.
Liam menggeser posisi tubuh, saat dua SPG datang untuk minum. Mereka meletakkan botol air minum di atas meja pendek dekat tempatnya berdiri. Liam mengernyit saat keduanya mulai bergosip.
“Kamu lihat Kamari, nggak? Makin hari makin belagu?”
“Emang, mentang-mentang dekat sama Pak Didi.”
“Tapi, Mela. Bener apa yang dibilang Balqis, kalau Kamari pakai pelet?”
Gadis yang bernama Mela mengangguk serius. “Aku yakin iya, kalau nggak? Mana mungkin gadis model dia bisa dapetin Pak Liam?”
“Iya, juga. Ini dunia modern, masa masih ada dukun-dukunan?”
Mela mengusap bahu temannya. “Percaya, deh. Di belahan dunia yang lain, masih ada kayak gitu. Cuma kita nggak tahu aja di mana tempatnya.”
“Kita lihat saja nanti, bertahan berapa lama peletnya Kamari.”
“Nggak akan habis kalau dia terus bayar sama dukun.”
Selesai menikmati minuman mereka, Kamari dan Vasthi kembali ke posisi masing-masing, meninggalkan Liam yang masih terdiam di tempatnya. Ia memijat pelipisnya, berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. Kamari—gadis yang selama ini ia kenal penuh keceriaan—baru saja mengatakan sesuatu yang cukup menggelitik. Memeletnya? Ia hampir tidak percaya.
Teori tentang pelet dan dukun itu, sungguh, kedengarannya seperti sesuatu dari zaman dulu. Liam mengernyitkan dahi, tidak habis pikir ada orang yang masih percaya dengan hal-hal seperti itu di zaman yang serba modern ini. Apa yang membuat Kamari mempercayainya? Atau, apakah itu hanya candaan, atau kekhawatiran yang tidak ia pahami?
Liam berdecak heran, namun ia segera mengalihkan perhatian pada jam di pergelangan tangannya. Pameran akan segera tutup dalam 10 menit, dan ia tidak ingin membuat keributan dengan tetap berada di sini. Ia memutuskan untuk kembali ke mobilnya dan menunggu Kamari di sana. Dengan cara itu, setidaknya ia bisa menghindari kerumunan orang dan tetap berada dalam jarak yang aman, tanpa menambah beban perasaan gadis itu lebih jauh.
Kamari menggeliat di depan loker pakaian. Kelelahan menyerangnya. Ia menepuk-nepuk leher untuk menghilangkan pegal. Membuka loker, ia mengambil ponsel. Mendapati ada beberapa pesan. Salah satu dari mamanya yang meminta kiriman uang, satu lagi dari Liam.
“Aku tunggu di parkiran Selatan. Jangan sampai nggak datang.”
Kamari menghela napas panjang, ajakan sekaligus ancaman dari Liam membuatnya tidak habis pikir. Laki-laki itu rela tiap malam datang ke pameran hanya untuk mengantarnya pulang, apakah tidak terlalu merepotkan?
“Kamari, kita naik taxi online, yuk? Nggak sanggup kalau naik ojek. Jauh soalnya.” Vasthi datang sambil mencebik. Wajah cantiknya cemberut menahan lelah. Kamari menatap sekeliling lalu berbisik. “Aku nggak bias bareng kamu pulang.”
Vasthi terbelalak. “Om kamu jemput?”
Kamari mengangguk dan hampir terjengkang saat Vasthi memeluknya.
“Akhirnya, aku bisa kenalan sama Om kamu itu. Nggak masalah kita nggak pulang bareng, yang penting kenalin aku sama dia.”
Kamari tidak dapat menolak keinginan Vasthi. Ia membawa sahabatnya ke area parkir Selatan. Mereka celingak-celinguk mencari sedan mewah warna silver, saat sebuah teguran datang dari mobil offroad biru.
“Kamari, di sini.”
Kamari menoleh, dan hanya bisa menahan napas saat melihat penampilan Liam. Terlihat begitu tampan dan memukau dalam balutan kaos, celana, topi, dan kacamata hitam. Sangat pas dengan kendaraan yang dibawanya.
“I-itu Om kamu?” tanya Vasthi dengan suara bergetar, saat mereka mendekati Liam.
“Yuup, dia.”
“Kamari, aku rasanya mau pingsan.”
Kamari menoleh cepat ke arah sahabatnya. “Kenapa?”
“Cakeep banget! Ya Tuhan, mana boleh ada cowok sempurna kayak gini. Udah cakep, kaya, duda lagi.”
Kamari tersenyum masam. “Adalah, itu buktinya depan kamu.” Mereka tiba di depan Liam dan Kamari memperkenalkan sahabatnya. “Om, ini Vasthi.”
Liam tersenyum kecil. “Halo, Vasthi.”
Vasthi terdiam dengan tangan memegang pipinya. Melotot pada Liam, ia berujar keras. “Arrgh, Pak Liam.
Boleh nggak aku jadi fans Anda?”
Liam tercengang sementara Kamari berdecak kecil. “Tahan diri! Malu-maluin aja.”
“Biarin, kapan lagi punya idola kayak Pak Liam.”
“Tetap aja.”
Vasthi tersenyum cerah, menatap Liam. “Pak, terima kasih sudah mau kenalan. Aku pulang dulu, tolong antar teman aku pulang dengan selamat, Pak. Daaah!”
Liam melambaikan tangan. “Kamu nggak mau aku antar pulang sekalian?”
Vasthi menggeleng. “Nggak malam ini, Pak. Kalau bisa, sih, besok aja. Sekalian ada Balqis, dan kalau bisa tolong traktir kami makan, ya, Pak.”
“Vasthi!” jerit Kamari.
Liam tergelak, saat melihat Shella meleletkan lidah sebelum berlari ke arah lain. Liam membuka pintu dan mendorong Kamari masuk. “Ayo, masuk.”
Sama seperti kemarin, Kamari duduk di samping Liam. Kali ini mengendarai mobil yang Iain. Ia tidak tahu seberapa kaya Liam sampai berganti-ganti mobil.
“Om, boleh tanya sesuatu?”
“Ada apa? Selama bukan tentang hukum dan politik negara, aku bisa jawab.”
Kamari tersenyum kecil. “Nggak, ini masalah pribadi. Itu, mobil Om ada berapa, sih?”
Liam mengangkat sebelah alis, menatap Kamari. “Aku curiga.”
“Curiga kenapa, Om?”
“Jangan-jangan, yang dikatakan teman-teman kamu itu benar. Kalau kamu ke dukun buat melet aku, biar dapat mobil.”
Kamari tercengang lalu menjerit kecil. “Om, mana ada begituuu?”
“Hanya menebak!”
“Tebakan ngaco!”
“Kenapa kamu marah? Kalau marah tandanya benar.”
“Oom, minta dipukul, ya?”
“Nggak, kalau bisa dicium aja. Lebih enak daripada dipukul.”
“Om Liaaammmm!”
Suara Kamari bergema di dalam mobil, seiring dengan tawa Liam yang menggelegar.