BAB 7

1753 Kata
Malam itu, suasana agak berbeda. Mereka tidak memilih sate seperti kemarin, kali ini nasi goreng yang menjadi pilihan mereka. Dengan langkah santai, mereka berjalan mencari tempat yang cukup lega di pinggir jalan, akhirnya duduk berdampingan di samping mobil. Kamari tersenyum kecil, mengingat kebiasaan lama Liam setiap kali makan nasi goreng. Tidak pedas, tanpa acar, itu yang selalu ia pesan. Kamari masih ingat jelas betul, kebiasaan kecil itu, kebiasaan yang dulu selalu menjadi bagian dari mereka. Dulu, mereka sering membeli nasi goreng di warung kecil dekat rumah mereka. Kamari seringkali mendapatkan traktiran dari Liam, terutama ketika ia sedang memiliki sedikit uang saku lebih. Kadang, saat mereka berdua kehabisan uang, mereka akan duduk di pinggir jalan, berbicara tentang impian dan harapan mereka, menikmati nasi goreng murah namun penuh kenangan. Kini, meskipun waktu telah membawa mereka ke jalur yang berbeda, ada kehangatan yang terasa kembali saat Kamari duduk berdampingan dengan Liam. Meski tidak ada lagi tawa yang sama seperti dulu, namun suasana yang akrab itu seolah mengingatkan mereka akan masa-masa indah yang telah lalu. Sebenarnya, Kamari tahu kalau Liam bukan anak orang biasa. Laki-laki itu selalu berpenampilan rapi dan bersih dengan motor besar yang terlihat mahal. Tinggal sendirian di rumah besar dan mewah, hanya orang yang mampu saja yang sanggup melakukannya. Nenek Kamari dulu sering bercerita, setiap kali bertemu Liam selalu dibelikan makanan atau barang-barang lain. “Om kamu hari ini beliin nenek daster gimana? Bagus nggak?” Si nenek memamerkan dengan wajah berseri-seri di depan Kamari. Tentu saja si nenek tidak tahu kalau saat membeli daster itu, Kamari yang memilihnya. Sebuah kenangan indah yang tidak mungkin terulang kembali. Perasaan sedih mendadak menyelimuti Kamari. “Nggak enak nasinya? Kenapa kamu makannya kayak males?” Kamari menggeleng. “Enak kok? Ini hampir habis.” Liam mengamati gadis yang makan dalam diam. Merogoh rokok dari saku dan menunjukkannya. “Nggak keberatan aku ngrokok?” “Nggak, silakan. Dari dulu Omjuga ngerokok.” “Bener juga dan kamu selalu ngomel kalau aku ngerokok dekat tumpukan komik. Takut kalau komiknya terbakar.” Kamari tersenyum, menoleh dan menatap Liam dengan bola mata yang bersinar. “Komik-komik itu, masih disimpan Om?” Liam mengangguk. “Masih, aku ada satu tempat khusus untuk menyimpannya. Kapan-kapan kamu ke rumahku dan bisa baca sampai puas.” Tidak ada jawaban dari Kamari. Pameran tiga hari lagi selesai dan mereka tidak mungkin bertemu lagi. Untuk apa Liam mengatakan itu? Kamari sendiri tidak berminat untuk kembali menemui Liam. Bukan karena tidak suka berada di dekat laki-laki itu, tapi tidak ingin lagi menjadi pengganggu. “Kamari, kamu nggak mau cerita soal keluargamu? Bagaimana mereka?” Setelah Kamari selesai makan, Liam menatapnya dengan rasa penasaran. Gadis itu menandaskan nasi gorengnya dengan sedikit lambat, seolah-olah ada sesuatu yang sedang menghalangi pikirannya. Liam bertanya-tanya dalam hati, apakah Kamari memang makan dengan sangat lambat, ataukah ia yang telah melupakan kebiasaan gadis itu? Dulu, Kamari selalu makan dengan cepat, tanpa banyak berpikir. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda. Liam melirik Kamari lagi. Gadis itu duduk diam, matanya menatap jalanan yang ramai, namun jelas tampak seolah sedang melamun. Ekspresi wajahnya yang teduh membuat Liam merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kamari biasanya ceria, selalu bisa diajak bicara, namun sekarang tampaknya ada yang mengganggu pikirannya. Apakah ada hal besar yang terjadi dalam keluarganya? Atau mungkin ada sesuatu yang sedang membebani hati Kamari, yang membuatnya terlihat begitu sedih dan jauh? Liam merasa gelisah, namun tidak tahu bagaimana cara untuk menanyakan hal tersebut tanpa membuat Kamari merasa tertekan. Namun, satu hal yang pasti, ia ingin tahu apa yang sedang mengganggu gadis itu. Sebuah pertanyaan besar menggelayut di pikirannya, dan ia merasa harus mencari tahu lebih dalam. “Kamari? Kamu nggak apa-apa?” Kamari mengangkat wajah dan menggeleng sambil tersenyum. “Aku baik-baik saja, Om. Keluargaku sekarang ada di kota sebelah. Papa meninggal saat aku kelas satu SMU.” Liam ternganga. “Benarkah? Aku turut berduka, Kamari.” “Makasih, Om. Kecelakaan waktu itu dan nyawanya nggak tertolong.” Ada kedukaan di wajah Kamari yang cantik. Bola mata meredup dan kelopak matanya bergetar menutup. Liam mengulurkan tangannya yang bebas, mengusap dan membelai lembut punggung gadis itu. Hanya itu yang bisa dilaku kan untuk membantu Kamari mengurangi kesedihan. “Nggak lama setelah papa meninggal, nenek jatuh sakit. Karena kurang biaya dan kami nggak ada penghasilan lain, terpaksa menjual rumah. Awalnya, hanya rumah kecil yang di samping. Om ingat bukan, kami ada dua kamar kos?” Liam mengangguk. “Iya, dua kamar itu bukan?” “Benar, trus mamaku kerja dan kenal Om Brata dan mereka menikah. Memutuskan untuk menjual rumah itu dan akhirnya pindah ke kota sebelah dan sisa uang digunakan untuk usaha.” “Nenekmu tinggal bersama mereka?” Kamari mengangguk. “Iya, karena aku harus kerja. Nggak ada waktu untuk merawat nenek.” Suara Kamari yang lirih membuat Liam tahu, masih ada yang disembunyikan oleh gadis itu. Mereka terdiam beberapa saat, tenggelam dalam pikiran masing-masing. “Mereka tinggal bertiga?” Kamari menggeleng. “Berlima. Papa sambungku bawa satu anak perempuan dan mamaku punya anak lagi perempuan.” Liam tidak lagi bertanya, membiarkan keheningan ada di antara mereka. Keduanya menatap jalanan yang ramai. Serombongan pengamen mendatangi mereka, menyanyikan lagu-lagu cinta. Liam membiarkan mereka bernyanyi sampai selesai sebelum memberikan selembar uang. “Terima kasih, Kakak. Semoga langgeng hubungannya,” ucap mereka, menatap bergantian pada Liam dan Kamari. Liam dan Kamari tidak membalas, hingga mereka berlalu. Selesai makan, Liam bertanya apakah Kamari masih ingin pergi ke tempat lain? Kamari menggeleng. “Besok kerja, Om. Kurang tiga hari lagi pameran selesai.” “Benar juga, pasti lagi ramai-ramainya. Liam membuka pintu kendaraan, membiarkan Kamari masuk lebih dulu. Ia duduk di belakang setir, mencondongkan tubuh untuk membantu Kamari memasang sabuk pengaman. “Om, aku bisa sendiri.” Kamari menolak lembut, tapi sayangnya terlambat. Kepala Liam sudah berada di depan wajahnya. Tangan laki-laki itu mencengkeram sabuk dan tidak bergerak meskipun sudah terpasang. Jarak wajah mereka hanya beberapa inci. Kamari bahkan bisa merasakan hangat napas Liam. Ia menelan ludah dengan gugup. Jantung berdetak tak karuan, terlebih kala hangat tubuh laki-laki itu seolah menyentuh kulit dan membuat bulu kuduknya meremang. “Om ...” Liam mengedip, menatap Kamari tanpa senyum. Ia menghela napas saat melihat gadis itu menggigit bibir bawah dan menelan ludah. Ia tidak salah mengenali, Kamari sedang gugup. Entah dorongan dari mana, ia merengkuh tubuh gadis itu dalam pelukan. Liam mengusap tengkuk dan rambut Kamari dengan lembut. Jantung yang berdetak lebih keras, tubuh yang gemetar karena sentuhan. Kehangatan yang menyebar pada setiap sendi dan tulang dan membuatnya seakan melemas tiada bertenaga. Kamari tidak bergerak. Ia takut Liam akan mendengar detak jantungnya yang menggila. Jemari laki-laki itu dengan lembut menyentuh tengkuk dan pundaknya. Berbagai ingatan masa lalu, berkelebat dalam benaknya. Tentang tawa bahagia, dan laki-laki yang menurutnya sangat sempurna. Laki-laki yang selama beberapa tahun ini tidak pernah hilang dalam ingatan, kini muncul dan seakan menyedot semua perhatiannya. Liam menegakkan tubuh, kali ini menyentuh puncak kepala Kamari dan menyusuri rambutnya yang sehalus sutra. Tanpa kata, tanpa permisi sebelumnya, ia menyentuhkan bibirnya pada bibir Kamari. Sebuah kecupan singkat yang membuat tubuh Kamari kaku seketika. “Ayo, aku antar kamu pulang,” ucap Liam dengan suara serak. Liam duduk tegak di belakang kemudi, tidak mengatakan apa pun saat melajukan kendaraan meninggalkan parkiran. Ia mengepalkan tangan, dan menghela napas panjang. Mengutuk dirinya yang tidak bisa mengontrol diri. Seandainya, Kamari tidak takut padanya, ia pasti sudah melahap gadis itu di mobil. Memeluk, mencium dengan membabi buta. Melampiaskan kerinduan selama beberapa tahun ini. Untungnya, ia masih cukup waras untuk tidak melakukan itu. Mengarahkan pandangan ke jendela, Kamari merasa dadanya yang bergemuruh. Apa itu tadi? Kecupan? Pertama kalinya dalam hidup, bibir seorang laki-laki menyentuh bibirnya. Ia melirik Liam, tidak tahu apa yang di pikiran laki-laki itu. Apakah ani sebuah kecupan bagi Iaki-laki dewasa seperti dia. Bukankah Liam sudah pernah menikah? Tentunya menyentuh tubuh seorang perempuan bukan sesuatu yang asing. Kamari merasakan kegundahan hanya karena sebuah kecupan. Mereka tiba di depan kos Kamari dalam diam. Liam mematikan mesin dan menoleh. “Kamari, aku —” Kamari menggeleng. “Nggak apa-apa, Om. Hanya kecupan.” “Apa?” Mata Liam melebar. Kamari mengedip. “Bukannya mau bilang maaf?” Liam tertawa lirih, mengulurkan tangan untuk menyentuh lembut pipi Kamari. “Mana ada laki-laki minta maaf setelah mengecup? Yang ada aku mau bilang, lain kali boleh nggak menciummu?” Kamari tercengang lalu menunduk malu. Mengutuk dalam hati karena salah sangka. Ia menggelengkan kepala, berusaha menahan senyum. “Ngomong-ngomong, aku ada hadiah buat kamu.” “Hadiah?” “Iya, ada dijok belakang. Ayo, kita ambil.” Kamari tercengang melihat Liam membuka kap mobil dan mengeluarkan buket cemilan yang sangat besar. Beragam coklat, biskuit mahal, dan permen enak tersusun rapi, semuanya dibungkus dengan kertas merah muda dan diikat pita yang cantik. Kamari tak bisa menahan senyum melihat kejutan itu. Dengan lembut, Liam meletakkan buket itu ke dalam pelukan Kamari, seolah memberikan hadiah kecil yang penuh perhatian. “Ini buat kamu,” kata Liam dengan senyum tipis. Kamari merasa hangat di hatinya, senang dengan perhatian yang diberikan Liam, meskipun tidak pernah menyangka akan menerima kejutan seperti ini. Tangan Kamari meraba buket itu, merasakan kenyamanan dari benda-benda kecil yang penuh dengan kenangan manis dan perhatian. “Terima kasih,” ujarnya dengan lirih, sedikit terharu. Keduanya terdiam sejenak, menikmati keheningan, sementara Kamari mulai meresapi kenyataan bahwa meski waktu telah memisahkan mereka, kehadiran Liam seolah menghadirkan rasa yang sulit untuk dijelaskan. “Semoga kamu suka cemilannya.” Kamari meneguk ludah, merasakan bobot buket di pelukannya. “Om, banyak banget.” “Kalau kamu bosan, bisa ngemil.” “Tapi tetap aja banyak.” “Bisa bagi-bagi sama temanmu. Diet jangan terlalu ketat, sehat itu penting. Sana, masuk!” Kamari mengulum senyum. “Terima kasih, Om.” “Sama-sama, Kamari. Aku baik kan? Baru kecupan udah aku kasih coklat” Liam mencondongkan kepala dan berbisik. “Kalau lain kali ciuman, mobil atau rumah juga boleh. Nggak perlu pakai pelet.” “Iih, apaan, sih?” Kamari mengelak. Liam terbahak-bahak, masuk ke mobilnya dan melambai sebelum meninggalkan Kamari yang termangu di depan gerbang kos dengan lengan mendekap buket cemilan. Liam memang sangat baik padanya, dari dulu tidak pernah berubah. Kamari tidak tahu, bagaimana mengatasi perasaannya. Tiba di kamar, ia memfoto buket cemilan miliknya lalu mempostingnya di status aplikasi pesan. Seketika, banyak balasan yang ia terima. Terutama dari sahabat-sahabatnya. “Gede amaaat! Pasti dari Om Duda, aku mauu!” ucap Vasthi. “Aku iri aku bilang!” Kali ini Balqis yang berucap. “Aku juga bisa beliin buat kalian!” sahut Nata. Tidak ada yang menanggapinya, semua orang sibuk mengagumi buket cemilan milik Kamari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN