BAB 8

1747 Kata
Liam tertegun, saat mendapati papanya duduk di ruang tamu dengan cerutu di tangan. Ia bisa mendengar suara mamanya bicara dengan pelayan dari ruang tengah. Merasa heran karena orang tuanya datang tanpa memberitahunya. “Papa? Sudah lama?” Gunawan menggeleng. “Belum lama. Duduklah, mamamu membawa makanan.” “Aku sudah makan, Pa.” “Tumben. Biasanya kamu lupa soal makan.” “Tadi sama teman.” Liam mengenyakkan diri di samping papanya, tak lama mamanya keluar membawa piring lebar dengan sushi di atasnya. “Makan dulu. Pasti lapar.” Liam menggeleng. “Sudah kenyang, Ma.” “Tumben.” Mawar menatap anaknya dengan kaget. Gunawan menjentikkan cerutu dan mematikan api. “Itu yang aku katakan tadi. Tumben jam segini sudah makan. Tapi, sekarang bukannya jam sebelas malam?” “Setengah dua belas,” sahut Liam. “Mama dan Papa ngapain datang malam-malam ke rumah?” Mawar meletakan sushi di atas meja, mengamati anaknya. Beberapa hari tidak befizemu, ia merasa ada yang berbeda. “Liam, proyekmu goal?” Ranier menggeleng. “Proyek apaan, Ma?” “Nggak tahu, wajahmu kelihatan senang soalnya. Nggak biasa juga lihat kamu semringah begini. Biasanya pulang kerja kusut, sampai-sampai Mama pikir kamu butuh istri baru buat mendampingi.” Liam tergelak malu, teringat kecupan bersama Kamari dan dirinya menggila karena itu. “Nggak usah begitu, Ma Memangnya orang senang harus berhubungan sama proyek?” “Lah, makanya Mama tanya. Kamu di otaknya cuma ada kerja sama kerja, kalau nggak karena proyek, apalagi?” “Memang itu yang penting sekarang.” Liam mengambil sepasang sumpit dan makan satu buah sushi. Ia bisa merasakan tatapan kedua orang tuanya. Pasti ada hal penting yang akan mereka sampaikan. Dugaannya tidak salah. “Diana, akan menikah lagi dalam beberapa bulan ke depan,” ucap Mawar. Liam mengangguk. “Aku sudah tahu, Ma. Dapat undangannya.” “Oh baguslah. Kamu berencana datang?” “Tentu saja. Kami nggak ada masalah. Cerai secara baik-baik. Dia akan menikah, tentu saja aku harus datang.” Gunawan berdehem. “Apa kamu tahu siapa suaminya?” “Feris Adiwijaya, direktur PT. Adiwijaya Group.” “Kamu tahu semua tentang Diana?” celetuk Mawar. “Aku bukan tahu semua, hanya sebagian. Tapi, Diana memberikanku undangan pernikahannya dengan tangannya sendiri. Datang langsung menemuiku dan bercerita. Itu saja.” Gunawan bertukar pandang pandang dengan istrinya. Mereka kembali mengamati anaknya dengan serius. “Bagaimana perasaanmu?” tanya Gunawan. “Apa kamu nggak tertarik mengakhiri masa dudamu?” Liam mengangguk. “Tertarik, tapi tidak sekarang.” Mawar tercengang. “Serius? Kamu punya keinginan begitu?” “Iya, Ma. Kenapa kaget begitu?” Mawar mengulum senyum, tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Biasanya, Liam selalu menolak setiap kali ia bicara soal jodoh atau pasangan. Anaknya itu akan menjawab ketus kalau proyek dan pekerjaan jauh lebih penting daripada cinta. Pernikahan Liam hanya bertahan dua tahun. Sebuah pernikahan singkat tanpa anak. Meski begitu, hubungan antara Liam dan Diana masih terjalin dengan baik. Perceraian sama sekali tidak menyisakan permusuhan. Setelah menduda, Liam menghabiskan banyak waktunya untuk bekerja. Mawar sempat kuatir kalau anaknya berkubang dalam bisnis dan tidak memikirkan cinta. Sepertinya ada yang berbeda dan itu membuatnya senang. “Mama senang kalau kamu punya kekasih. Cepat-cepat nikahi dia, biar kami nggak kuatir.” Liam memeluk mamanya singkat. “Iya, Ma. Pasti aku nikahi dia. Kalian tunggu saja.” Liam memikirkan Kamari dan bayangan tentang pernikahan membuat senyumnya terkembang. Kalau suatu saat ia akan mengakhiri masa menduda, Kamari adalah perempuan yang tepat untuknya. Semoga saja, gadis itu merasakan hal yang sama padanya. ® Hari terakhir pameran, untuk kali ini Balqis dan Vasthi juga bekerja satu hari full. Dikarenakan pengunjung yang membludak. Mereka sibuk melayani pelanggan, memberi penjelasan, dan membantu bagian penjualan. Kamari berharap, dengan suksesnya pameran ia bisa mendapatkan bonus. Mamanya sudah merengek ingin minta uang. Alasan demi pengobatan sang nenek. Kamari berharap, bisa punya pekerjaan yang stabil dan bisa merawat neneknya di sini. “Eh, ada gosip,” bisik Vasthi saat mereka istirahat minum. “Katanya, Pak Liam mau datang malam ini.” “Mau nutup pameran?” tanya Kamari. “Bisa jadi, atau sekedar kangen sama kamu.” “Itu lebay, sih.” “Tapi, Kamari. Kalau aku jadi kamu, dikejar sama laki-laki kaya yang tampan kayak gitu. Dengan senang hati masuk ke pelukannya dan naik ke ranjangnya.” Kamari menjitak jidat Vasthi dan gadis itu menjerit. “Otaknya tolong dijaga, ya?” Vasthi mengusap jidatnya. “Emangnya apa yang salah? Kamu sendiri apa nggak pernah kepikiran gimana rasanya dipeluk dan dicium Pak Liam?” Kamari merasa wajahnya memanas, teringat akan kecupan Liam beberapa hari silam. Ia meneguk minum dalam jumlah besar dan meninggalkan Vasthi sendiri. “Kamari! Tungguin aku!” Kamari menepuk pipinya, obrolan tentang pelukan dan ciuman membuat imajinasinya melayang tak tentu arah. Tentu saja ia pernah dikecup Liam, dan sentuhan ringan di bibirnya itu cukup membuat tubuhnya melayang. Seandainya waktu itu Liam tidak menahan diri, barangkali akan beda cerita. Kamari bergidik, berusaha mengeyahkan pikiran kotornya tentang ciuman. Pengunjung terus berdatangan hingga menjelang tutup. Kamari bahkan nyaris tidak punya waktu makan, hanya minum dan makan cemilan sekadarnya untuk mengganjal perut. Ia melayani banyak pembeli dengan jumlah transaksi yang meningkat pesat di banding hari-hari sebelumnya. Pameran biasa tutup pukul sembilan, kali ini molor sampai jam setengah sebelas karena banyaknya antrian. Pukul sebelas, antrian sudah selesai dan stand benar-benar ditutup. Liam datang bersama Joshua, mengumpulkan para karyawan dan SPG di stand yang sudah kosong. “Terima kasih untuk kerja kerasa kalian. Tahun ini, penjualan jauh melebihi target.” Setelah memberikan sepatah dua patah kata, Liam membagikan bingkisan untuk mereka semua, termasuk Kamari, Vasthi, dan Balqis. “Kamari, lapar nggak?” bisik Vasthi saat mereka melangkah lunglai ke ruang ganti. Kamari mengangguk. “Lapar, tapi malas juga mau makan. Udah malam.” “Ajak Om kamu makan, pasti mau dia,” celetuk Balqis. Kamari menunjukkan ponselnya. “Nggak usah disuruh, emang dia mau traktir makan.” “Ciee, ciee, yang pacaran sama duda,” ledek Vasthi. “Ssst!” Kamari meletakkan telunjuk di depan bibir. “Hati-hati, ada mereka.” Ruang ganti ramai, semua SPG berceloteh tentang bingkisan dari Liam. Beberapa mengatakan dengan suara keras kalau Liam menjabat tangan mereka. “Pak Liam tanya, umurku berapa?” “Trus?” “Aku bilang baru 25 tahun.” “Eh, Pak Liam tanya aku dong, rumah di mana? Jauh nggak.” “Sama aku beda lagi, berapa lama jadi SPG.” “Aargh, kalian bisa ngrasa nggak? Kalau cara bicara beliau bikin meleleh.” “Tampan lagii!” Kamari berusaha fokus pada tugasnya, merapikan barang-barangnya dengan hati-hati. Rasanya, setiap gerakan yang ia lakukan terasa lebih berat dari biasanya, seolah semua energi di tubuhnya tersedot oleh tawa-tawa yang terdengar semakin jelas di belakangnya. Ia tahu, orang-orang itu pasti sedang bergosip, membicarakan dirinya dengan cara yang tak mengenakkan. Namun, Kamari berusaha keras untuk tidak terpengaruh. Dengan tangan gemetar, ia memasukkan barang-barang ke dalam tas. Ada perasaan yang tidak bisa ia jelaskan, antara lega dan cemas. Besok adalah hari terakhirnya di sini, dan meski ada banyak kenangan buruk, Kamari merasa sedikit berat meninggalkan tempat ini. Sambil mengatur nafas, Kamari melirik sekeliling, mencoba menenangkan diri. Baginya, ini adalah langkah yang harus diambil. Ia tidak ingin terus berada di tempat yang membuatnya merasa tidak nyaman, meskipun ia tahu akan ada banyak hal yang harus ia tinggalkan. Tawa di belakangnya terus berlanjut, tetapi Kamari memilih untuk tidak menoleh lagi. Ia tahu, di luar sana ada dunia yang lebih besar menunggu, dan ia harus terus melangkah maju. “Jangan ngambek, Pak Liam hanya basa basi,” bisik Balqis. Kamari tersenyum. “Aku tahu, kok.” “Susah kalau punya gebetan kaya dan tampan, banyak yang naksir.” Vasthi menimpali. Semua yang mereka katakan itu benar, Liam memang laki-laki di luar jangkauannya. Tidak peduli pada masa lalu mereka akrab, kenyataannya nasib berkata lain. Liam dengan kehidupannya yang mapan, sedangkan dirinya terseok. Kamari berhenti sejenak di dekat pilar, menatap Liam yang tengah berdiri berbicara dengan asistennya. Ia merasa sedikit canggung, meskipun pertemuan ini sudah beberapa kali terjadi. Setiap kali bertemu, Liam selalu datang dengan kendaraan yang berbeda, seakan tak ada habisnya pilihan mobil mewah yang dimilikinya. Kamari berbisik dalam hati, “Liam memang selalu berbeda.” Vasthi dan Balqis berdiri di sampingnya, keduanya saling bertukar pandang dengan senyum yang sulit disembunyikan. Mereka tahu betul, Kamari pasti merasa aneh dengan perhatian Liam yang datang begitu tiba-tiba. Balqis bahkan sempat berbisik, “Kam, jangan terlalu serius. Dia kelihatan benar-benar tertarik padamu.” Kamari menggeleng pelan, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, apa yang mereka katakan memang benar, namun rasanya masih terlalu cepat untuk menyimpulkan apapun. Kapan pun Liam ada di dekatnya, perasaan aneh selalu hadir—perasaan yang membingungkan dan sulit untuk dijelaskan. “Kam, ayo,” bisik Vasthi, memberi dorongan lembut. Dengan langkah ragu, Kamari akhirnya melangkah maju, mendekati Liam yang sedang berbicara dengan asistennya. Liam melambaikan tangan, mereka menghampiri dengan malu-malu. “Kamari, aku akan mengantarmu pulang. Mobil ini hanya bisa untuk dua orang. Kalian berdua, bisa ikut Joshua.” Liam menunjuk asistennya. Vasthi dan Balqis menggeleng bersamaan. “Nggak usah, Pak. Kami dijemput kok. Cuma mau ngantar Kamari,” ujar Vasthi ceria. Kamari mengernyit. “Emangnya Nata jemput?” Balqis mengangguk. “Yuup, jemput kami. Udah, kamu baik-baik aja sama Pak Liam. Ingat minta traktir makan, seharian perut kamu kosong.” “Daah, Kamari. Daaah, Pak Liam.” Vasthi berpamitan dengan ceria. Keduanya menyempatkan diri untuk mengagumi dan mengusap mobil Liam, setelah itu bergegas ke parkiran utama, sudah ada Nata yang menunggu. Liam berpamitan pada Joshua sebelum membuka pintu mobil untuk Kamari “Rekapitulasi penjualan kamu email saja esok hari,” pesan Liam sebelum masuk ke mobil. Joshua mengangguk. “Baik, Pak.” Joshua melanjutkan perjalanannya dengan mobilnya, namun pikirannya terus melayang. Ia tidak bisa menghindari rasa penasaran yang terbangun setelah melihat bagaimana Liam berinteraksi dengan gadis itu. Seorang SPG yang tampaknya menarik perhatian bosnya, tentu saja bukan sesuatu yang biasa terjadi. Ia mulai merenung, apakah ini hanya kebetulan atau mungkin ada sesuatu yang lebih mendalam antara mereka? Joshua tahu, sudah bukan urusannya untuk mencampuri kehidupan pribadi Liam. Namun, entah mengapa, pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya. Liam sudah cukup lama menduda, dan tentu saja, jika ia menemukan seseorang yang cocok, itu akan menjadi hal yang baik. Joshua kembali menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Bagaimanapun, keputusan siapa yang akan menjadi pasangan Liam adalah hak pribadi bosnya. Yang bisa ia lakukan hanyalah mendukung, tanpa harus terlalu ikut campur. Dengan pikiran yang sedikit lebih ringan, Joshua melanjutkan perjalanannya, membiarkan rasa penasaran itu menguap perlahan seiring dengan waktu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN