Balqis mengaduk makanan di atas piringnya tanpa benar-benar berniat memakannya. Lauk-pauk kesukaannya berupa opor ayam dan sambel, tidak mampu menarik minatnya. Sang mama bahkan meminta pada pelayan untuk memasak lontong, tapi tetap saja Balqis tidak berminat. Bagaimana ia bisa makan dengan tenang, sementara percakapan di seputar meja makan terus menerus tentang dirinya. Dari mulai mengkritik penampilan sampai hidupnya. Seolah-olah, ia tidak punya hak untuk hidup di rumah ini. “Balqis, sudah hampir setengah tahun kamu lulus. Apa yang bisa kamu lakukan selain bermalas-malasan?” Adinda, kakak iparnya mulai bertanya. “Jangan berpikir bisa seperti temanmu itu, siapa, si Kamari. Bisa menikah dengan orang kaya dan bermalas-malasan seumur hidup.” Balqis mendongak, menatap Adinda dengan jengkel