“Bagaimana kabarmu?” tanya Marcello saat kendaraan meluncur dijalanan yang sudah mulai sepi. Balqis menoleh dari keasyikannya mengamati jalanan. “Baik, Pak.” “Baik dalam arti bagaimana? Baik secara mental atau fisik?” “Keduanya, baik-baik saja.” “Bagus kalau begitu. Apa kamu mendapat masalah dengan keluargamu karena tidak pulang malam itu?” Balqis menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu antara membiarkan kebenaran terkubur atau membukanya seperti luka lama yang belum sepenuhnya mengering. Hatinya bergetar dalam diam—ada rasa takut, takut jika kejujuran justru menjadi beban yang tak pantas diletakkan di pundak Marcello. Ia tahu, tidak semua kisah pantas dibagikan, apalagi jika isinya hanya tangis dan kepedihan. Di dalam mobil yang sunyinya terasa menggema, tidak ada musik, hanya ketegangan