Bude Laksmi tertunduk lemas mendengar jawaban keponakannya. Mau bagaimana pun keputusan yang berkenaan dengan cucunya ada di tangan Bram sebagai ayahnya ketimbang dirinya sendiri.
“Bude, aku mau jenguk Mbak Rere,” ujar Alea saat Eka—adiknya Rere masuk.
“Bude tidak bisa antar.”
“Nggak pa-pa Bude, aku sama Eka aja.” Ia menatap Eka.
Bude Laksmi hanya mengangguk saja, lalu Alea dan Eka pun keluar. Ujung mata Bram mengikuti Alea sampai wanita itu menghilang dari balik pintu.
Alea menghela napas panjang, lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya seperti bebas dari ruangan yang begitu sempit.
“Al, ngimana ... kamu setuju urus Alan?” tanya Eka penasaran sembari mereka menuju lift.
Wanita itu tersenyum getir. “Kayaknya, suami Mbak Rere kurang setuju Mbak. Kalau udah kayak begitu kita tidak bisa memaksakan.”
“Ck, Mas Bram memang kebiasaan harus perfeksionis. Padahal udah tahu anaknya sakit-sakitan. Mungkin udah bawaannya sebagai CEO dan pewaris perusahaan besar, segalanya harus sempurna. Mbak Rere benar-benar beruntung punya suami kayak Mas Bram,” gerutu Eka kesal, namun terselip menunjukkan siapa kakak iparnya pada Alea.
Alea hanya diam saja, pikiran sedang ruwet, tapi berharap hari ini ia bisa kuat dan tidak terlihat menyedihkan di depan mantan suaminya.
“Oh, Mas Bram CEO toh. Tapi ngaku ke aku hanya karyawan biasa saja. Bodohnya aku yang bisa kena tipu,” batinnya menertawakan dirinya sendiri. Dan, tak terasa ujung matanya basah.
***
Alea hanya bisa menjenguk kakak sepupunya dari balik kaca besar yang ada di ruang ICU. Berulang kali ia menarik napasnya dalam-dalam, hatinya tiba-tiba merasa bersalah melihat tubuh Rere penuh dengan alat medis.
“Mbak Rere, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak tahu kalau Mas Bram adalah suamimu. Maafkan aku yang pernah mencintai dan menikah dengan suamimu. Tapi, aku bukan pelakor, Mbak. Aku tidak bermaksud merebut suami siapa pun. Yang aku tahu dia belum menikah, makanya aku menerima lamarannya. Mbak Rere nggak usah khawatir, suami Mbak sudah menceraikan aku begitu saja. Dan, kini aku mengerti mengapa dia pergi tanpa menjelaskan. Karena dia punyamu, Mbak. Sedangkan aku mungkin hanya dianggap selingan saja.”
Alea mengusap ujung matanya yang kembali basah, sudut bibirnya tersenyum getir. Kemudian, ia berbalik badan.
Bram sedang duduk di bangku tunggu bersebelahan dengan Eka yang sejak tadi tersenyum memandang kakak iparnya.
“Mbak Eka, aku ke toilet dulu ya,” katanya saat menghampiri.
“Toiletnya ada di ujung sana ya, Al,” tunjuknya.
Alea mengangguk tanpa memandang Bram, lalu melewatinya begitu saja.
“Kasihan Alea, udah diceraiin sama suaminya. Padahal Alea nggak jelek-jelek banget sih. Terus, habis melahirkan ... bayinya meninggal. Malang sekali nasibnya,” kata Eka sembari menatap punggungnya.
“Kenapa diceraikan? Mungkin ada masalah nggak? Kamu tahu suaminya, Ka?” Bram pura-pura bertanya.
Eka menggeleng. “Kita aja sekeluarga nggak tahu kapan Alea nikah, tahu-tahu udah dapat kabar kalau udah nikah. Jadi, nggak tahu apa penyebab perceraiannya.”
Bram hanya ber-O saja, karena memang pernikahan mereka sangat sederhana, tidak mengundang banyak orang.
***
Beberapa menit kemudian, usai membasuh tangan dan wajahnya agar lebih segar Alea keluar dari toilet.
“Ikut aku. Ada yang ingin aku bicarakan.”
Alea terkesiap melihat Bram sudah berdiri di depan toilet khusus wanita.
“Pembicaraan apa ya?” tanya Alea dengan mendongakkan dagunya. Sorot matanya yang penuh luka, kini memberanikan diri menatap Bram.
“Jangan banyak tanya padaku. Ikuti aku!” perintahnya tegas.
“Ck ... jika ingin bicara kenapa tidak di sini saja! Kenapa aku harus ikut dengan Anda!” tegas Alea. Lebih tepatnya ia tidak ingin menuruti perintah pria itu.
Bram yang baru saja mau melangkah, menatap geram pada mantan istrinya. “Karena tidak memungkinkan aku bicara denganmu di depan toilet.”
Alea memutar mata malas bola matanya. “Maaf, sudah tidak ada pembicaraan lagi di antara kita. Lagian kita tidak saling mengenal, kan, Pak Bramantyo yang terhormat!” sindir Alea tajam.
Wanita itu melangkah penuh percaya diri melewati Bram, dan saat itu juga Bram mencekal pergelangan tangan Alea.
“Ikut aku, dan jangan menolaknya!” bisiknya tajam. Ia menarik paksa Alea, dan menggiringnya masuk ke lift.
“Lepaskan!” Alea sempat memberontak, tapi cekalan tangan Bram semakin kuat dan menyakitkan. Hingga tibalah mereka di dalam coffe shop, barulah Bram melepaskan.
“Duduk!” Suaranya begitu dingin.
Dengan raut wajah penuh emosi, tangan Alea menggeser kasar salah satu kursi kemudian duduk di sana, dan memalingkan wajahnya ke arah kaca.
Bram tanpa ekspresi memanggil waiters dan memesan dua minuman untuk mereka berdua. Usai memesan, barulah ia berkata, “Berapa banyak uang yang kamu inginkan agar bisa menjauh dari keluargaku?”
Perlahan-lahan Alea menoleh, alis matanya bertautan.
“Katakan berapa banyak? Biar aku siapkan, setelah itu kembalilah ke tempat asalmu.” Suaranya pelan tapi amat pedas.
Alea terkekeh pelan. “Hebat! Berapa banyak harta yang Anda miliki, Pak Bram? Apakah bisa Anda berikan semuanya padaku, tanpa menyisakan sedikit pun?”
“Jangan kurang ajar kamu, Alea.”
“Aku tidak kurang ajar kok. Anda bertanya, ya, aku menjawab. Kalau Anda tidak bisa memberikannya, ya, jangan bertanya berapa yang aku minta. Bereskan, Pak Bram!” tegasnya.
Bram menarik napas dalam-dalam, begitu waiters mengantarkan pesanannya, ia langsung menyesap coffe lattenya sebelum kembali berbicara.
“100, 200, atau 500 juta yang kamu minta. Aku akan berikan hari ini juga, asal kamu dan ibumu menutup mulut, dan kamu kembali pulang, “ujar Bram dengan tatapan tajamnya.
Alea menyunggingkan senyum sinisnya dibalik hatinya yang kembali disakiti. “Memangnya apa yang harus aku tutupi, Pak Bram? Apakah ada sesuatu di antara kita berdua sampai Anda begitu cemas aku atau ibuku berkoar-koar?” Alea dengan sikap tenangnya sengaja memancing Bram. Meski ia menahan diri untuk tidak meninju Bram di depan umum.
Tangan Bram terkepal erat saat meneguk kembali coffe lattenya, ia sangat tidak menyangka wanita yang di hadapannya agak berbeda.
“Jangan pura-pura tidak tahu, Alea,” sindirnya.
Alea mengerjapkan matanya berulang kali. “Pura-pura? Pura-pura bagaimana ya, Pak? Aku benar-benar tidak paham. Makanya itu aku tanya saja sama Bapak, agar aku ingat kembali. Sampai Bapak ingin aku dan ibuku tutup mulut, dan menjauh dari keluargaku sendiri. Catat ya ... Bude Laksmi itu kakak ibuku, jadi yang keluargaku!” tegasnya.
Pria itu mendesah, “Cukup Alea, berhentilah berakting di depanku.”
Alea tergelak tawa. “Oh, Anda menyangka aku sedang berakting. Bukankah Anda sendiri yang sering berakting, sampai aku baru menyadari hari ini jika akting Anda benar-benar luar biasa keren. Reza Rahadian sampai kalah aktingnya. Pak Bram patut dapat piala citra.”
“Akh!” Alea tersentak, saat tangannya melayang ke udara. Bram langsung menariknya.