Selama perjalanan yang memakan waktu kurang dari tiga puluh menit itu, sama sekali tidak ada pembicaraan berarti di antara keduanya. Menurut Joe, Rega telah memberitahu semua yang harus dilakukan oleh gadis itu, jadi dia tidak perlu repot-repot untuk menanyakannya kembali.
Sementara itu, tepat di sebelah Joe yang tengah fokus menyetir ada Aline yang nampak sangat tegang. Telapak tangan gadis itu terasa dingin efek gugup yang menyerangnya. Aline berusaha untuk menetralkan degup jantungnya yang berdetak tak karuan.
‘Tarik napas, lalu embuskan perlahan.’ Aline mencoba menenangkan dirinya sendiri, dan melirik sebal pada pria jutek bin dingin di sebelahnya. Dia hanya berharap bisa melewati malam ini tanpa kendala dan hambatan.
Tidak lama kemudian, mobil yang kendarai Joe memasuki sebuah halaman luas yang dipenuhi dengan beberapa kendaraan mewah lainnya yang terparkir rapi. Aline sempat terkesima dengan bangunan mewah di depannya. Sebuah rumah mewah bergaya Mediterania berlantai tiga dengan lampu hias di setiap sudutnya terlihat berdiri kokoh menampilkan kesan elegan dan eksotis.
Aline tidak pernah mengira kalau selama ini dia hanya bisa melihat bangunan mewah yang selalu menjadi impiannya itu dalam acara reality show di TV. Kini, dengan mata kepalanya sendiri dia bisa melihat langsung, bahkan masuk ke dalam bangunan tersebut. Bagaimana bila dia di beri kesempatan untuk tinggal di rumah impiannya itu selama satu pekan, pasti dia adalah gadis yang sangat beruntung.
Mesin mobil dimatikan dan suara deham membuat Aline yang tengah terpukau dengan keindahan bangunan di depannya sontak menoleh ke arah sebelahnya.
“Kau sudah siap?” tanya Joe seraya menaikkan alisnya. Dia tau apa yang sejak tadi diperhatikan oleh gadis itu, mungkin saja gadis itu terkejut atau terkesima dengan apa yang baru saja dilihatnya pertama kali dalam hidupnya.
“Te-ntu saja ...," balasnya tergagap.
“Kau yakin?” tanya Joe lagi memastikan gadis itu.
Aline menggeleng pelan. Sejujurnya dia belum siap, gadis itu masih harus membuat jantungnya berdetak normal dan membuat telapak tangannya kembali menghangat.
“Baiklah, lima menit lagi kita masuk.” Joe mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan mencari kontak Rega.
Sementara Aline kembali menarik napas dan mencoba bersikap tenang. Walaupun ini hanya sebuah sandiwara, tetap saja gadis itu merasa harus bersikap normal dan senatural mungkin. Aline berusaha semaksimal mungkin dengan aktingnya, dia tidak ingin mengecewakan pria itu yang telah membayarnya dan juga kesepakatan mereka.
“Rega mengatakan kalau keluargaku sudah menunggu kita," ucap Joe seraya memasukan ponselnya kembali pada saku jasnya.
Pria itu menoleh ke arah Aline yang sejak tadi tidak bersuara.
“Hei!” Joe menjentikkan jari telunjuk dan ibu jarinya tepat di depan wajah Aline, sehingga membuat gadis itu terkejut. “Kau baik saja?” tanya Joe dengan kening berkerut.
Aline mengerjapkan matanya setelah mendapat teguran dari Joe.
“Baiklah, baiklah, aku siap!” katanya dengan suara yang nampak serak.
“Bagus! Kupikir kau pingsan," gerutu Joe seraya mendorong pintu mobil dan beranjak keluar lebih dulu.
Aline mencoba merapikan riasan wajahnya berikut penampilan, dia beruntung semua masih nampak sempurna seperti yang dia inginkan. Kemudian dia pun keluar dari mobil dengan gaya yang anggun dan gemulai. Joe yang memperhatikan gadis itu sempat terkesiap sembari susah payah menelan salivanya.
Keduanya berjalan bersisian menuju ke teras rumah bersamaan dengan beberapa tamu yang kebetulan juga baru datang menghadiri acara ulang tahun ayahnya. Sesampainya di teras, Joe menghentikan langkahnya dan meminta Aline untuk menyelipkan tangan pada lengannya. Gadis itu pun tidak menolak dan menuruti permintaan bosnya.
Mereka melewati pintu kembar berwarna putih yang dihiasi dengan bunga-bunga cantik berwarna cerah. Di dalam ruangan yang lumayan luas itu sudah dipenuhi oleh tamu undangan yang tersebar di sudut-sudut ruangan sembari bersenda gurau dengan tamu-tamu lainnya.
“Joe!” teriak suara wanita yang diketahui adalah Marissa, ibunda Jonathan Pramudya.
Beberapa mata ikut memandang ke arah suara wanita itu yang berjalan cepat menghampiri putra sulungnya.
“Kau memenuhi janjimu?” tanya Marissa dengan senyum yang merekah ke arah pasangan di depannya.
“Tentu saja, Ma. Kenalkan dia Aline, calon tunangan ku,” ucap Joe memperkenalkan Aline pada ibunya.
Aline pun mengulurkan tangan ke arah Marissa yang disambut hangat oleh wanita paruh baya yang masih terlihat cantik.
“Tante apa kabar?” sapa Aline dengan senyum manis yang tersemat di bibirnya yang dipoles dengan lipstik merah muda.
“Hai, Aline senang bertemu denganmu.” Marissa tak henti-hentinya melempar senyum bahagia pada pasangan muda mudi tersebut.
Bagi Marissa, ini adalah sebuah kebahagiaan untuknya. Putra sulung yang selalu dia khawatirkan tentang pasangan dan status singelnya diusianya yang sudah menginjak tiga puluh lima tahun dan belum juga menikah sangat membuat Marissa berpikiran negatif. Pasalnya, dua putranya yang merupakan adik dari Joe, sudah berkeluarga sedangkan kakaknya masih betah melajang dan hampir tidak pernah dekat dengan wanita mana pun. Jadi, tak heran bila banyak media yang mengira kalau Joe mengalami kelainan seksual. Namun, malam ini semua anggapan dari para awak media itu terpatahkan. Buktinya malam ini Joe menepati janjinya membawa gadisnya untuk diperkenalkan pada keluarga besarnya.
“Kalian harus bertemu dengan Papa, dia pasti akan sangat senang dengan kedatangan Aline malam ini. Ayo!” Marissa menggandeng tangan Aline agar pasangan itu mengikutinya menuju Haris, suaminya.
Joe mendengus pelan ketika melihat ibunya menggandeng posesif Aline agar tidak terlepas. Menurutnya sikap ibunya terlalu berlebihan. Tapi, apa pedulinya.
“Joe, apa dia gadismu?” David, si adik tengah, menghadang langkah Joe yang akan melintas mengikuti langkah ibunya membawa calon tunangan palsunya.
Joe melirik David yang berdiri bersebelahan dengan Vivian, istrinya.
“Ya, kau harus berkenalan dengannya nanti,” balas Joe sambil lalu dan terus melangkah agar tidak tertinggal oleh ibu dan Aline yang hampir sampai di tempat ayahnya duduk bersama beberapa tamu penting.
“Hebat sekali dia! Kau lihat gadis itu, sepertinya masih muda sekali dan sangat cantik,” ujar David antusias pada istrinya.
“Gadis yang beruntung.” Vivian berucap pelan. Matanya masih memandang ke arah di mana Joe dan gadis itu bersama orang tua mereka.
“Tapi, bagiku kau tetap yang tercantik, Vi,” puji David seraya mengecup kening Vivian lembut.
“Aku tau.”
Danny dan Nadine bergabung bersama David yang tengah bermesraan dengan istrinya di tengah acara yang berlangsung.
“Cari kamar sana!” cetus Danny yang diselingi tawa oleh Nadine.
“Hei, kau sudah lihat Joe membawa gadisnya!” adu David pada adik bungsunya dengan tangan yang masih merangkul pinggang langsing Vivian secara posesif.
“Serius?” tanya Danny tak percaya. Pria itu menoleh ke arah Nadine, istrinya yang sama tak yakin.
“Lihat itu!” David menunjuk dengan dagunya ke arah Joe yang tengah berdiri bersebelahan dengan seorang perempuan. Pasangan itu berdiri membelakangi mereka sehingga wajah gadis itu tidak nampak oleh mereka.
Danny pun mengajak kakaknya untuk bergabung dengan keluarganya di sana, sekalian berkenalan dengan perempuan yang katanya adalah calon tunangan dari Joe, kakak sulung mereka.
Keempatnya berjalan beriringan menuju Joe yang tengah diinterogasi oleh Haris, papa mereka.
“Halo, calon kakak ipar?” sapa Vivian ketika para lelaki saling mengobrol, sementara para wanita memisahkan diri.
Nadine memandang Aline lekat, seperti tengah mencari sesuatu dari gadis itu.
“Hai, apa kabar?" Aline mengulurkan tangan mencoba berkenalan dengan para wanita yang baru saja dia ketahui adalah adik ipar Joe.
“Aku sangat tidak menyangka kalau Joe akan benar-benar membawa calonnya," ujar Nadine dengan wajah sumringah.
“Kita tidak pernah berpikir kalau dia normal, kan.” Perkataan Vivian langsung ditanggapi tawa oleh Nadine.
Aline tersenyum kaku.
***
Joe merasakan getaran dari ponselnya, kemudian dia mengambil benda pipih itu dan membukanya. Sebuah pesan masuk ke aplikasi hijaunya. Dia melirik di depannya ayah, dua adiknya, dan para tamu tengah mengobrol serius.
“Gadis itu cantik. Di mana kalian bertemu?”
Joe menelan ludah usai membaca sederet kalimat tanya dalam pesan yang dikirim oleh wanitanya.