Pagi ini, suasana di kota Sydney, Australia, tampak cerah dengan langit biru serta awan tebal berwarna putih yang menghiasi langit. Tak lupa dengan terik matahari yang menjadi alasan semua orang tampak lebih bersemangat menjalani hari ini. Begitu pula dengan orang-orang yang bekerja di salah satu perusahaan terbesar di Sydney. Para karyawan memulai pekerjaan masing-masing dengan lebih produktif hari ini.
Beberapa saat kemudian, di pintu masuk lobi perusahaan, semua pandangan karyawan yang berlalu-lalang di sana segera menundukkan kepala tatkala melihat sang pemilik perusahaan mengayunkan sepasang kakinya. Tak hanya itu, sepasang kaki yang ikut mengayun di belakangnya pun ikut menambah aura dingin serta karisma yang tak bisa dihindari dari kedua pria itu.
Axellion Marvin, seorang CEO sekaligus pemilik dari Marvin Corporation yang tahun ini telah berusia 24 tahun. Sangat muda bukan untuk usia seorang CEO? Namun, kecerdasannya dalam memimpin perusahaan tak perlu diragukan lagi.
Tak ada yang mampu menandingi kecerdasannya dalam menarik investor maupun memenangkan suatu tender yang besar sekalipun. Ia bahkan selalu berhasil menarik semua mata pebisnis dunia untuk mengarah kepadanya.
Marvin Corp. sendiri adalah perusahaan yang dikelola oleh keluarganya sejak 17 tahun yang lalu. Dan kini, perusahaan tersebut telah diwariskan kepadanya dari sang Ayah. Hingga membuat Axellion menjadi seorang milyarder di usianya yang masih sangat muda.
Sementara itu, pria yang berada di belakang Axellion adalah Jay Curtis. Pria yang juga berusia 24 tahun dan merupakan asisten pribadi Axellion, sekaligus sahabat pria itu.
Dulu, kedua orang tua Jay bekerja rumah Axellion sebelum keduanya dipaksa pensiun oleh orang tua Axellion karena sudah terlalu lama memberikan jasa terhadap keluarga mereka. Ibu Jay merupakan seorang kepala pelayan di rumah tersebut. Sementara Ayahnya merupakan asisten pribadi Ayah Axellion, sama seperti dirinya saat ini.
Maka dari itu, sejak kecil, Jay sudah tinggal di sana dan menjadi teman bermain Axellion yang membuat keduanya telah menjalin persahabatan hingga sekarang.
Sesampainya di dalam lift, Jay berceletuk, “Bersikap ramahlah sedikit pada karyawanmu. Kau tidak lihat wajah mereka selalu pucat pasi setiap melihatmu?”
“Kau sendiri?” sindir Axellion.
“Aku kenapa?” tanya Jay seraya menaikkan kedua alisnya tak mengerti.
“Kau selalu berdiri di belakangku dan memasang wajah menyeramkan. Bukankah itu lebih parah?” sarkas Axellion.
“Menyeramkan? Aku? Hei! Justru kalau bukan karena aku yang berdiri di belakangmu, mereka semua sudah lari ketakutan,” ketus Jay.
“Jadi maksudmu, kau memasang wajah hello kitty di saat aku memasang wajah menyeramkan?” ejek Axellion.
“Kenapa kau menyamakanku dengan hello kitty?” dengus Jay.
“Kalau begitu, diamlah. Aku sedang tidak mood untuk bercanda hari ini,” ujar Axellion membuat Jay bingung.
“Tumben,” gumam Jay. Namun, sedetik kemudian, kedua matanya melebar. “Apa kau memimpikan wanita tanpa identitas itu lagi?” tebaknya tepat sasaran.
“Jadi, benar, ya,” gumam Jay ketika mendapati Axellion hanya membisu di tempatnya.
“Sudah kubilang, jangan terlalu memikirkannya. Itu hanya bunga tidur. Atau, bisa jadi itu adalah pertanda bahwa sudah waktunya kau memilih wanita untuk kau jadikan istri,” ujarnya yang sedetik kemudian langsung mengaduh kesakitan saat Axellion memberinya pukulan siku tepat di perutnya.
Saat Jay hendak membalas, pintu lift sudah terbuka hingga membuatnya mengurungkan niat untuk membalas Axellion. Keduanya lantas segera keluar dari lift dan langsung menuju ruangan Axellion yang disambut oleh dua orang sekretaris Axellion.
“Kenapa kau ikut masuk?” tanya Axellion begitu Jay selesai menutup pintu.
“Lalu aku harus ke mana? Menunggumu di depan pintu dan dilihati kedua sekretarismu itu seperti bodoh?” tanya Jay sembari duduk di sofa lalu mengeluarkan ponselnya.
“Bukankah seorang asisten memang seperti itu?” sindir Axellion.
“Tapi, aku bukan sekadar asisten. Aku penasihat, perdana menteri, sekaligus sahabat sang Raja di kerajaan ini. Jabatanku lebih tinggi dari sekadar asisten biasa,” balas Jay.
“Lagi pula, bukankah kau selalu merasa kesepian kalau aku tidak ada di sini?” lanjutnya yang kini sudah asyik memainkan game di ponselnya.
Sementara itu, Axellion hanya menggelengkan kepalanya mendengar jawaban pria itu. Mengabaikan Jay yang kini tengah asyik dengan dunianya sendiri, Axellion mulai mengerjakan pekerjaannya yang sudah menumpuk pagi ini. Padahal ia baru saja meninggalkannya kemarin sore.
“Jay,” panggil Axellion beberapa saat kemudian tanpa mengalihkan tatapannya dari dokumen di hadapannya.
“Ada apa?” tanya Jay yang juga tidak mengalihkan pandangan dari ponselnya.
“Selidiki dua perusahaan yang mengajukan kontrak pada perusahaan kita. Proposalnya terlalu sempurna untuk perusahaan yang baru berjalan selama satu tahun terakhir,” pinta Axellion.
“Hanya itu?” tanya Jay terdengar meremehkan dengan sebelah alis yang terangkat.
“Ya,” jawab Axellion.
“Baiklah,” ucap Jay kemudian segera menyimpan ponselnya lalu beranjak dari duduknya. “Aku permisi dulu, Sir,” pamitnya. Setelah itu, ia langsung keluar dari ruangan Axellion untuk menjalankan tugasnya.
Salah satu hal yang Axellion suka dari Jay. Meski pria itu suka berlaku seenaknya saat mereka sedang berdua, tapi Jay selalu melakukan pekerjaannya dengan sigap dan teliti. Jay juga mampu menempatkan dirinya di segala macam situasi. Karena itulah, ia menawarkan pekerjaan tersebut pada sahabatnya itu saat ia mulai menjalankan perusahaan.
Selain karena ia membutuhkan orang yang bisa dipercaya, ia juga butuh orang yang sigap dan bisa membuatnya nyaman saat bekerja dengan orang tersebut. Nyaman dalam artian ia tak perlu bersikap terlalu kaku pada orang itu. Dan satu-satunya orang yang bisa ia percayakan untuk menempati posisi itu hanyalah Jay.
-------
Suara dentingan garpu dan sendok di atas piring terdengar saling bersahutan di dalam sebuah ruang makan dengan ukuran yang lumayan besar di mana penghuninya hanya terdiri dari tiga orang. Axellion, Avery Marvin –sang Ibu-, dan Luke Marvin –sang Ayah-.
“Oh, ya. Di mana Jay? Kenapa hari ini Mama tidak melihatnya?” tanya Avery yang baru menyadari ketidakhadiran Jay malam ini di meja makan.
“Jay sibuk,” jawab Axellion seadanya.
“Kau pasti memberinya tugas yang berat lagi,” tegur Avery.
“Aku hanya menyuruhnya menyelidiki sesuatu,” ujar Axellion.
“Dan kau tidak memberitahunya untuk tidak bekerja sepanjang hari. Jay masih muda, masa depannya masih panjang. Jangan terlalu mempersulitnya,” pinta Avery.
“Mamamu benar. Jay itu persis seperti orang tuanya yang pantang berhenti kalau belum menyelesaikan tugasnya. Dia bahkan rela meninggalkan jam makannya hanya untuk itu. Jadi, kau harus lebih perhatian padanya,” sahut Luke.
“Yes, Sir!” ujar Axellion patuh.
Setelahnya, suasana ruang makan kembali makan dan kembali diisi oleh dentingan peralatan makan dari ketiga orang tersebut. Hingga Avery kembali membuka percakapan. “Axel, apa kau sibuk minggu depan?” tanyanya.
“Memangnya kenapa, Ma?” tanya Axellion balik.
“Mamamu sudah dapat calon baru untuk kencan butamu minggu depan,” sahut Luke.
“Ish, Papa!” sungut Avery seraya mencubit lengan sang suami kesal. Lain hal dengan Axellion yang kini menghela napas lelahnya saat topik ‘kencan buta’ kembali muncul ke permukaan.
“Ma, sudah Axel bilang kalau Axel tidak mau ikut kencan buta lagi,” ucap Axellion.
“Tapi, umurmu sudah 24 tahun, Axel,” ujar Avery.
“Memangnya kenapa kalau sudah 24 tahun? Dulu kita menikah waktu aku berusia 31 tahun,” celetuk Luke.
“Diamlah, Luke!” dengus Avery dengan tatapan tajam yang menghunus tepat di mata sang suami yang tidak membantunya sama sekali.
“Santai saja, Sayang. Usia putra kita masih sangat muda untuk menikah. Biarkan dia menikmati masa mudanya dulu. Nanti juga dia akan mengerti apa yang harus dia lakukan,” ujar Luke lembut.
“Tapi, anak teman Mama sudah menikah semua. Bahkan ada yang sudah menimang cucu,” rajuk Avery.
“Axel juga akan menikah, Ma. Tapi, nanti. Tidak sekarang,” sahut Axellion.
“Iya, Mama tahu. Tapi, nantinya itu kapan? Calonnya saja belum ketemu. Setidaknya, kalau kau ikut kencan buta ini, calonnya sudah berada tepat di depan mata,” ujar Avery.
“Mama yakin kalau calonnya adalah wanita itu? Bagaimana kalau Axel tidak suka dengannya?” tanya Axellion.
“‘Kan, tinggal Mama carikan lagi sampai ketemu yang cocok,” jawab Avery membuat Luke menggeleng-gelengkan kepalanya. Istrinya itu memang sangat keras kepala.
“Kalau sampai Axel berusia 30 tahun dan masih belum ketemu yang cocok dari semua wanita yang mama jodohkan, bagaimana?” tanya Axellion.
“Jangan khawatir. Kalau sampai tahun depan kau masih belum ketemu sama wanita yang cocok dengan kriteriamu, kau harus siap menikah paksa sama calon pilihan Mama,” jawab Avery enteng tanpa memikirkan perasaan putranya.
“Kau tega memaksa putra kita menikah dengan wanita yang tidak dia cintai?” tanya Luke.
“Cinta itu urusan belakang. Seperti kata pepatah, ‘Alah bisa karena biasa’. Yang penting ketemu calonnya dulu,” ujar Avery mengulas senyum lebarnya.
“Tenang saja, Axel. Papa akan selalu berada di pihakmu dan akan membantumu nanti,” ucap Luke menatap prihatin pada putranya.
“Memangnya Papa bisa apa?” tantang Avery dengan sebelah alis terangkat.
“Papa bisa membantu Axel untuk mencintai calonnya nanti,” elak Luke. Ia tak ingin mencari risiko dengan mengundang kemurkaan istrinya itu. Tak lupa pula ia mengirimkan kode pada Axellion untuk mengalah.
Axellion hanya bisa menghela napas pasrah ketika melihat kode dari sang Ayah. Ya, sepertinya kali ini ia memang harus mengalah dan menuruti permintaan Ibunya itu. Lagi pula, setiap wanita yang ia kencani tak pernah ada yang tahan dengannya. Ia hanya perlu datang lalu pergi tanpa memberi kabar seperti biasa.
“Oh, ya. Axel. Papa dengar, kau berhasil memenangkan tender yang ada di Indonesia?” tanya Luke mengalihkan pembicaraan.
“Iya, Pa,” jawab Axellion. “Axel juga sudah menyuruh Ben ke sana sebagai perwakilan perusahaan sekaligus memantau proyek itu,” jelasnya.
“Bagus. Mulai sekarang, perbanyaklah menjalin hubungan dengan Indonesia. Negara itu sangat bagus untuk lebih mengembangkan perusahaan karena selalu bisa menarik keuntungan yang tinggi,” nasihat Luke.
“Iya, Pa,” ucap Axellion. “Axel juga berencana untuk memenangkan proyek yang ada di Dubai dua bulan ke depan dan New York di bulan berikutnya,” ungkapnya.
“Apa? Berarti kau akan sangat sibuk dalam beberapa bulan ke depan?” celetuk Avery seraya meletakkan garpu dan sendoknya karena terkejut.
“Iya, Ma,” jawab Axellion.
“Jadi, kau tidak akan punya waktu ikut kencan buta?” tanya Avery sedih.
“Iya,” jawab Axellion to the point.
“Tidak. Pokoknya kau harus cari waktu luang untuk ikut kencan buta. Setidaknya dua minggu sekali. Mengerti?” tegas Avery. “Axel, kau mengerti?” tanyanya lagi saat Axellion tak memberikan jawaban.
“Iya, Ma. Axel mengerti,” jawab Axellion yang kembali menghela napas pasrah.
-------
Tok... Tok... Tok...
“Masuk,” pinta Axellion ketika mendengar pintu kamarnya diketuk saat ia baru saja selesai mandi seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil serta sebuah handuk yang juga menggantung di pinggulnya. Tak lama kemudian, pintu kamar Axellion terbuka dan Jay masuk ke dalam masih memakai setelan jasnya dengan sebuah map cokelat di tangan kanannya.
“Tumben kau mengetuk pintu,” ujar Axellion.
“Tidak ketuk pintu, salah. Mengetuk pintu, salah. Maumu apa?” dengus Jay.
“Kau baru pulang?” tanya Axellion mengabaikan ucapan Jay barusan.
“Memangnya kau berhak bertanya seperti itu setelah membuatku bekerja sampai malam seperti ini?” sindir Jay sembari duduk di sofa membuat Axellion terkekeh.
“Ini berkas yang kau minta,” ucapnya seraya melempar map cokelat yang ia bawa ke atas meja. Lihat? Mana ada asisten yang berperilaku seenak jidat seperti itu selain Jay?
Tanpa mengatakan apa pun, Axellion mengambil map tersebut lalu membukanya. Ia lantas membaca dan meneliti semua yang tercantum di sana. Ia bahkan memastikan tak ada yang terlewati di sana.
“Kau yakin sudah tidak ada yang tertinggal?” tanya Axellion tanpa mengalihkan perhatiannya dari dokumen tersebut.
“Memangnya kau pernah melihatku melewatkan sesuatu?” tanya Jay balik yang dibenarkan oleh Axellion dengan anggukan kepalanya.
“Kalau begitu, cukup,” gumam Axellion. “Tidak ada yang aneh dengan kedua perusahaan itu,” lanjutnya kemudian meletakkan dokumen tersebut kembali di atas meja.
“Pergilah ke kamarmu dan mandi. Aku sudah memberi tahu pelayan untuk langsung menyiapkan makan malam saat kau pulang,” pintanya sembari lanjut mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Sudah kubilang berhentilah memperlakukanku seperti itu. Kau selalu bertindak seperti seorang istri yang melayani suaminya saat pulang bekerja,” tegur Jay.
“Lihat, kau berpenampilan seperti itu saja sudah membuat orang yang melihat salah paham dengan kita berdua,” lanjutnya yang merujuk pada Axellion yang bertelanjang d**a dan hanya menggunakan sehelai handuk di pinggang.
“Benarkah?” tanya Axellion polos seraya melirik penampilannya yang baginya sangat normal untuk orang yang baru selesai mandi. “Tapi, yang aku dengar berbeda. Aku pernah mendengar beberapa karyawan di kantor menggosipimu. Mereka bilang kalau kau itu seorang gay,” lanjutnya.
“Itu semua karena kau!” decak Jay dengan tatapan sinisnya yang ia tujukan untuk Axellion. “Oh, ya. Kudengar, minggu depan kau akan ikut kencan buta lagi?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Mama yang memberitahumu?” tanya Axellion menyimpan handuk kepalanya di dalam keranjang cucian kotor.
“Bukan. Uncle yang memberitahuku,” jawab Jay.
“Siapa pun di antara keduanya, mereka berdua sangat senang menggosipiku di belakang bersama denganmu,” ujar Axellion yang kini berada di dalam walk in closet untuk memakai pakaiannya.
“Ah, aku lupa. Kau ‘kan, mata-mata mereka,” lanjutnya setengah menyindir.
“Mata-mata? Siapa? Aku? Tidak, tidak, kau salah. Mata-mata mereka itu orang tuaku. Bagaimanapun, aku selalu berada di pihakmu sebagai sahabat sejati. Maka dari itu, bersyukurlah karena orang tuaku sudah pensiun dan tidak tinggal di rumah ini lagi,” ungkap Jay.
“Benarkah?” tanya Axellion yang dibenarkan oleh Jay. “Lalu, siapa yang memberitahu Mama tentang jadwalku dua minggu yang lalu sampai lagi-lagi aku terpaksa harus ikut kencan buta?” tanyanya membuat Jay terdiam sejenak, merutuki dirinya.
“Ah, waktu itu ... waktu itu Aunty tiba-tiba bertanya, jadi langsung kujawab saja seadanya. Aku lupa kalau dia selalu menjadwalkan kencan buta untukmu,” jelas Jay berbohong.
“Aku serius. Aku berani bersumpah atas nama Mia,” ujarnya.
“Sumpah yang mengatasnamakan kucing sama sekali tidak ada artinya,” ucap Axellion.
“Tapi, Mia sangat berarti bagiku melebihi apa pun di dunia ini,” bantah Jay.
“Melebihi diriku?” tanya Axellion.
“Tentu saja. Mia lebih berharga dari pada kau,” jawab Jay. “Aish! Kau mulai lagi,” dengusnya.
“Harus berapa kali kubilang untuk berhenti bersikap seolah-olah kita ini suami istri?” ketusnya.
“Aku tidak pernah bersikap seperti itu. Kau saja yang selalu merasa aku memperlakukanmu sebagai suami. Kau terlalu sensitif,” bantah Axellion sembari keluar dari walk in closet.
“Lalu, pertanyaan barusan itu apa?” sindir Jay.
“Aku bertanya karena kau bilang kita ini sahabat. Aku hanya menyuruhmu memilih antara sahabat dan kucingmu. Memangnya apa yang salah dari itu?” tanya Axellion dengan wajah polosnya.
“Sudahlah. Aku malas bicara denganmu,” dengus Jay. “Pokoknya, minggu depan aku mau cuti tiga hari,” ujarnya seraya berdiri dari duduknya.
“Cuti? Memangnya kau mau ke mana?” tanya Axellion dengan sebelah alis yang terangkat.
“Aku mau mengajak Mia kencan. Sudah satu bulan lebih aku tidak mengajaknya kencan. Nanti dia marah padaku,” jawab Jay sambil berlalu keluar kamar Axellion.
Sepeninggal Jay, Axellion menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak ada sehari pun ia tidak melakukan gerakan itu. Bagaimana tidak? Sikap Jay yang seperti itu selalu membuatnya tak habis pikir. Bagaimana bisa seorang pria dewasa dengan akal sehat seperti Jay menganggap seekor kucing sebagai kekasihnya?
Aneh.
-------
Love you guys~