Chapter 9

2674 Kata
“Kenapa kau memanggilku seperti itu di hadapan Aunty? Kau tahu ‘kan, Aunty sangat sensitif tentang hal itu? Bagaimana kalau putra satu-satunya yang tidak tahu diri ini benar-benar seorang gay?” protes Jay ketika mereka telah meninggalkan pelataran mansion. Tubuhnya sedikit berbalik pada Axellion yang duduk di belakang, sementara ia sendiri duduk di samping sopir yang sedang mengemudi. “Kau marah? Bukankah harusnya aku yang marah? Kau bilang akan selalu mendukungku, tapi kau tetap bersekutu dengan Mama untuk mencarikanku calon istri,” ujar Axellion. “Kau yang terlebih dahulu berkhianat, jadi jangan menyalahkanku,” lanjutnya. “Aku tidak mengkhianatimu. Aku seperti itu hanya di depan Aunty agar dia tidak kecewa. Kau tidak tahu yang namanya berbohong demi kebaikan?” ujar Jay membela dirinya. “Tidak ada kebohongan yang mengatasnamakan kebaikan. Yang namanya kebohongan, sudah pasti buruk dan tidak bisa ditolerir,” bantah Axellion. “Sudahlah Jay, sekali pengkhianat, selamanya akan jadi pengkhianat. Kenapa kau harus lahir di tahun yang sama denganku? Kenapa tidak lahir di tahun yang sama dengan Mama saja? Kalian berdua sangat cocok untuk melakukan hal-hal licik,” sindirnya. “Apa? Pengkhianat? Aku sudah menemanimu selama 24 tahun hidupmu dan kau bilang aku pengkhianat? Kau pikir aku ini apa?” tanya Jay mulai kesal. Ia merasa kalau Axellion benar-benar telah menganggap rendah persahabatan mereka. “Kau masih bertanya?” tanya Axellion tak percaya. “Tentu saja aku menganggapmu sebagai suamiku,” ujarnya yang membuat sang sopir hampir tersedak karena terkejut. Sebenarnya sopir itu sudah biasa mendengar Axellion mengusili Jay. Tapi, baru kali ini ia mendengar jawaban seperti itu dari Axellion untuk Jay. Seketika, Jay mengubah tatapannya pada Axellion. Yang tadinya kesal, kini menjadi semakin kesal. Tatapannya bahkan seakan bisa membunuh mangsanya hidup-hidup. Bagaimana tidak? Bukan hanya mereka berdua yang berada di dalam mobil ini, ada sopir yang sedari tadi duduk di sampingnya. Bagaimana bisa Axellion melupakan keberadaan sopir itu? “Kubunuh kau!” teriak Jay seraya memukul-mukul Axellion dengan ujung-ujung tangannya karena jarak yang memisahkan keduanya. Ia kesal karena Axellion yang kembali menjahilinya di waktu yang tidak seharusnya. “OH! JAY! JAY! JAY!” teriak Axellion panik saat mobil yang mereka kendarai kehilangan keseimbangan karena Jay yang terus-menerus menyenggol lengan sang sopir tanpa sadar. Jay yang menyadari hal itu pun kembali duduk dengan tenang di kursinya untuk menghindari menghadap pada Tuhan lebih cepat. “Tolong berhati-hati,” pinta Jay tenang pada sang sopir. “B, baik, Sir,” ujar sopir tersebut. ‘Padahal dia yang hampir membuat kita semua berada di dalam peti mati lebih cepat,’ batin sang sopir menggerutu. Melihat Jay yang sudah tenang, diam-diam Axellion menghela napas lega karena bisa terhindar dari amukan Jay, sang penakluk Axellion. Lucu, bukan? Tapi, itulah julukan yang diberikan oleh penghuni Marvin Corporation untuk Jay. “Pokoknya, kau harus mendapatkan wanita malam ini kalau kau mau menghindar dari kencan  buta yang Aunty atur untukmu,” sahut Jay. “Untuk apa aku mencari wanita kalau ada kau?” tanya Axellion. “Axellion,” geram Jay menahan amukan yang bisa keluar kapan saja dari dirinya. Ia tak ingin kejadian seperti tadi terjadi lagi. Sangat berbahaya. Sementara itu, Axellion tak lagi menjawab ucapan Jay dan hanya memalingkan wajahnya ke jendela. Karena, jawaban apa pun yang keluar dari bibirnya, tidak akan pernah bisa memuaskan Jay. Begitu pula dengan Avery, sang Ibu. Istri? Ia bahkan belum pernah memiliki kekasih. Melirik wanita saja enggan ia lakukan. Apalagi sampai mencari seorang wanita untuk diperistri? Ia sama sekali tak pernah memikirkan hal itu. Lebih tepatnya, ia malas memikirkannya. Tidak penting. Axellion juga tak tahu kenapa dan sejak kapan ia menanamkan hal itu di otaknya. Padahal, menikah adalah salah satu impian semua orang. Meski begitu, bukan berarti bahwa ia benar-benar seorang gay. Ia hanya tak bisa menjelaskan hal itu dengan baik agar semua orang mengerti apa yang ia maksud tanpa ada kesalahpahaman. Seperti saat ia mencoba untuk memberikan pemahaman pada Ibunya. ------- Setelah melakukan perombakan terhadap tubuh Ruby selama satu jam, kini wanita berusia 19 tahun itu telah siap untuk pergi. Dengan dress panjang berwarna soft pink yang melekat di tubuhnya, high heels yang terpasang di kedua kaki, dua buah gelang yang bertengger di lengan kirinya, serta berbagai jenis cincin yang terpaut di jari-jarinya. Tak lupa dengan make-up dan penataan rambut ala Claire, juga sebuah hand bag untuk Ruby bawa agar wanita itu tidak pergi dengan tangan kosong. Dan tentunya, benda itu akan sangat mendukung penampilan Ruby malam ini. Manis, tapi juga elegan. “Astaga, kau sangat cantik,” puji Claire tulus seraya menatap kagum pada Ruby. Ruby yang menerima tatapan seperti itu sontak merasa malu. Belum pernah ada orang yang memujinya sampai seperti itu. Dan hal itu tentu saja membuat Ruby semakin gugup. Ruby lalu menoleh pada cermin besar yang ada di hadapannya. Dan benar saja, saat ia melihat pantulan dirinya di dalam cermin, ia merasa bahwa wanita yang berada di dalam sana bukanlah dirinya. Penampilannya sungguh sangat berbeda. Ia merasa seperti seorang putri di negeri dogeng di mana Claire merupakan Ibu perinya. Sungguh, Claire seperti sebuah keajaiban baginya. Wanita itu mampu mengubah upik abu sepertinya menjadi seorang Cinderella. “Kalau seperti ini, aku tidak bisa menjamin para pria di sana akan membiarkanmu lolos dari jangkauan mereka,” ujarnya yang langsung membuat lamunan Ruby buyar. Setelah ia mencerna ucapan Claire, seketika Ruby menjadi panik, gugup, dan takut. Claire lantas terkekeh melihat ekspresi Ruby yang begitu polos. Meski ia tak sepenuhnya bercanda dengan hal itu, karena Ruby benar-benar sangat cantik malam ini dan sangat cocok untuk dijadikan mangsa para p****************g di luar sana. “Jangan dipikirkan. Kalau ada yang berusaha mendekatimu, kau berpura-pura saja sedang melakukan sesuatu atau tidak mendengar mereka lalu segera menjauh,” ucap Claire. “Bagaimana kalau nanti aku benar-benar ketahuan?” tanya Ruby gugup. “Tidak akan. Tidak ada yang akan menyangka wanita secantik dirimu merupakan seorang pelayan, Ruby,” jawab Claire menenangkan. “Sekarang, kau duduk di sana dulu. Aku mau siap-siap,” pinta Claire yang langsung dituruti oleh Ruby. Meski Claire tidak akan menghadiri pesta yang Jack perintahkan, tapi ia juga harus bersiap-siap dengan dandanan yang tak beda jauh dengan Ruby untuk mengelabui sang Ayah. Lagi pula, ia juga akan pergi ke pesta ulang tahun Selena. Jadi, ia tidak akan melakukan hal yang sia-sia. “Aku ke ba-” Ucapan Claire terhenti saat ia tiba-tiba teringat sesuatu. “Tunggu sebentar, aku melupakan sesuatu,” ujar Claire kemudian kembali masuk ke walk in closet-nya. Tak lama kemudian, ia kembali keluar membawa sepasang anting-anting lalu memakaikannya di telinga Ruby. “Perfect,” gumam Claire seraya tersenyum bangga. “Tunggu di sini. Aku ke bawah dulu. Setelah Daddy dan Mommy pergi, aku akan segera kembali,” pinta Claire yang diangguki oleh Ruby. Setelahnya, Claire pun beranjak dari sana meninggalkan Ruby sendirian. “Ya, Tuhan. Apa yang baru saja kulakukan?” gumam Ruby tegang. Kedua tangannya telah mengeluarkan keringat dingin sejak tadi. Tubuhnya mulai gemetar karena takut. Perasaannya sangat tidak tenang. Untuk mengusir rasa tegang dan perasaan tidak enaknya, ia pun mulai berjalan mondar-mandir di dalam kamar Claire sembari meremas kedua tangannya. Tak lama kemudian, pintu kamar Claire terbuka membuat Ruby terlonjak kaget. “Ada apa? Kau kenapa?” tanya Claire khawatir saat melihat reaksi Ruby. “Tidak apa-apa. Aku hanya ... takut,” jawab Ruby jujur. “Sudah kubilang, kau tidak perlu takut. Tenangkan dirimu, karena semuanya akan baik-baik saja. Ok?” ujar Claire seraya menggenggam sebelah tangan Ruby. “Ayo, Daddy dan Mommy sudah pergi,” ajaknya yang diangguki oleh Ruby. Keduanya pun keluar dari kamar Claire menuju lantai dasar lalu masuk ke dalam mobil yang telah menunggu Ruby di pelataran rumah. Saat Claire hendak menutup pintu mobil, ia sedikit membungkukkan badannya seraya menatap Ruby. “Ruby,” panggil Claire. “Ya?” tanya Ruby bingung. “Aku lupa mengatakan ini padamu,” ujar Claire. “Mungkin, di sana akan ada banyak wartawan yang akan mengambil fotomu. Dan saat itu, kau hanya perlu terus berjalan seraya tersenyum dan mengabaikan semua pertanyaan-pertanyaan mereka. Akan ada beberapa bodyguard juga yang akan mengawalmu sampai masuk ke dalam gedung. Jadi, kau tidak perlu khawatir,” ungkapnya seraya tersenyum penuh arti. Saat Ruby hendak mengatakan sesuatu, Claire segera mendahuluinya, “Bersenang-senanglah di sana. Kalau bisa carilah pria tampan selagi bisa. Bye, Ruby.” Setelahnya, Claire segera menutup pintu mobil sehingga mobil tanpa memberi kesempatan pada Ruby untuk protes. Tak lama setelahnya, mobil yang Ruby tumpangi mulai melaju dengan kecepatan sedang hingga membuatnya semakin gugup. Terlebih saat Claire memberitahunya hal yang sangat penting itu di detik-detik terakhir. ‘Wartawan? Mereka akan mengambil fotoku? Kalau begitu, fotoku pasti akan tersebar ke mana-mana. Tidak! Aku tidak bisa membiarkan hal itu. Bagaimana ini?!’ batin Ruby. Rasa gugup yang Ruby rasakan sejak tadi pun semakin nyata. Jantungnya juga berdebar sangat kencang dan kuat. Keringat dingin yang sedari tadi memenuhi telapak tangannya, kini semakin banyak hingga tangannya terasa seperti disiram air. Tak hanya itu, ia juga merasa keringat dingin mulai memenuhi keningnya hingga ia harus mengambil tisu beberapa kali untuk menyeka keringatnya. Kedua tangannya bahkan mengalami gemetar hebat. ‘Kalau tahu begini, aku akan mengeraskan hatiku dan menolak Claire lebih tegas lagi. Tuhan, aku mau lari saja dari ini semua. Leo, tolong aku!’ batin Ruby berteriak. Hingga akhirnya, ia hanya bisa mencoba untuk menekan rasa gugupnya di sepanjang perjalanannya yang cukup jauh. Karena, ia sadar kalau sudah terlambat untuk mencari solusi di tengah kondisi yang ia buat sendiri. Tak lama kemudian, mobil yang Ruby tumpangi akhirnya tiba di depan sebuah gedung yang telah dipenuhi oleh para wartawan yang dengan sigap langsung menghadapkan kameranya ke arah mobil yang ia tumpangi bahkan sebelum mobil tersebut berhenti di depan pelataran gedung. Sontak, hal itu membuat Ruby semakin gugup dan takut. Jika boleh jujur, ia belum siap menghadapi para wartawan itu. Namun, mau tak mau ia harus menghadapi mereka semua saat seorang bodyguard membuka pintu untuk Ruby. Ia lantas menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan untuk mengurangi sedikit rasa gugupnya. Setelahnya, barulah ia keluar dari mobil. Ia juga tak lupa mengingat semua yang Claire ajarkan padanya. Dan saat kakinya baru saja menapak di sebuah karpet merah yang menjuntai hingga ke pintu masuk gedung, suara dan kilatan blitz dari kamera semakin berisik menyorot Ruby. Sembari menekan rasa gugupnya, Ruby berusaha untuk bersikap natural dengan mengembangkan senyumnya selebar mungkin dan segera menundukkan kepalanya saat ia mulai melangkahkan kakinya didampingi oleh beberapa bodyguard yang menghalau para wartawan yang memberikan pertanyaan bertubi-tubi padanya. Hingga akhirnya, Ruby bisa bernapas dengan lega saat ia telah berada di dalam gedung setelah memberikan undangan yang Claire berikan padanya kepada seorang penjaga pintu. Selama beberapa saat setelah memasuki gedung, Ruby mematung di tempatnya memandangi sekelilingnya yang telah dipenuhi oleh para tamu undangan yang tengah asyik berbincang satu sama lain. Para pria menggunakan setelan rapi, sementara para wanita menggunakan dress mewah nan elegan yang tak jauh berbeda dengan yang ia kenakan. Tak hanya itu, Ruby juga sangat mengagumi dekorasi ruangan yang sangat besar tersebut. Ruangan yang terlampau mewah hanya untuk pesta seperti ini. Pesta yang diadakan untuk membangun relasi para pengusaha-pengusaha ternama. Seketika, rasa gugup yang ia rasakan sejak tadi pun musnah begitu saja. Jika ia diperbolehkan untuk jujur, tentu saja saat ini Ruby merasa sangat senang sekaligus takut di waktu bersamaan. Ia senang bisa berdandan cantik, memakai pakaian mahal, dan datang ke pesta mewah seperti ini layaknya mimpi indah bagi Ruby. Hal yang tak akan pernah terjadi di dalam hidupnya. Membayangkannya saja tak pernah. Lebih tepatnya, keadaan hidup Ruby yang tak bisa mengizinkannya untuk sekadar membayangkan hal-hal seperti itu. Tapi, ia juga takut jika hal ini akan membuatnya buta dan pada akhirnya akan mengharapkan yang lebih. Ia takut menjadi serakah. Ia takut hal itu akan menggerogoti dirinya. Lamunan Ruby seketika buyar, matanya membulat saat ia mendapati seorang pria tengah berjalan ke arahnya seraya memasang senyum manisnya. Sebelum pria itu sampai di tempatnya berdiri, ia pun segera beranjak dari sana secepat kilat. Seperti yang Claire katakan, ia hanya perlu menghindar dari orang-orang yang mencoba mendekatinya. “Huft, hampir saja,” gumam Ruby seraya menghela napas lega setelah berhasil menjauh dari pria tadi. Cukup lama berdiri di tempatnya sembari mengamati sekitarnya yang begitu ramai, seorang pelayan tiba-tiba menghampiri dan menawarkan minuman padanya. Ruby yang memang sudah haus sedari tadi pun mengambil segelas minuman dari nampan pelayan itu. Sepeninggal pelayan tersebut, Ruby segera meminum minumannya. Namun, baru satu tegukan, Ruby langsung menjauhkan minuman itu dari bibirnya dan refleks memegang lehernya yang terasa seperti terbakar. Rasa minuman itu juga sangat pahit dan asam. Tidak cocok di lidahnya yang menyukai makanan dan minuman manis. “Minuman apa ini? Rasanya sangat tidak enak,” gumam Ruby sembari menatap aneh pada gelas minumannya. “Bukankah ini minuman yang sering Leo tawarkan padaku? Warnanya terlihat sangat mirip,” gumamnya masih mengamati minuman dengan rasa aneh itu. “Untung saja aku tidak pernah menerima tawarannya,” lanjutnya dengan penuh rasa syukur. Saat masih bekerja di restoran dulu, Leo sering menawarkan sebuah minuman pada Ruby untuk ia coba. Namun, Ruby selalu menolaknya karena tidak tahu itu minuman apa. Saat melihat seorang pelayan hendak melewatinya, ia pun segera mencegat jalan pelayan itu. “Ada yang bisa saya bantu, Miss?” tanya pelayan tersebut sopan. “Apa aku bisa minta segelas jus jeruk?” tanya Ruby. “Tentu, Miss,” jawab pelayan tersebut. “Terima kasih,” ujar Ruby seraya meletakkan gelas minumannya di atas nampan pelayan itu. “Sudah tugas saya, Miss,” ucap pelayan tersebut kemudian berlalu dari sana. Sepeninggal pelayan itu, Ruby masih setia berdiri di tempatnya. Sebenarnya, ia ingin menjelajahi ruangan yang sangat besar itu. Tapi, ia menahan dirinya untuk beranjak dari sana, karena takut kalau pelayan tadi tidak bisa menemukan keberadaannya dan ia akan kehilangan segelas jus jeruknya. Tak lama kemudian, pelayan tadi kembali lalu memberikan segelas jus jeruk pada Ruby sesuai permintaan wanita itu. Dengan hati riang, Ruby segera meminum minumannya. Seketika, ia pun merasa bahwa ia telah meminum minuman dari surga. Sangat nikmat. Setelah pelayan itu pergi, barulah Ruby mulai menjelajahi isi ruangan di mana ia berada sekarang. Ruangan yang semakin lama semakin terdengar riuh di telinga Ruby padahal mereka semua hanya bercengkerama seperti biasa. Hal itu sontak membuat Ruby bertanya-tanya, sebenarnya apa yang mereka bincangkan dalam setiap circle yang mereka buat? Seusai meminum sedikit jus jeruknya, mata Ruby kembali menangkap seorang pria yang hendak mendekatinya. Terlihat dari mata pria itu yang tertuju padanya dengan senyum tipis yang juga ditujukan padanya. Tanpa menunggu lama, Ruby segera kabur dari sana sebelum pria itu sempat menegurnya. Dan selama beberapa kali, Ruby terus melakukan hal itu. Minum lalu kabur, minum lalu kabur, dan minum lalu kabur lagi. Hingga membuatnya kelelahan sendiri. Ia bahkan telah beberapa kali meminta minuman pada pelayan saking haus dan lelahnya ia. Andai saja ia tahu akan semelelahkan ini, ia akan menolak permintaan Claire dengan tegas. Salahnya juga yang terperdaya oleh tipu muslihat Claire. Ia benar-benar sangat bodoh. “Sebenarnya ada apa dengan mereka semua? Kenapa mereka selalu mendekatiku? Mereka ‘kan punya geng masing-masing. Tapi, kenapa mereka terus menyulitkanku seperti ini?” gerutu Ruby kemudian segera meminum minumannya. Ia baru saja kabur dari seorang pria yang kembali mencoba untuk mendekatinya. “Ah, jam berapa sekarang?” tanya Ruby. Ia lalu menjelajahi ruangan tersebut untuk mencari jam, karena ia lupa membawa ponsel dan juga tidak memakai jam tangan. Lihat? Betapa bodohnya ia sampai melupakan ponselnya sendiri. Tak lama kemudian, Ruby menemukan sebuah jam antik yang sangat besar berada di salah satu sisi ruangan. Dan jam tersebut telah menunjukkan pukul 08.53 malam. Yang artinya, sebentar lagi ia sudah bisa pulang. Satu hal yang Ruby tunggu sejak tadi. “Syukurlah,” gumam Ruby lega. Mungkin, itu karena sejak tadi ia sibuk menghindari para pria yang berusaha mendekatinya. Jadi, tanpa sadar waktu telah berlalu begitu cepat. Dengan hati tenang dan riang, Ruby meminum minumannya hingga tandas kemudian memberikan gelas kosongnya pada seorang pelayan yang lewat. Setelahnya, ia pun mulai mempersiapkan dirinya untuk keluar dari gedung tersebut. Ennon –sopir Claire- pasti sudah menunggunya di luar sana. Namun, baru beberapa langkah kakinya mengayun, seorang pria tiba-tiba menghalangi jalannya. Hal itu sontak membuat Ruby sangat terkejut. ------- Love you guys~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN