Dengan gusar, Claire membuka selimutnya hingga membuat Ruby yang baru masuk ke dalam kamar Claire terkejut. Tidak biasanya Claire bersikap seperti itu. Biasanya, Claire membuka selimut layaknya seorang putri. Sangat anggun dan lembut. Ruby lantas menebak bahwa suasana hati Claire pagi ini sedang buruk.
“Ada apa?” tanya Ruby hati-hati.
“Aku tidak bisa tidur,” keluh Claire seraya mengubah posisinya menjadi duduk dan menatap Ruby frustrasi.
‘Tidak bisa tidur? Tapi, wajahnya berkata sebaliknya. Memang, ya. Orang cantik memang berbeda. Rasanya sangat tidak adil,’ batin Ruby yang melihat wajah Claire cerah berseri seperti biasa.
“Apa kau ada masalah?” tanya Ruby seraya mengelap perabotan kamar.
Tanpa basa-basi, Claire mulai menceritakan seluruh keluh kesahnya pada Ruby tentang Jack yang memaksanya pergi ke pesta yang bertepatan dengan ulang tahun temannya. Ia bahkan berakting seperti seorang korban yang sangat tersakiti.
“Bagaimana pendapatmu? Bukankah Daddy terlalu berlebihan? Kenapa dia selalu memaksaku melakukan ini-itu tanpa mempertimbangkan keinginanku? Yah, lagi pula Daddy memang seperti itu. Hanya memikirkan kehendaknya sendiri tanpa mengerti perasaanku,” gerutu Claire seraya bersedekap.
“Hm ... menurutku, dalam hal ini kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Mr. Smith. Kupikir, dia melakukan itu untukmu. Kau adalah calon penerusnya satu-satunya. Mr. Smith pasti berharap agar kau bisa terbiasa dengan undangan seperti ini di kemudian hari. Lagi pula, kalau bukan kau yang pergi mewakili atas namanya, siapa lagi yang akan pergi?” tutur Ruby.
“Tapi, aku juga tidak membenarkan tindakannya yang terkesan memaksamu untuk pergi,” lanjutnya saat melihat ekspresi wajah Claire yang tampak cemberut. Wanita itu tidak setuju dengan pendapat awalnya yang terkesan membela Jack.
“Benar, ‘kan? Dia memang tidak pernah mengerti bagaimana perasaanku,” dengus Claire, seketika melupakan ucapan Ruby yang membela sang Ayah.
‘Huft, aku merasa serba salah,’ batin Ruby.
“Apa yang harus kulakukan, Ruby? Aku sungguh tidak mau pergi ke pesta itu. Aku bahkan belum memberitahu Selena kalau aku tidak bisa datang ke pesta ulang tahunnya malam ini,” rutuk Claire.
“Ya, sudah. Kabari saja dia sekarang sebelum terlambat,” pinta Ruby.
“Aku tidak bisa. Dia salah satu teman setia yang selalu punya waktu setiap kuajak keluar tanpa embel-embel sibuk,” tolak Claire memelas.
“Bukankah kau bilang semua temanmu hanya menginginkan isi dompetmu? Relakan saja pesta ulang tahunnya dan pergi ke pesta itu. Aku yakin, temanmu itu pasti akan mengerti,” ujar Ruby. Mendengar ucapan Ruby, Claire hanya bisa terdiam sembari merutuki sang Ayah.
“Apa aku benar-benar tidak memiliki pilihan lain?” tanya Claire putus asa.
“Sepertinya begitu,” jawab Ruby.
Claire lantas menghela napas panjangnya. Ia lalu mengacak-acak rambutnya kesal sembari menendang-nendang selimutnya membuat Ruby menggeleng-gelengkan kepala dengan tingkah Claire.
Setelah termenung cukup lama seraya menatap langit-langit kamarnya, Claire pun mengambil ponselnya yang berada di atas meja nakas untuk mengirim pesan berisi kabar buruk pada Selena bahwa ia tidak bisa datang ke pesta ulang tahunnya malam ini. Ia bahkan membutuhkan waktu setengah jam hanya untuk mengetik satu kalimat singkat itu.
‘Aku tidak tahu, dia itu bodoh atau benar-benar polos. Kalau aku jadi Claire, dari pada menghadiri ulang tahun teman palsuku, lebih baik aku mengikuti keinginan Mr. Smith dan mencoba membangun relasi di sana sebagai seorang calon penerus perusahaan Mr. Smith,’ batin Ruby.
‘Lagi pula, siapa yang peduli kalau aku tidak memiliki teman yang bisa kuajak keluar, kalau aku memiliki rumah sebesar ini dan bisa bersantai seharian penuh di dalamnya? Dan lagi, aku punya orang tua yang memanjakanku setiap saat. Dia sudah hidup bagaikan di surga, tapi malah memilih untuk menempuh jalan berliku seperti itu,’ batinnya lagi tak habis pikir.
“Ah!” seru Claire tiba-tiba sontak membuat Ruby yang sedari tadi sibuk berargumen dengan benaknya terkejut. Ia bahkan hampir menjatuhkan lap yang ia pegang.
“Ada apa?” tanya Ruby khawatir.
“Aku punya ide!” seru Claire dengan senyum penuh arti menatap Ruby membuat perasaan wanita itu tidak enak. Seakan hal buruk akan terjadi malam ini.
“Ide?” tanya Ruby bingung.
-------
“Kau yakin ini adalah ide yang baik?” tanya Ruby ragu, menatap Claire dengan tatapan penuh khawatir.
“Tentu saja. Percaya saja padaku. Tidak ada yang akan terjadi kalau kau menuruti semua ucapanku,” jawab Claire tenang. “Sekali saja, aku tidak akan pernah meminta hal seperti ini lagi padamu. Ya?” bujuknya.
Ruby lantas terdiam di tempatnya memikirkan ucapan Claire. Perasaan ragu yang teramat terus menyelimuti dirinya. Bagaimana tidak? Pagi ini, Claire baru saja memintanya untuk berpura-pura menjadi wanita itu lalu pergi menggantikannya ke pesta itu.
Meski ia telah bersikeras menolak, tapi Claire tetap memaksanya untuk pergi. Dan sore ini, Claire kembali mendatanginya dan memohon padanya untuk pergi dengan memohon dan menyertakan wajah memelas yang rasanya sangat sulit Ruby tolak.
“Tidak, tidak, tidak! Aku tidak bisa melakukannya! Bagaimana kalau aku ketahuan? Seorang pelayan datang mewakili Jack Smith. Itu hanya akan mempermalukan Mr. Smith. Dan lagi, bagaimana kalau Mr. dan Mrs. Smith sampai mengetahuinya? Aku pasti akan langsung dipecat,” tolak Ruby tegas.
“Maafkan aku, Claire. Tapi, aku benar-benar tidak bisa melakukannya. Lagi pula, bukankah kau sudah setuju untuk membatalkan janjimu ke pesta ulang tahun temanmu itu?” tanyanya.
“Aku belum memberitahunya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Selena kalau tahu aku tidak bisa datang malam ini,” jawab Claire. “Jadi, kumohon. Sekali saja. Aku janji ini yang pertama dan terakhir kalinya aku meminta hal seperti ini padamu. Ya? Ya? Ruby,” bujuknya lagi seraya memegang tangan Ruby.
“Kau tidak perlu khawatir akan ketahuan. Kau hanya perlu pergi ke sana, berdiri sambil menghindari orang-orang yang berusaha mendekatimu. Setelah satu jam bertahan di sana, kau boleh pulang,” jelas Claire.
“Aku tidak bisa, Claire. Tolong mengertilah. Aku tidak bisa merusak nama baik Mr. Smith dengan menggantikan dirimu pergi ke sana,” tolak Ruby lagi.
“Kau benar-benar tidak mau melakukannya?” tanya Claire dengan raut kecewa.
“Maafkan aku,” ucap Ruby merasa bersalah. Seketika, Claire menundukkan kepala sedih. Ia lalu menutup wajahnya dan mulai terisak. Ruby lantas terkejut melihatnya dan perasaan bersalahnya pun semakin meningkat.
“Claire,” ujar Ruby seraya memegang pundak Claire.
“Ruby,” lirih Claire.
“Aku tahu, kau pasti berpikir kalau aku ini hanya wanita manja yang hanya memikirkan diriku sendiri tanpa mempertimbangkan perasaan orang tuaku. Tapi, apa kau tahu kalau selama ini aku tidak benar-benar pernah melakukan apa yang aku inginkan?” tuturnya di tengah isak tangisnya yang menyendukan hati Ruby.
“Daddy selalu sibuk bekerja. Mommy hanya berada di rumah setelah Daddy pulang kerja karena asyik bermain dengan teman-temannya. Aku hanya bisa bertemu mereka saat Daddy pulang kerja atau aku mengajak Mommy pergi belanja. Sejak kecil, mereka memang selalu memanjakanku dengan menuruti semua keinginanku, tapi aku tidak pernah merasakan kasih sayang mereka sejak kecil,” ungkap Claire.
“Kebersamaan kami yang kau lihat saat berada di meja makan adalah satu-satunya waktu di mana aku bisa dekat dengan mereka. Itu pun karena aku yang meminta untuk makan malam bersama setiap hari dengan alasan kalau aku tidak suka makan sendirian,” lanjutnya.
“Maka dari itu, aku terpaksa berteman dengan teman-temanku yang sekarang meski aku tahu kalau mereka tidak tulus terhadapku dan hanya memanfaatkanku saja. Aku hanya ingin membalasnya karena sudah bersedia menemani hari-hariku yang penuh kekosongan itu dengan menghadiri pesta ulang tahunnya. Apa aku salah?” sambungnya masih terisak.
Sontak, Ruby membisu mendengar semua penuturan Claire. Ia memang sudah tahu kalau Jack merupakan sosok pria workaholic karena pria paruh baya itu lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja setelah makan malam. Dan memang benar kalau Jennifer hanya berada di rumah setelah Jack pulang bekerja.
Namun, ia tak menyangka kalau kehidupan Claire penuh kehampaan. Karena, kehangatan yang ia saksikan di meja makan setiap malam tidak menunjukkan adanya kekosongan itu. Ia pikir, kalau keluarga yang tampak bahagia itu diisi dengan kenangan-kenangan indah. Tapi, sepertinya ia salah.
“Ruby, kumohon. Lakukan ini untukku. Aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi selain dirimu,” mohon Claire yang masih menutup wajahnya.
Selama beberapa saat, Ruby tak membalas ucapan Claire. Otak dan hatinya tengah sibuk berdebat. Otaknya mengatakan kalau ia harus menolak permintaan Claire, tapi hatinya yang terlalu lemah dan merasa iba pada Claire memilih untuk menerimanya.
‘Ya, Tuhan. Kenapa aku harus berada di posisi sulit ini?’ batin Ruby.
“Baiklah,” putus Ruby yang seketika membuat Claire membuka kedua tangannya dari wajahnya seraya tersenyum ceria. Tak ada bekas kesedihan di wajah wanita itu.
‘Apa aku baru saja ditipu?’ batin Ruby ketika melihat raut wajah Claire yang tak tampak seperti orang yang baru saja menangis.
“Aku tidak akan bertanya dua kali karena kau sudah menyetujuinya,” ucap Claire membuat Ruby menghela napas pasrah.
‘Sial! Aku benar-benar telah ditipu,’ batin Ruby memaki.
“Ayo, aku akan mendandanimu sekarang. Karena, sebentar lagi kau harus pergi. Nanti kau terlambat,” ajak Claire ceria.
“Tunggu, bagaimana dengan pekerjaanku? Aku harus membantu pekerjaan di dapur sore ini,” tahan Ruby.
“Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah memberitahu Beatrice kalau aku akan mengajakmu keluar malam ini. Jadi, kau bisa pergi dengan tenang,” jelas Claire kemudian langsung menarik Ruby ke kamarnya.
‘Aku merasa kalau ini bukan ide yang baik,’ batin Ruby.
-------
“Kau sudah siap?” tanya Jay begitu membuka pintu kamar Axellion dan menemukan pria itu telah siap dengan setelan biru navy, pantofel coklat, serta rambut yang tertata rapi. Sementara ia sendiri mengenakan setelan hitam dan pantofel dengan warna senada seperti biasa.
“Sudah, Sayang,” jawab Axellion lembut membuat Jay memutar bola matanya seraya menghela napas. Ia sudah terbiasa dengan Axellion yang akhir-akhir ini selalu menjahilinya dengan memanggilnya dengan panggilan-panggilan menjijikkan seperti itu.
Kini, ia sudah tak peduli lagi dengan panggilan Axellion padanya dan kalimat menjijikkan apa pun yang pria itu katakan padanya. Ia sudah lelah untuk terus menyuruh Axellion berhenti bersikap seperti itu padanya. Percuma. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
“Apa kau tidak jijik memanggilku dengan panggilan itu?” tanya Jay.
“Kenapa harus jijik? Kita sudah bersama selama lebih dari 20 tahun,” jawab Axellion yang lagi-lagi membuat Jay memutar bola matanya.
“Kita bahkan sudah saling melihat semuanya satu sama lain,” lanjutnya seraya menatap tubuh bagian bawah Jay. Jay lantas mendengus mendengarnya. Axellion kembali membahas tentang mereka yang selalu mandi bersama saat masih kecil dulu.
“Itu dulu. Sekarang semuanya sudah berubah,” dengus Jay.
“Benarkah? Kalau begitu, aku harus memeriksanya lagi sekarang. Apa dia bertambah besar atau semakin mengecil,” goda Axellion.
“Dari pada memikirkan punyaku, lebih baik kau urus punyamu sendiri,” kesal Jay. “Sudahlah. Berhenti bermain dan cepatlah, kita sudah terlambat,” pintanya.
“Aku sudah siap. Ayo, Baby,” ajak Axellion seraya mendahului Jay keluar dari kamarnya.
Tanpa membalas ucapan Axellion, Jay ikut beranjak dari tempatnya mengikuti Axellion dari belakang. Hingga mereka tiba di lantai dasar dan berpapasan dengan Avery juga Luke di mana Luke tengah asyik menggoda Avery dengan kata-kata manis dan sedikit kotornya.
“Kalian mau ke mana?” tanya Avery.
“Biasa, Aunty. Mencari jodoh,” sahut Jay. Avery yang mengerti segera memicingkan matanya pada Jay. Picingan mata penuh arti.
“Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Jay,” ujar Avery serius.
“Tentu saja, Aunty. Aku tidak akan mengecewakanmu kali ini,” ucap Jay seraya menganggukkan kepalanya mantap, mengerti dengan kode Avery. Sementara itu, Axellion hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kedua sekutu tersebut.
“Ayo. Nanti kita terlambat, Sayang,” sahut Axellion kemudian langsung menarik Jay pergi dari sana membuat Luke terkekeh dengan kejahilan putranya itu.
“Bye, Ma, Pa,” teriak Axellion sembari melambaikan tangannya pada Avery dan Luke.
“Hati-hati di jalan kalian berdua,” seru Luke.
“Siap, Uncle,” sahut Jay.
“Jay!” teriak Avery khawatir.
“Jangan khawatir, Aunty. Aku akan mengurus putramu yang tidak berbakti ini,” balas Jay.
-------
Love you guys~