Victor terdiam, rahangnya mengeras saat jemarinya perlahan mengusap punggung tangan yang melepuh. Rasa perih masih menyengat, meninggalkan jejak nyata dari kelalaiannya sendiri. Dalam hati, ia mengutuk kebodohannya—satu kalimat yang salah ucap sudah cukup untuk membuat Sebastian murka, dan konsekuensinya selalu menyakitkan.
Bagi orang luar, hubungan mereka tampak ideal. Sebastian berperan sebagai mertua yang bijaksana, sementara Victor tampil sebagai menantu yang patuh. Mereka bisa tersenyum dalam jamuan makan malam, saling menepuk bahu di hadapan publik, seolah-olah tak ada jarak. Namun kenyataannya jauh berbeda. Di balik harmoni semu itu, tersembunyi ketegangan yang tak pernah reda—sebuah permainan kuasa di mana Victor harus selalu berhati-hati agar tidak kembali terjerat amarah Sebastian.
“Maafkan aku, Pa.”
Sebastian mendengkus, melambaikan tangan. “Pergilah, masih banyak tamu yang harus aku temui hari ini.” Victor bangkit, membungkuk ke arah Sebastian dengan hormat. “Sampaikan salamku pada anakku, dan pastikan kalau bulan madu kalian berhasil. Kalau sampai anakku tidak hamil, aku curiga jangan-jangan kamu mandul, Victor!”
Victor tidak menjawab sepatah kata pun atas perkataan mertuanya. Ia memilih membalikkan tubuh dengan tenang, menekan perasaan yang masih bergejolak. Tangannya yang melepuh segera ia selipkan ke dalam saku jas, menyembunyikan rasa sakit sekaligus jejak penghinaan yang baru saja diterimanya.
Begitu pintu terbuka, wajahnya berubah seketika. Senyuman tipis terpasang di bibirnya saat ia mulai menyapa orang-orang yang menunggu di luar. Sikap ramah dan penuh wibawa kembali ia kenakan, seperti topeng yang tak boleh retak. Tak seorang pun boleh tahu apa yang terjadi di balik pintu itu, apalagi luka yang tengah ia tanggung.
Semua cercaan, semua tekanan dari Sebastian, harus ia simpan sendiri. Karena dalam dunia mereka, kelemahan hanya akan menjadi bahan tertawaan, dan Victor bersumpah tidak akan memberi siapa pun kesempatan untuk melihatnya jatuh.
***
Natalia duduk di depan meja rias, jemarinya perlahan menyisir rambut panjang yang masih lembut setelah perjalanan panjang. Matanya menatap bayangan sendiri di cermin—kulit putihnya kini sedikit kecokelatan akibat teriknya matahari luar kota. Namun, justru ada rona berbeda di wajahnya, lebih segar, lebih hidup. Senyum samar terbit di bibirnya, senyum yang jarang sekali ia tunjukkan.
Kenangan itu datang begitu saja, memenuhi pikirannya. Hari-hari bersama Alejandro yang berlari cepat, penuh dengan tawa, percakapan, dan sentuhan. Sesuatu yang selama ini terasa asing baginya, kini meninggalkan jejak hangat di hati. Natalia tidak pernah membayangkan dirinya bisa mengalami kebebasan semacam itu.
Yang biasanya tabu, bersama Alejandro berubah menjadi pengalaman yang liar, bebas, dan penuh gairah. Ia menyadari, mungkin karena jiwa muda laki-laki itu menular. Alejandro membongkar dinding kaku dalam dirinya, menyingkap sisi Natalia yang bahkan tidak pernah ia sadari ada.
Natalia masih bisa merasakan jelas suara Alejandro yang berbisik lembut di telinganya. Setiap kali mereka bersama, lelaki itu selalu bertanya dengan nada penuh perhatian—apakah dirinya merasa sakit, apakah ia menikmati cumbuan mereka. Alejandro tak pernah terburu-buru, seakan ingin memastikan setiap helaan napas Natalia terisi dengan kenikmatan. Sesaat, Natalia sempat merasa seperti sedang bercinta dengan seorang gigolo profesional yang terlatih. Namun kemudian ia sadar, bukan itu esensinya. Alejandro berhati-hati bukan karena dingin, melainkan karena peduli—karena mereka sadar, hubungan ini berada di tepi jurang rahasia.
Di luar ranjang, Natalia mendapati sisi lain yang membuatnya semakin terpikat. Mereka mengobrol panjang tentang banyak hal, dari hal-hal ringan hingga isu serius yang tak pernah ia bayangkan bisa ia bagi dengan seorang pria muda. Alejandro memiliki pengetahuan luas yang memukau, dipadu dengan cita-cita mulia yang membuat Natalia diam-diam kagum. Bersamanya, Natalia merasa hidupnya tak lagi sekadar rutinitas, melainkan sesuatu yang bernyawa.
“Aku ingin mendirikan klub serta rumah singgah untuk anak-anak terlantar. Anak-anak jalanan yang tidak punya tempat untuk berteduh dari hujan dan panas.”
Natalia juga kagum dengan ketekunannya dalam bekerja. Alejandro mengaku kalau setengah dari gajinya untuk membantu klub bola.
“Kapan-kapan, bolehkah aku berkunjung ke tempatmu?”
Alejandro mengangguk terkejut dengan permintaan Natalia. “Tentu saja, Nyonya. Dengan senang hati aku akan menerimamu di rumah kami.”
Natalia sering kali bertanya-tanya, imbalan apa yang sebenarnya diberikan Victor kepada Alejandro. Apakah sejumlah uang yang tidak sedikit, atau mungkin tawaran jabatan yang menjanjikan masa depan? Pertanyaan itu terus menghantuinya, seolah menjadi rahasia yang tak kunjung terpecahkan.
Ia pernah mencoba menanyakan langsung pada Alejandro, namun lelaki itu hanya tersenyum samar dan menolak memberi jawaban. Dari sikapnya, Natalia semakin yakin bahwa ada sesuatu yang besar di balik kesepakatan itu. Victor bukan tipe orang yang mudah memberi begitu saja, dan Alejandro pun bukan pria yang mau menyerahkan dirinya tanpa alasan.
“Nyonya, Anda sudah siap?”
Camila datang membawa gaun biru dan meletakkannya di atas ranjang.
“Kita akan ke mana?” tanya Natalia.
“Makan malam bersama para istri pejabat eselon satu dan dua di kantor gubernur. Anda tidak lelah, bukan7”
Natalia menggeleng. “Nggak, aku bisa malam ini.”
“Syukurlah, Nyonya. Kalau Anda tidak datang, maka yang menjadi nyonya rumah adalah Nyonya Tania. Anda tahu bagaimana sikap perempuan itu kalau Anda tidak ada. Padahal, jabatan suaminya adalah wakil gubernur, tapi dia merasa kalau dirinya nyonya gubernur yang sebenarnya.”
Natalia melihat wajah Camila yang mencebik sambil tersenyum. Tania adalah istri dari Wakil Gubernur. Perempuan cantik bertubuh subur dengan kecepatan bicara melebihi kecepatan cahaya. Meski kurang menyukai Tania, tapi Natalia tidak membencinya.
Ia menarik laci, mengambil kotak perhiasan, dan kembali memakai cincin pernikahannya. Selama berada di luar bersama Alejandro, ia meninggalkan cincin di dalam kotak. Ada rasa enggan saat memakai cincin, sementara dirinya berbuat hal yang tidak senonoh. Ia mengambil bedak dan mulai memoles perlahan.
“Efek bulan madu memang luar biasa. Anda makin terlihat cantik dan wajah berseri-seri, Nyonya.”
Natalia tersenyum. “Benarkah? Apa terlihat seperti itu?”
“Menjadi lebih muda, dengan pandangan berbinar bahagia. Rupanya, ide Pak Victor agar kalian berbulan madu adalah hal yang benar.”
Natalia menahan lidahnya rapat-rapat, enggan menanggapi ucapan Camila yang dengan enteng menyinggung soal bulan madu. Semua orang memang percaya, ia dan Victor baru saja menghabiskan waktu romantis berdua. Nyatanya, kenyataan jauh berbeda. Mereka memang berangkat bersama ke bandara, tetapi begitu sampai, masing-masing menaiki pesawat berbeda. Hingga kini, Natalia bahkan tidak tahu ke mana suaminya pergi selama itu.
Yang jelas, ketika ia kembali, Victor sudah menunggunya di bandara seakan-akan tidak pernah berpisah. Senyumnya terpasang rapi, memainkan peran suami harmonis di depan banyak mata. Bagi Natalia, momen itu terasa ganjil. Terlebih, setelah seminggu penuh ia bersama Alejandro, saat menatap wajah suaminya lagi, yang muncul justru rasa canggung, seolah-olah dirinya sedang menyembunyikan sebuah rahasia yang terlalu besar.
“Sayang, bagaimana liburanmu?”
Itu adalah pertanyaan pertama Victor. Memeluk dan mengecupnya seakan tidak terjadi apa-apa. Natalia sendiri tidak tahu apa yang diharapkannya.
“Ayo, kita pulang. Rapikan gaun dan rambutmu, kenapa berantakan sekali?” tanya Victor heran.
Natalia mendesah pelan dalam hati, bertanya-tanya bagaimana mungkin penampilannya masih terlihat rapi. Padahal, sepanjang penerbangan, ia sama sekali tidak berhenti b******u dengan Alejandro. Duduk di kursi bisnis memberi mereka ruang lebih banyak, seakan dunia hanya milik berdua. Bahkan, tanpa ragu mereka sempat menghilang ke toilet pesawat, menyulut kembali gairah yang tak pernah padam sejak hari-hari mereka di pantai. Senyum tipis nyaris terbit di bibirnya, meski segera ia hapus, khawatir orang lain menangkap sesuatu yang tidak seharusnya.
Ia bahkan tidak sempat merapikan riasan wajah atau pakaiannya dengan benar. Alejandro terlalu pandai membuatnya lupa waktu, tenggelam dalam kemesraan. Namun semua itu kini hanya bisa ia simpan sebagai kenangan manis dalam hati, karena permainan berbahaya ini menuntut kerahasiaan sempurna. Alejandro keluar bandara lewat pintu lain, sementara Natalia berjalan tenang menuju pintu kedatangan di mana para asisten Victor telah menunggunya. Tidak seorang pun melihat lelaki itu, seolah ia hanyalah bayangan yang tidak pernah ada.
Skenario ini semua sudah diatur dengan rapi oleh Victor. Dialah dalang yang merancang setiap langkah, memastikan rahasia tetap tersembunyi. Sejak kepulangan dari pantai, Natalia belum bertemu Alejandro lagi. Entah di mana lelaki itu sekarang, dan rasa rindu mulai menggeliat pelan dalam dirinya.
“Camila, siapa yang akan mengawal kita?” tanyanya sambil memakai gaun yang sudah disiapkan untuknya.
“Marco, Nyonya.”
“Usahakan jangan terlalu banyak orang.”
“Baik.”
Selesai berdandan, Natalia melangkah anggun keluar kamar. Camila mengikuti dari belakang, sementara Marco dan dua pengawal lain yang juga merangkap sopir sudah berdiri siap menunggu di depan. Kehadiran mereka memberi kesan aman, meski Natalia tahu, keamanan sejati bukan hanya soal tubuh yang terlindungi, melainkan juga rahasia yang ia sembunyikan rapat-rapat.
Kali ini, tidak ada Alejandro di sisinya. Perjalanan itu terasa berbeda, lebih sepi tanpa tatapan lelaki muda itu yang biasanya selalu waspada. Natalia bertanya-tanya dalam hati, apakah kelak Alejandro akan kembali menjadi pengawalnya, atau justru menghilang selamanya dari kehidupannya.