bc

Sang Pengawal Terlarang

book_age18+
3
IKUTI
1K
BACA
love-triangle
HE
heir/heiress
bxg
brilliant
affair
friends with benefits
bodyguard
like
intro-logo
Uraian

Bagi Natalia, pernikahan dengan Victor adalah awal kebahagiaan. Namun, di balik senyum suaminya yang penuh ambisi, tersembunyi sebuah permintaan gila: ia harus memiliki anak… dari pria lain.

Alejandro, pengawal keluarga yang sederhana namun penuh luka hidup, tiba-tiba dijadikan pion dalam permainan kotor itu. Natalia marah, menolak, namun keadaan memaksa jalan cerita berbelok.

Di tengah intrik politik, ambisi, dan rahasia yang membelit, Natalia dan Alejandro terjebak dalam ikatan yang tak seharusnya ada. Antara kesetiaan dan pengkhianatan, cinta dan pengorbanan, batas semakin kabur.

Mampukah Natalia mempertahankan harga dirinya, atau justru menemukan arti cinta sejati dalam pelukan yang tak pernah ia bayangkan?

chap-preview
Pratinjau gratis
Prolog
Alejandro menatap perempuan yang berdiri memunggunginya. Perempuan cantik, yang ia tahu sedang bersedih sekarang. Ia sendiri tidak berdaya, terpaku di tempatnya dan hanya bisa memandang tanpa berani berkata. Kamar tempat mereka menginap adalah sebuah resort besar dan indah di tepi pantai. Hamparan pasir putih dengan debur ombak adalah sesuatu yang sangat menakjubkan. Sayangnya, tidak ada yang menikmati pemandangan itu, saat dua orang yang sedang bersedih harus berbagi kamar yang sama. “Alejandro, kenapa kamu harus menerimanya?” ucap Natalia lirih. Alejandro menghela napas panjang. “Alasanku sama seperti Nyonya,” jawabnya kaku. Natalia memejam. “Kamu bukannya punya kekasih?” “Iya.” “Bagaimana perasaannya saat tahu kalau kamu—” Natalia tidak sanggup meneruskan perkataannya, suaranya tercekat dan hilang di ujung tenggorokan. Matanya berkaca-kaca mengingat sang papa yang kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tubuh renta itu semakin hari makin kehilangan tenaga. Beban di pundaknya kian berat—ia harus kuat, bukan hanya demi ayah yang sangat ia cintai, tetapi juga demi menjaga citra dan langkah politik suaminya yang tengah menanjak. Namun jauh di dalam hatinya, Natalia merasa seperti seekor kelinci yang sedang dikorbankan. Ia tak diberi ruang untuk memilih. Kehendaknya dipaksa tunduk pada tuntutan keadaan. Setiap keputusan bukan lagi miliknya, melainkan milik kepentingan orang lain. “Aku punya kekasih, Nyonya punya suami. Bukankah alasan kita berada di tempat ini sama-sama terpaksa? Tidak ada dari kita yang mengharapkan ini.” Dengan gerakan perlahan, seolah waktu enggan bergerak, Natalia membalikkan tubuhnya dan menatap pemuda di hadapannya—Alejandro, wajahnya tampan bak pahatan dewa muda, mata seteduh senja yang menatap laut. Ia lebih muda, namun sorot matanya menyimpan kedewasaan yang memilukan. Tak pernah, bahkan dalam mimpi paling liar, Natalia membayangkan dirinya akan berdiri di dalam kamar sebesar ini, sunyi dan mewah, bersama pria lain, membicarakan sesuatu yang seharusnya sakral—menyerahkan tubuh, bukan untuk cinta, tapi untuk pengorbanan. Ini bukan keinginan hatinya. Semua bermula dari ide gila suaminya—sebuah skenario muram yang lebih pantas untuk pentas sandiwara tragis. Natalia, perempuan yang dulunya punya pilihan, kini hanyalah pion dalam permainan kekuasaan. Ia tak mampu melawan. Maka ia menerima, seperti Alejandro yang diam-diam menelan getir. Keduanya dipaksa bersandiwara atas nama loyalitas, terjerat dalam skema cinta yang telah lama kehilangan nyawa. Natalia mendekat, menatap Alejandro lekat-lekat. “Apa yang kita lakukan ini. tanpa cinta,” ucapnya parau. Alejandro mengangguk. “Iya, tanpa cinta.” “Tidak boleh melibatkan perasaan apa pun, murni karena tugas.” “Iya, setuju Nyonya.” Natalia menelan ludah, terasa getir di tenggorokan, lalu memejamkan mata sejenak—seolah dengan menutup dunia, ia bisa melupakan kenyataan yang kini menelanjanginya perlahan. Jemarinya yang gemetar seperti ranting musim gugur menyentuh kancing-kancing kecil di gaunnya, dan satu per satu mereka menyerah, membuka rahasia di balik kain lembut itu. Kulitnya yang seputih pualam berpendar di bawah cahaya remang. Namun langkahnya terhenti di tengah, seolah ada dinding tak terlihat yang membekukan nyalinya. Tubuhnya terbuka, tapi jiwanya bersembunyi. Alejandro berdiri mematung, napasnya tersangkut di kerongkongan. Di hadapannya, Natalia tampak seperti lukisan yang tak pantas disentuh—terlarang, namun begitu memikat. Istri dari pria lain, namun di saat itu, ia tampak rapuh dan nyata, lebih perempuan dari siapa pun yang pernah ia temui. Bibirnya merah jambu, dadanya separuh tersingkap bagai kelopak bunga yang belum sepenuhnya mekar. Alejandro menarik napas panjang, dalam dan berat, lalu dengan ragu mengulurkan tangan, menyentuh tepian kain yang terbuka seperti menyentuh bayangan mimpi yang tak seharusnya menjadi nyata. “Nyonya, sebelum semua terlanjur terjadi, aku ingin meminta maaf lebih dulu.” Natalia mendongak, matanya menemukan mata Alejandro, dan mereka saling menatap dengan intens. Alejandro menguatkan perasaannya. “Maaf, kalau nanti menyakitimu. Aku pun terpaksa melakukan ini.” Natalia mengangguk, tenggorokannya tercekat. “Ya, aku mengerti. Kita sama-sama bidak catur, yang harus menjalankan perintah.” Alejandro menggeleng. “Salah, Nyonya. Kamu adalah ratu dan aku adalah prajurit konyol yang sedang berusaha melindungimu. Maafkan aku.” Alejandro mengangkat dagu Natalia dengan lembut, seolah menyentuh porselen rapuh yang bisa pecah sewaktu-waktu. Ia memiringkan kepala, ragu, seperti seorang pemuda di ambang dosa pertama, sebelum akhirnya bibirnya menyentuh bibir Natalia yang ranum, lembut seperti kelopak mawar di pagi buta. Ada kegugupan yang menusuk dadanya, padahal ia bukan asing dalam urusan mencium. Tapi ini berbeda—perempuan di depannya bukan sekadar tubuh, melainkan simbol dari sesuatu yang dilarang, megah, dan memabukkan. Sebuah paradoks antara keinginan dan rasa bersalah. Ciuman mereka berlanjut, perlahan namun penuh ketegangan, sementara debur ombak dari kejauhan mengalun seperti simfoni sunyi yang mengiringi pelanggaran suci. Natalia mengepalkan jemarinya, hatinya mencelos ketika Alejandro melucuti gaunnya, hingga kain itu menyerah pada lantai. Ia menyilangkan tangan, menutupi dadanya, wajahnya merah seperti senja yang malu-malu. Saat itu, ia tampak seperti gadis belia yang belum mengenal luka dunia. Alejandro, seolah mengerti kegugupannya, memutar tubuh Natalia dan memeluknya dari belakang—hangat, erat, namun tetap asing. “Jangan melihatku, kalau itu membuatmu tidak nyaman,” bisik Alejandro sambil mengecup leher, bahu, dan bagian belakang telinga Natalia. Segalanya butuh permulaan, dan dalam sunyi yang tegang itu, Alejandro-lah yang lebih dulu membuka jalan ke dalam labirin keintiman. Saat kait bra terlepas, Natalia mendesah pelan—napasnya terengah dalam kegugupan yang tak mampu ia sembunyikan. Jemari Alejandro, kokoh namun gemetar, menyentuh dadanya seperti angin malam menyapu kelopak bunga yang baru mekar. Ada rasa aneh yang berputar di dalam dirinya—antara geli, gentar, dan geletar yang tak bisa ia tolak. Natalia mencoba mengusir rasa jijik pada bayangannya sendiri, mencoba menyesap kenikmatan dari sesuatu yang masih asing. Canggung, ya, namun tubuhnya mulai menyerah pada alunan yang tak ia mengerti. Bibirnya mendesah tanpa sadar, sementara tangan Alejandro perlahan turun, ragu sejenak di atas perut, sebelum akhirnya menyelusup, membelai dengan hati-hati seperti menyentuh rahasia yang lama tersembunyi. Desahan Natalia menjelma menjadi melodi malam, menggema di ruang sepi yang dipenuhi gairah. Alejandro membalik tubuhnya dengan kelembutan yang bertolak belakang dengan hasrat menggebu di matanya, lalu mengangkatnya seolah Natalia serupa kelopak rapuh yang harus ditata di ranjang. Kain tipis yang menempel pada kulitnya meluruh satu per satu, menyisakan rasa malu yang bercampur dengan kepasrahan. Ketika ia menanggalkan penutup dirinya sendiri, Natalia sempat terperangah, matanya membelalak pada bukti kelelakian yang menegang tanpa ragu. Alejandro hanya tersenyum samar, seakan bangga pada reaksi itu. Ia tahu, tubuh laki-laki memang mudah menyala—cukup percikan kecil berupa ciuman, apalagi api besar bernama cumbuan. Alejandro mengusap lembut area intim Natalia, dan juga d**a yang menegang. Ia mendesah, berbisik Iembut, “Santai, Nyonya. Kalau tidak santai, akan terasa sakit.” Natalia menggeleng pelan, hatinya berdesir dalam kebimbangan yang mencekik. Bagaimana mungkin ia diminta santai, ketika kenyataan yang membungkusnya begitu asing? Lelaki yang kini berdiri telanjang di hadapannya bukanlah suami, melainkan orang lain yang dengan paksa menghadirkan dosa. Ia tahu, tidak akan pernah ada cara untuk menjadikan malam ini terasa wajar. Alejandro, dengan jemari yang terasa hangat, merasakan bukti kesiapan yang rapuh dari tubuh Natalia. Ia membuka pahanya, mencipta ruang di antara mereka. Bibirnya menunduk, melumat dengan lembut, seolah ingin meredakan ketegangan. Natalia, meski ragu, membiarkan tangannya melingkari tubuh lelaki itu, setengah pasrah, setengah terjerat. Saat Alejandro mendorong diri perlahan, Natalia memberi perlawanan. Pertahanan itu membuat setiap gerak menjadi perjuangan, seakan tubuhnya menolak, meski hatinya tak kuasa menolak godaan. Alejandro menahan diri, memilih kelembutan di tengah hasrat yang membara, berusaha menembus dinding ketakutan tanpa merobek jiwa rapuh yang bergetar di pelukannya. “Nyonya, santai,” bisiknya. Bibirnya menunduk, mengisap puncak ranum di d**a Natalia yang tegang bagaikan kuncup bunga merekah dalam dekapannya. “Aku, gugup.” Natalia menengadahkan kepalanya, tenggelam dalam pusaran cumbuan Alejandro yang membakar. Ketegangan yang semula melingkari pahanya perlahan meluruh, digantikan kelembutan pasrah yang tak terelakkan. Ia bersiap menyambut sepenuhnya kehadiran lelaki itu dalam dirinya, meski seketika rasa perih menyalak, menusuk di antara desah dan bisu. Tubuhnya bergetar, matanya terpejam, menahan gelombang yang datang berlawanan—antara sakit dan kenikmatan yang samar. Natalia terbelalak, Alejandro pun terdiam sesaat. Lelaki itu memilih diam, hanya memeluknya erat, menenggelamkan dirinya lebih dalam seakan ingin menegaskan kepemilikan. Ruang dipenuhi tarikan napas yang terputus-putus, erangan tertahan, dan peluh yang jatuh bercampur di antara kulit. Alejandro mengusir keraguan dari pikirannya, larut dalam penemuan yang mengejutkan: betapa tubuh Natalia begitu manis untuk ditaklukkan. Geramnya pecah dalam erangan berat, gerakan Alejandro semakin cepat, liar, nyaris kehilangan kendali. Ia ingin merengkuh Natalia sepenuhnya, menutup segala celah penolakan. Dan ketika puncak kenikmatan itu datang, ia terkulai di atas tubuh lembut Natalia, terdiam sambil mendekapnya erat—seolah enggan melepaskan, seolah ingin menahan selamanya detik rapuh yang telah mereka cemari bersama.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
229.5K
bc

My Secret Little Wife

read
127.8K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
14.9K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
154.2K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
179.9K
bc

Ibu Susu Anak Dosen Duda

read
4.2K
bc

Diam-diam Suami Temanku Menyimpan Rasa

read
1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook