Penduduk kota tahu, kalau pasangan paling diidamkan adalah Gubernur dan istrinya. Mereka sepasang suami istri yang terlihat sangat harmonis, mesra, dan saling mencintai satu sama lain. Sang istri yang jelita, dengan suaminya yang gagah rupawan. Sudah menikah selama empat tahun, dan selama itu pula tidak pernah ada masalah. Kalau ada pemilihan pasangan ideal, maka keduanya akan terpilih.
Para orang tua selalu mengatakan pada anak-anak mereka yang akan menikah, untuk mencontoh sikap dan sifat Gubernur yang penuh kasih sayang saat memperlakukan istrinya. Pasangan yang sudah menikah, saat bertengkar akan saling mengingatkan pasangannya untuk selalu sabar dan pengertian, seperti istri gubernur. Nyaris tidak ada cela pada pasangan itu, kecuali tentu saja satu, anak.
Gubernur dan istrinya belum punya anak, meski sudah empat tahun menikah. Satu-satunya cacat yang membuat resah. Bagaimana tidak, setiap kali berada di dalam suatu pertemuan, berkumpul dengan para pejabat dan wawancara dengan reporter, hal yang ditanyakan selalu sama. Kapan mereka akan punya anak. Seolah-olah, anak adalah hal terpenting dalam pernikahan. Tidak punya anak dianggap cacat dalam pernikahan mereka.
Victor tidak peduli, yang terpenting adalah kebahagiaan istrinya. Ia selalu tersenyum santun pada setiap orang yang bertanya soal itu. Masalahnya satu tahun lagi masa jabatan sebagai gubernur selesai, ia akan mencalonkan diri sebagai menteri dan para penasehat politiknya mengatakan, masalah anak akan menjadi ganjalan.
“Saingan Anda, Tuan Adolf, dikenal sebagai ayah dari tiga anak. Sukses keluarga, sukses juga berpolitik.”
Victor menghela napas panjang, menatap dua orang tim kampanye di depannya. Mereka ada Tim, laki-laki kurus berkacamata, dan Tom, kembarannya, yang justru berbadan subur. Yang baru saja mengeluarkan pendapat adalah Tim dan Tom memberi anggukan setuju yang muram.
“Selalu anak yang mereka masalahkan, berengsek!” Victor memukul meja. “Aku dan istriku sudah menikah empat tahun, memangnya kenapa kalau tidak punya anak? Bukan jaminan kalau punya anak akan bahagia, bukan?”
Tom menghela napas panjang. “Kami mengerti, tapi tidak mereka. Tuan Adolf bahkan menggunakan kesempatan ini untuk menyerang Anda!”
“Lalu aku bagaimana? Memungut anak di tempat sampah, hah! Itu yang kalian inginkan?”
Suara Victor menggelegar di ruangan rapat. Selain mereka bertiga, staf lainnya menunggu di luar. Victor sengaja mengajak bicara tim kampanye karena melihat perolehan suaranya makin turun. Ia dibuat tidak percaya, di jaman canggih seperti sekarang, orang-orang masih dibuat bodoh hanya perkara anak.
“Saat aku ingin mencalonkan gubernur, mereka mendesakku menikah. Sekarang, meminta anak. Bagaimana bisa kehidupan pribadiku dipengaruhi oleh masyarakat umum!”
Tim tersenyum kecil. “Pak, Anda adalah pejabat publik, jadi wajar kalau mereka merasa bisa mengatur kehidupan pimpinannya.”
Keheningan menjerat Victor, membuat kepalanya berdenyut seakan dihantam beban yang tak kasatmata. Pikiran tentang anak, pernikahan, dan kehidupan rumah tangga seolah tak pernah lagi menjadi ranah pribadi; semuanya terbuka, dipantau, diperdebatkan oleh mata masyarakat luas. Ia bertanya pada dirinya sendiri—apa yang harus ia lakukan sekarang, ketika setiap langkahnya seakan dikurung dalam panggung politik yang kejam?
Semalam, telepon dari Sebastian masih bergema di telinganya. Mertuanya bertanya dengan nada penuh tuntutan tentang jajak pendapat yang kini menurunkan namanya ke posisi kedua, setelah sebelumnya selalu berada di puncak. Tuduhan dilontarkan tanpa ragu—bahwa semua ini salahnya, bahwa ia gagal memuaskan publik. Padahal Victor tahu, rumah tangga bukan panggung satu orang. Ada Natalia di sana, ada dirinya, dua jiwa yang seharusnya saling menanggung, namun justru dijadikan bahan ukur ambisi orang lain.
Keheningan menjerat Victor, membuat kepalanya berdenyut seakan dihantam beban yang tak kasatmata. Pikiran tentang anak, pernikahan, dan kehidupan rumah tangga seolah tak pernah lagi menjadi ranah pribadi; semuanya terbuka, dipantau, diperdebatkan oleh mata masyarakat luas. Ia bertanya pada dirinya sendiri—apa yang harus ia lakukan sekarang, ketika setiap langkahnya seakan dikurung dalam panggung politik yang kejam?
Semalam, telepon dari Sebastian masih bergema di telinganya. Mertuanya bertanya dengan nada penuh tuntutan tentang jajak pendapat yang kini menurunkan namanya ke posisi kedua, setelah sebelumnya selalu berada di puncak. Tuduhan dilontarkan tanpa ragu—bahwa semua ini salahnya, bahwa ia gagal memuaskan publik. Padahal Victor tahu, rumah tangga bukan panggung satu orang. Ada Natalia di sana, ada dirinya, dua jiwa yang seharusnya saling menanggung, namun justru dijadikan bahan ukur ambisi orang lain.
“Anakku sebenarnya belum ingin menikah, tapi saat itu pernikahan harus dilakukan demi jabatanmu. Kamu ingat bagaimana kita berdua membujuknya, bukan? Sekarang soal anak, kenapa sebagai suami kamu nggak bisa bujuk Natalia?”
“Pa, masalahnya bukan itu. Tapi—”
“Kalian berdua ada yang mandul?”
“Tentu saja tidak. Papa tahu kami sering konsultasi ke dokter.”
“Kalau gitu, apaa? Ingat, Victor. Jangan sampai semua jerih payahku untuk membawamu seperti sekarang, hancur begitu saja.”
“Pa, tenang saja. Kami akan atasi masalah itu.”
“Kutunggu janjimu!”
Sialnya, Victor terikat pada janji yang ia ucapkan di hadapan mertuanya—janji tentang seorang anak, yang kini berubah menjadi jerat menyesakkan. Jika ia gagal menepati, badai masalah akan segera menimpanya. Satu demi satu rintangan bermunculan menjelang kampanye pemilihan wakil menteri, membuat langkahnya kian goyah. Meski publik mengenalnya sebagai pejabat muda yang berintegritas dan penuh wibawa, semua itu terasa hampa ketika citranya dibandingkan dengan rivalnya, Adolf.
Masyarakat tidak hanya menilai visi, program, atau sepak terjang politik; mereka menginginkan simbol keluarga yang stabil, rumah tangga yang tampak utuh dan subur. Victor tahu ia kalah telak dalam hal itu. Tekanan demi tekanan menggerogoti pikirannya, membuat setiap malamnya resah. Memikirkan bagaimana cara memiliki anak dengan cepat menjadi obsesi yang melelahkan, sebuah dilema yang mengguncang harga dirinya sekaligus masa depannya.
“Tim, panggil satu reporter berita unggulan. Adakan wawancara special. Live bila perlu, sekarang!”
***
Keriuhan aula terdengar sampai keluar. Aula dipenuhi para perempuan dan anak-anak dengan pakaian putih mereka. Sedang ada pameran lukisan hasil kreasi anak-anak, dan juga beberapa lomba. Semua peserta terdiri dari para perempuan dan anak mereka.
Sesekali terdengar suara tawa, disusul tepuk tangan meriah. Mereka semua antusias saat istri gubernur, Natalia, muncul dari kerumunan untuk membuka pameran. Di samping Natalia, selain ada Camila juga seorang bodyguard untuk menjaga. Sebenarnya ada lebih dari lima bodyguard, karena tidak ingin menakuti para peserta, yang lainnya berjaga di ruang samping.
“Saya harap, pameran ini bisa menampung bakat-bakat muda. Seni Lukis, adalah salah satu penyembuh dari jiwa yang luka. Anak-anak yang suka melukis, akan punya emosi yang kuat, kepekaan terhadap lingkungan, dan berkasih sayang.”
Natalia mengakhiri sambutannya dan tepuk tangan kembali membahana. Para peserta yang rata-rata anak berumur tujuh sampai dua belas tahun. berdiri dengan peralatan mereka. Saat Natalia memberikan tanda kalau perlombaan dimulai, mereka duduk di tempat masing-masing.
“Nyonya, Anda membuka jalannya acara dengan sangat baik.”
Sekretaris dan staf gubernur, seorang perempuan berumur 35 tahun dengan rambut dicepol, menghampiri Natalia. Istri sang gubernur sedang mendengarkan cerita dari para panitia lomba.
“Camila, apa jadwal kita selanjutnya?” tanya Natalia.
“Kembali ke kantor gubernur, suami Anda menunggu di sana.”
“Oh, baiklah.”
Natalia merapikan gaunnya sebelum melangkah pergi, namun langkahnya tertahan ketika beberapa perempuan dan anak-anak mendekat dengan mata berbinar. Mereka meminta sekadar swafoto, sebuah kenang-kenangan kecil yang begitu berarti bagi mereka. Natalia menyambut dengan senyum hangat, membungkuk ramah, dan membiarkan dirinya dikerumuni tanpa sedikit pun keluhan.
Baginya, menjadi istri seorang gubernur bukan sekadar gelar, melainkan amanah yang mesti dijalani dengan sepenuh hati. Ia sadar, masyarakat menaruh harapan pada sosoknya. Bahkan ketika menemui orang-orang yang kerap menjengkelkan, Natalia tetap menghadapi mereka dengan sabar. Sebab di matanya, setiap warga berhak mendapat perhatian dan pelayanan terbaik.
“Nyonya, sepertinya kita akan kesulitan keluar dari aula.” Camila datang dengan wajah cemas.
Natalia menatap sekretarisnya. “Kenapa? Ada apa?”
“Banyak sekali reporter berkerumun di depan, Nyonya.”
“Bukannya itu sudah biasa?”
Camila mengangguk muram. “Jauh lebih banyak dari biasanya, bisa tiga kali lipat.”
Natalia tercengang, tidak mengerti apa yang terjadi dan kenapa para reporter memburunya. Ia menatap Camila dengan gugup.
“Ada masalah apa sebenarnya.” Natalia menatap bodyguard di sampingnya. “Paul, bagaimana ini?”
Bodyguard bernama Paul mengangguk singkat, lalu melakukan panggilan lewat headset, dan tak lama empat yang lain berdatangan dengan seragam hitam mereka.
“Kita amankan, Nyonya dari sini. Sebisa mungkin jangan melukai mereka.” Paul menunjuk bodyguard termuda. “Alejandro, tugas utamamu adalah membawa Nyonya secepat mungkin dari sini. Kami akan menghalangi para reporter.” Alejandro, pemuda tampan dengan rambut cepak, mengangguk hormat. Marco menatap anak buahnya lalu memberi komando. “Kita bergerak, sekarang!”
Mereka membentuk pagar manusia untuk menggiring Natalia keluar.