Seperti yang dikatakan Camila, ada banyak sekali reporter menunggu. Semuanya berdesak untuk bicara dengan Natalia. Mereka seperti lebah yang mengerumuni bunga. Berteriak satu sama lain, dan sangat bising.
“Nyonya, bagaimana pendapat Anda tentang keputusan Pak Gubernur.”
“Nyonya, apa benar yang dikatakan Pak Gubernur?”
“Nyonya, beri kami sepatah dua patah kata.”
Banyak lagi pertanyaan yang membuat Natalia kalut. Ia berusaha menerobos kerumunan dengan salah satu bodyguard mengapit tangannya. Para reporter itu sangat gigih, terus mendesak dan tidak memberikan kesempatan pada Natalia untuk pergi. Ia tidak mengerti apa yang terjadi, kenapa para reporter menggila. Apakah suaminya melakukan sesuatu yang tidak diketahuinya?
Tiba di tempat parkir, Marco memberi tanda pada anak buahnya untuk mendorong para reporter pergi, sedangkan Natalia merasa tangannya ditarik. Pintu mobil terbuka, Natalia masuk dengan Alejandro berada di balik kemudi. Laki-laki itu menyalakan mesin dan mobil melaju meninggalkan Marco yang masih menghalau para reporter. Natalia bernapas lega, menarik tisu dari kotak dan membasuh peluh. Tubuhnya masih gemetar.
“Anda tidak apa-apa, Nyonya?”
Natalia sedikit kaget mendengar suara Alejandro. Pemuda itu memang sering mengawalnya, tapi tidak pernah mendengar suaranya secara langsung. Tadinya ia pikir suaranya akan jernih dan nyaring. Ternyata berat dan dalam.
“Namamu Alejandro kalau nggak salah.”
Alejandro mengangguk. “Iya, Nyonya.”
“Bawa aku ke kantor suamiku.”
“Baik.”
Keheningan menyesaki ruang kabin, hanya suara mesin dan deru kendaraan lain yang mengisi jeda. Jalanan padat membuat laju mobil terhambat, sementara dari kaca spion Alejandro menangkap bayangan dua mobil yang terus menempel di belakang mereka. Ia tahu persis siapa penumpangnya—Marco, Camila, dan beberapa orang kepercayaan lain yang ditugaskan mengawal. Tatapannya lalu beralih pada sosok di sampingnya, sang nyonya yang bersandar dengan mata terpejam, seolah berusaha menenangkan diri di tengah hiruk-pikuk yang baru saja mereka lewati.
Natalia tampak letih, meski wajahnya tetap menyimpan keanggunan seorang perempuan terpandang. Alejandro bisa menduga, keterkejutan masih menyelimuti benaknya. Biasanya, hanya segelintir reporter yang mengikuti langkah mereka—sepuluh orang paling banyak. Namun kali ini, jumlahnya melonjak hingga tiga puluh bahkan empat puluh, bak gelombang massa yang siap menelan privasi mereka kapan saja.
Natalia membuka mata, menoleh pada Alejandro. “Kalian tahu apa yang terjadi? Mendadak semua reporter datang?”
Alejandro menggeleng. “Tidak, Nyonya.”
“Mungkinkah ada peristiwa penting yang terjadi hari ini?”
Alejandro hanya menatap lurus ke depan, membiarkan pertanyaan Natalia menggantung di udara tanpa jawaban. Bukan karena enggan, melainkan karena ia sendiri tidak tahu apa yang tengah berlangsung. Marco, sang komandan, pun bungkam. Diamnya terasa berat, seakan menyembunyikan sesuatu yang tak ingin diungkap. Alejandro mulai menduga ada hal genting yang terjadi pada Pak Gubernur, namun semua itu masih sebatas prasangka. Keheningan dalam kendaraan menjelma atmosfer ganjil—bukan sekadar sunyi, melainkan hampa yang penuh tanda tanya.
Natalia, yang tak betah dengan kesunyian itu, menyalakan radio dengan harapan menemukan kabar. Namun yang terdengar hanya deretan lagu cinta, mengalun manis seolah dunia sedang baik-baik saja. Lalu lintas yang macet, hiruk-pikuk di luar, dan ketegangan di dalam mobil, seakan ditutup oleh lirik-lirik romantis yang menertawakan keresahan mereka. Sepuluh menit berlalu, jarinya sibuk memutar gelombang, namun sia-sia. Akhirnya ia menyerah, menatap keluar jendela, mencoba berdamai dengan kebisuan yang mencekik.
“Radio bodoh!” makinya perlahan.
Natalia masih tercengang oleh kata-katanya sendiri, bahkan gaung makiannya seakan terus berputar di telinganya. Ia jarang sekali kehilangan kendali, terlebih di depan orang lain. Tatapannya bertemu dengan Alejandro, yang ternyata sama terkejutnya, meski raut wajahnya tetap dingin. Sekilas Natalia hampir saja meminta maaf, namun ia cepat-cepat menelan kembali niat itu. Tidak ada yang salah dengan meluapkan emosi. Justru ia merasa aneh dengan sorot Alejandro yang menatapnya lekat, tajam bagai elang yang mengawasi mangsa. Tatapan itu membuatnya gusar, seolah dirinya telanjang di hadapannya.
Saat mobil mereka memasuki halaman kantor gubernur, Natalia mendapati kerumunan reporter sudah menunggu. Kilatan kamera, mikrofon, dan suara gaduh seakan siap menelan siapa pun yang keluar dari mobil itu. Ponsel Alejandro berdering, Marco menelepon, menyarankan mereka menggunakan pintu belakang agar terhindar dari kepungan media. Alejandro menurut, memutar setir, lalu melaju ke arah gerbang kecil yang dijaga ketat. Di sana ia sempat berhenti, menunjukkan identitas sebelum kendaraan kembali melesat cepat.
Mobil akhirnya berhenti di parkiran bawah tanah, tepat di depan pintu lift pribadi. Alejandro turun lebih dulu, gerakannya tegas dan penuh kendali. Ia memutari mobil, membuka pintu dengan sikap profesional yang tak menyisakan celah salah tingkah. Memberikan kunci kepada valet, ia kemudian berjalan di sisi Natalia, langkahnya mengikuti dengan setia, memastikan sang nyonya tiba di lift dengan aman, meski tatapannya tak pernah benar-benar lepas darinya.
“Mereka bahkan menunggu di pintu belakang.” gumam Natalia saat keduanya sudah di lift. “Ada apa sebenarnya?”
Alejandro mengedip, menatap perempuan cantik yang sedang resah di depannya. “Hanya Pak Gubernur yang bisa memberi penjelasan, Nyonya.”
“Aku tahu, semua hal pasti terlibat dengan suamiku. Apakah ini soal kampanye? Pemilihan masih satu tahun lagi, dan mereka sudah ribut!”
Alejandro tetap bungkam, karena bukan kapasitasnya untuk membuka suara. Ia hanya sempat melirik ponsel, memastikan tidak ada informasi baru yang bisa menjelaskan situasi. Apa pun yang terjadi, bukan dirinya yang berhak memberi penjelasan kepada Natalia; itu urusan sang suami. Tugasnya sederhana namun berat: memastikan perempuan itu aman, sekalipun ia sendiri tidak tahu apa yang sedang berlangsung.
Pintu lift terbuka, dan mereka melangkah ke lorong berlapis marmer yang berkilau. Suasana terasa terburu-buru, langkah-langkah Natalia tergesa, hingga tiba-tiba sepatu haknya menginjak bagian lantai yang licin, barangkali baru saja dipel. Dalam sekejap, keseimbangannya hilang. Jika bukan karena tangan Alejandro yang cepat menyambar pergelangannya, Natalia pasti sudah terjerembab, tubuhnya terguling memalukan di lantai dingin itu. Pegangan itu kuat, tegas, sekaligus membuat darahnya berdesir.
Natalia menegakkan tubuh, dadanya naik-turun menahan rasa malu bercampur syukur, sementara lengan halusnya masih berada dalam genggaman Alejandro. Sorot matanya sempat beralih sekilas, tapi belum sempat ia menarik tangannya, tiga sosok pria muncul dari ujung lorong. Mereka melangkah cepat ke arah mereka, wajah-wajah serius tanpa senyum. Natalia belum menyadari sepenuhnya, namun Alejandro sudah bersiaga, pandangannya mengeras seolah tubuhnya berubah menjadi perisai yang siap melindungi kapan saja.
“Terima kasih, Alejandro. Hampir saja jatuh.”
Alejandro melepaskan genggamannya. “Hati-hati, Nyonya. Lantai basah.”
“Iya, sepertinya petugas kebersihan lupa memberi tanda. Aku harus menegur mereka agar tidak teledor.”
Victor mengamati dari kejauhan, istrinya yang sedang bicara dengan bodyguard muda. Ia mengagumi kesigapan sang bodyguard yang melindungi Natalia dari bahaya. Tinggi, tampan, dan masih muda, dan juga sangat berdedikasi. Otaknya mendadak memikirkan sesuatu.
“Tim, siapa nama bodyguard yang bersama istriku itu?”
Tim mengikuti pandangan Gubernur. “Akan saya cari tahu, Pak.”
Victor mengangguk, tersenyum cerah dan menyapa istrinya. “Sayang, apa kamu baik-baik saja?”
Natalia mengalihkan pandangan dari Alejandro ke arah suaminya dan menyipit tanpa senyum. “Apa yang kamu lakukan, suamiku, Sayang? Kenapa para reporter memburuku?”
“Ah, biar aku jelaskan. Ayo, ke kantorku dulu!”
Victor merangkul pundak istrinya dengan penuh kepemilikan, membawanya masuk ke ruang kerja yang tertutup rapat dari pandangan luar. Sementara itu, Alejandro tetap berdiri di lorong, tegap dan tak bergerak, seolah bagian dari dinding yang menjaga ketenangan ruangan itu. Sorot matanya waspada, telinganya peka terhadap setiap suara yang mungkin menandakan bahaya.
Tak lama kemudian, Tim menghampiri. Tubuhnya lebih pendek, sehingga setiap kali berbicara dengan Alejandro, ia harus sedikit mendongak. Ada rasa kikuk yang berusaha ia sembunyikan, karena sulit menjaga wibawa ketika berhadapan dengan sosok yang jauh lebih tinggi dan tegap. Meski begitu, Tim menegakkan bahu, memaksa dirinya bersikap tegas, walau dalam hati merasa kalah sebelum berucap.
“Siapa namamu?”
“Alejandro, Pak.”
“Komandanmu siapa?”
“Marco.”
Tim mengangguk, mencatat informasi di benaknya untuk diteruskan pada Victor. Ia tidak tahu apa rencana sang gubernur dengan bodyguard tampan di depannya. Dan bukan urusannya untuk tahu.
Natalia meletakkan tas di meja. menatap suaminya tajam. “Cepat katakan, ada apa? Kenapa mereka memburuku seperti burung pemangsa bangkai?”
Victor tersenyum. “Duduklah, Sayang. Kita bicara.”
Natalia menghela napas panjang, lalu duduk di depan suaminya. “Oke, aku sudah duduk. Cepat katakan.”
“Aku tidak mengatakan sesuatu yang penting tentang kampanye atau politik. Hanya mengatakan pada para reporter itu, kalau kita akan punya anak. “
Natalia melotot. “Tunggu, apa katamu?”
“Kita sedang program untuk punya anak.”
“Tapi, itu kan—”
“Tidak ada tapi-tapian Natalia. Biar aku memikirkan caranya. Yang terpenting adalah, kamu harus mengiyakan ucapanku, kepada semua orang yang bertanya. Kita sedang program punya anak, dan semoga saja berhasil dalam waktu dekat.”
Natalia terdiam, kebingungan membelenggu pikirannya. Ia tidak tahu harus merangkai kata seperti apa untuk menjawab keinginan suaminya. Permintaan itu begitu tiba-tiba, seakan menghapus seluruh rencana yang sebelumnya telah disusun dengan hati-hati. Bayangan tentang hidup yang ia pilih bersama Victor kini terasa diguncang, seperti bangunan rapuh yang sewaktu-waktu bisa runtuh.
Pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, apakah benar semua ini demi cinta, atau hanya demi politik? Ia menduga, dorongan Victor lebih besar berasal dari tuntutan jabatan, bukan dari kerinduan seorang pria pada anaknya sendiri. Natalia menggigit bibirnya, menahan getir yang menyeruak, menyadari dirinya mungkin hanya bagian dari strategi besar yang tak ia pahami sepenuhnya.