Alejandro memainkan pisau di tangan, menatap rekan sekerjanya yang sedang beristirahat. Saat ini Gubernur dan istrinya berada di tempat yang aman, untuk sementara tidak membutuhkan penjagaan. Ada dua orang yang sedang bertugas di atas, sedangkan yang lainnya mengambil waktu istirahat, Sebagian besar sedang makan siang.
Tiga belas bodyguard dikerahkan untuk menjaga keluarga gubernur, terbagi dalam dua komando. Tujuh orang khusus mengawal sang gubernur di setiap langkahnya, sementara sisanya memastikan istrinya selalu dalam lindungan. Alejandro kerap ditugaskan mendampingi sang gubernur, meski tak jarang pula menjaga Natalia. Komandan Toto memimpin tim gubernur, sedangkan Marco mengatur pengawalan untuk sang nyonya.
Dulu, pengawalan tak sebesar ini—hanya dua orang yang berdiri di sisi pemimpin daerah itu. Namun serangkaian ancaman, hingga perampokan di rumah dinas, memaksa mereka meningkatkan keamanan. Jam kerja para pengawal menyesuaikan aktivitas sang gubernur, tidur pun baru datang jika situasi dianggap aman. Bagi Alejandro, gaji yang ia terima sepadan dengan bahaya yang selalu mengintai.
“Hei, Man. Lihat ini!”
Marco, laki-laki berumur 56 tahun yang sudah pensiun dari ketentaraan, menunjukkan ponselnya pada Alejandro. “Anak gadisku, masuk bangku kuliah tahun ini. Cantik, bukan?”
Alejandro menatap gadis berumur delapan belas tahun dengan rambut sebahu. Tersenyum ke arah kamera. “Cantik,” pujinya tulus.
“Memang, dia kepergok pacaran kemarin dan aku mengomelinya. Memintanya untuk memilih pacaran atau kuliah.”
Alejandro menaikkan sebelah alis. “Aku rasa, ancaman seperti tidak mempan pada anak muda seperti mereka.”
Marco mengangguk muram. “Memang, padahal aku jelas-jelas memberikan contoh baik. Kalau dia sekolah tinggi, bisa seperti Nyonya Natalia. Keren, pintar, dan menikah dengan seorang gubernur. Apalagi yang kurang dari contohku?”
“Kamu ingin tahu apa yang kurang?”
Marco mengangguk serius.
“Latar belakang keluarga. Ingat, Nyonya Natalia adalah anak politikus terkenal.”
“Damn! Pantas saja anakku nggak mau dengar nasehatku!”
Alejandro mengulum senyum, bicara dengan Marco selalu mencerahkan hatinya. Laki-laki tua yang baik hati. Dari saat masih aktif sebagai anggota tentara, Marco sudah bekerja di tempat Gubernur. Sekarang, setelah tidak lagi berdinas, diangkat menjadi komandan.
Alejandro teringat dengan almarhum sang papa. Seorang pengusaha biasa, yang bekerja siang malam di bengkel mobil untuk menghidupi keluarga. Mamanya adalah kasir supermarket dan kehidupan mereka sehari-hari sangat sederhana. Sekarang, kedua orang tuanya sudah meninggal dan dari remaja ia diasuh orang tua angkat. Seorang ayah dan seorang ibu, yang membuka toko roti.
“Hei, Alejandro. Kamu punya klub sepak bola anak-anak. Ajak anakku untuk gabung!” Salah seorang bodyguard menyapa dari dekat pintu.
Alejandro melambaikan tangan. “Datang saja, latihan tiap Rabu dan Sabtu malam.”
“Bayar berapa?”
“Tidak ada tarif. Semampunya saja.”
“Okee.”
Isyarat halus dari Marco membuat semua pengawal segera bersiap. Dari arah tangga, Toto turun bersama anak buahnya, wajahnya berkeringat namun tenang. Pertukaran posisi terjadi cepat, hanya dengan anggukan dan sapaan singkat, seolah mereka terbiasa hidup dalam siklus kewaspadaan tanpa henti. Tak ada basa-basi, hanya disiplin yang melekat di setiap gerakan.
Alejandro berjongkok sejenak, menyelipkan pisau ramping ke dalam sepatu botnya. Jemarinya lalu meraba senjata api di pinggang, memastikan keamanan dan kesiapan pelatuk. Setelah yakin semuanya berada pada tempatnya, ia melangkah mengikuti Marco. Tubuhnya tegap, matanya awas, membawa aura dingin seorang penjaga bayangan yang selalu siap menghadapi bahaya kapan saja.
***
Natalia menepis tangan suaminya dari pundaknya, desah kesal lolos dari bibirnya. Jemarinya merapikan helai-helai rambut cokelat yang berantakan, seolah ingin menutupi kegelisahan yang membara di hatinya. Ia muak dengan cara Victor mengambil keputusan seakan-akan dirinya hanya pelengkap, bukan bagian dari rumah tangga yang sama-sama mereka jalani.
Bagaimana mungkin ia diminta berbicara soal bayi, sementara rahimnya bahkan belum terisi? Lebih ironis lagi, tubuhnya kini sedang dilanda PMS—perut kram, rasa lelah yang merayap, dan emosi yang mudah meledak. Semua itu membuatnya semakin jengkel. Natalia merasa Victor tak pernah benar-benar mengerti dirinya, apalagi mendengarkan.
“Natalia, Sayang. Kamu dengar penjelasanku dulu.”
Natalia menegakkan tubuh, menyipit ke arah Victor. “Penjelasan seperti apa? Kamu memintaku berbohong pada orang-orang kalau kita sedang program anak?”
Victor tersenyum. “lya, itu bukan kebohongan. Kita memang sedang mengusahakan!”
“Itu kebohongan, Victor! Kamu jelas tidak pernah mau kalau aku ingin punya anak. Kamu selalu berkilah tentang karir politik yang tidak stabil. Lalu, kenapa mendadak berubah pikiran? Bagaimana kalau sampai tahun depan aku nggak hamil?”
“Kita akan cari cara, Sayang. Entah bagaimana caranya, kamu akan hamil.”
Natalia menggeleng pelan, rasa tidak percaya menyelimuti dirinya. Bagaimana mungkin suaminya, seorang gubernur yang selalu menekankan integritas, tega berbohong hanya demi citra? Kini, akibat tindakannya, mereka justru menjadi incaran para reporter. Ia bukan tidak ingin memiliki anak—sejak awal pernikahan, harapan itu sudah tersimpan di hatinya. Namun, setiap kali ia mengungkapkan keinginan itu, Victor selalu menolak dengan beragam alasan yang terkesan logis, tapi dingin. Ada kalanya Victor menyebut kesibukan, ada kalanya alasan politik, seolah-olah kehadiran seorang anak hanya akan memperumit hidup mereka.
Padahal, desakan itu tidak hanya datang dari Natalia. Sang papa, berulang kali mengingatkan bahwa seorang anak bisa menjadi perekat keluarga, bahkan penopang stabilitas rumah tangga. Namun Victor tetap bergeming, seolah nasihat itu hanya angin lalu. Natalia semakin merasa terjebak, apalagi setiap kali melihat keluarga lain dengan anak-anak mereka, ada bagian kosong dalam dirinya yang tak bisa ia abaikan. Kehampaan itu menjadi luka yang terus menganga, meski ia berusaha menutupinya dengan senyum di hadapan publik.
Empat tahun telah berlalu sejak mereka mengucap janji suci, namun percakapan tentang anak tak pernah berhenti menghantui. Selalu berulang, selalu menjadi bahan perdebatan. Di hadapan orang lain, Natalia berkilah dirinya terlalu sibuk, seolah karier dan aktivitas menjadi penghalang. Padahal kenyataannya jauh lebih rumit. Ada banyak faktor yang tak diketahui orang lain, rahasia yang ia simpan rapat-rapat. Dan setiap kali topik itu muncul, Natalia merasa semakin jauh dari sosok suami yang dulu ia cintai dengan sepenuh hati.
“Perkataanmu tentang kehamilan sangat gegabah, Victor. Seharusnya kamu berdiskusi dulu denganku. Jadi aku bisa mempersiapkan mental serta jawaban saat ada yang bertanya. Tidak seperti hari ini, semua reporter menyerbu tanpa aku tahu duduk masalahnya. Aku istrimu, tapi justru aku yang tahu terakhir kali soal masalahmu.” Natalia berkata muram.
Victor menghela napas panjang, mendekati istrinya, dan berusaha menenangkan amarah Natalia. Meski begitu, hati kecilnya merasa heran dengan kemarahan sang istri. Bukannya ini hal kecil? Kenapa dibesar-besarkan?
“Dengar, Adolf siaian itu menyerangku soal keluarga yang tidak utuh tanpa anak. Karena itu, tindakan preventif segera dilakukan.”
Natalia mendengkus, akhirnya mengerti alasan sebenarnya. “Lihat, bukan? Semua yang kamu lakukan tentang politik. Sama sekali tidak ada pertimbangan tentang aku sama sekali. Padahal, aku istrimu.”
“Ayolah, Natalia. Ini nggak seburuk yang kamu sangka. Kamu hanya perlu tersenyum manis dan membenarkan semua ucapanku di hadapan reporter. Hanya itu sudah cukup!”
“Hanya ituu! Sebuah pernyataan yang diambil tanpa persetujuanku? Kamu bilang hanya itu? Victor, aku istrimu. Bukan pegawaimu! Camkan itu!”
Natalia mengambil tasnya, mengernyit saat merasakan perutnya kram. Ia membalikkan tubuh, tanpa berpamitan keluar dari kantor suaminya. Darahnya mendidih karena amarah. Keputusan suaminya yang tiba-tiba, membuatnya kesal. Seharusnya, mereka berunding lebih dulu, sebelum Victor membuat pernyataan. Pada akhirnya, semua hal yang terjadi menyulitkannya.
Natalia melihat Alejandro dan Marco melangkah bersamaan ke arahnya. Ia berdiri di depan Alejandro. “Kamu ikut aku. Yang lain, menyusul pakai kendaraan lain.”
Alejandro mengangguk singkat, langkahnya mantap saat mengikuti Natalia menuju lift. Begitu sampai di basement, ia kembali mengambil alih kemudi, sama seperti saat mereka berangkat. Natalia tidak memberi arahan apa pun, membuat Alejandro berasumsi bahwa mereka akan pulang. Ia sempat melirik ke arah sang nyonya yang duduk terpaku, wajah cantiknya diterpa cahaya lampu jalan, sorot matanya kosong menatap keluar jendela.
Keheningan di dalam mobil terasa menekan, seakan-akan udara pun ikut berat. Alejandro berinisiatif memutar radio, mencari alunan musik untuk mencairkan suasana. Namun, justru saluran berita yang tersambung, dan suara seorang penyiar perempuan menggema, membuat atmosfer dalam mobil berubah seketika.
“Hari ini Pak Gubernur memberikan pernyataan yang mengejutkan, kalau mereka sedang program bayi. Well, sebagai warga kota yang baik, kita doakan saja mereka berhasil. “
Suara penyiar itu ditimpali penyiar laki-laki. “Jangan bilang program bayi demi kampanye.”
“Kira harus optimis dan berpikiran baik. “
Dari tawa mereka yang terdengar nyaring dan penuh ejekan, Natalia tahu tidak ada yang berpikiran baik. Ia mematikan radio, menyandarkan kepala ke kursi dan meremas perutnya.
“Alejandro, kita ke supermarket sebentar.”
Tanpa bertanya lebih dulu, Alejandro memutar kemudi ke arah sebuah supermarket yang berdiri di pinggir jalan. Tempat itu terlihat sepi, jauh dari hiruk pikuk pusat kota. Hanya ada beberapa kendaraan yang terparkir, dan gedungnya tampak kusam, seolah lama tak mendapat sentuhan perawatan. Di sekitar area itu, berdiri pula bank kecil dan beberapa toko sederhana, namun suasananya sama lengang, nyaris tanpa aktivitas berarti.
Alejandro sempat berpikir, bagaimana bisnis di kawasan ini bisa bertahan. Supermarket dan deretan toko di sekitarnya seperti hidup segan mati tak mau, menunggu waktu untuk benar-benar gulung tikar. Ia memarkir mobil dengan hati-hati, matanya awas memperhatikan sekitar, tetap menjalankan naluri pengawalnya meski tempat itu tampak sunyi.