BAB 13

1327 Kata
Aneh, tapi nyata, itulah yang terus berputar di benak Natalia. Bagaimana mungkin seorang istri didorong oleh suaminya sendiri untuk bercinta dengan lelaki lain? Namun, itulah kenyataan yang harus ia jalani. Ada rasa malu yang menusuk, bercampur dengan kebingungan yang sulit ia uraikan. Natalia melangkah memasuki kamar hotel yang telah disiapkan dengan begitu rapi. Setiap detailnya bukan pilihan Alejandro, melainkan Victor—suaminya sendiri. Dialah yang menentukan segalanya: tempat, transportasi, bahkan waktu seminggu penuh agar Natalia dan Alejandro bisa bersama tanpa gangguan. Seolah-olah Natalia hanyalah pion dalam permainan besar yang disusun oleh pria itu. Meski begitu, saat matanya bertemu dengan Alejandro, perasaan asing mulai merambat. Laki-laki itu tidak tampak canggung, justru hangat, seakan ingin meruntuhkan tembok kaku di dalam dirinya. Natalia sadar, betapa pun anehnya situasi ini, seminggu ke depan akan menjadi babak baru yang tak pernah ia bayangkan dalam hidupnya. “Aku tahu, kamu pasti merasa aneh dan tidak nyaman. Itu wajar, karena kalian tidak ada perasaan. Selama beberapa hari di awal, cobalah untuk saling mengenal lebih dulu.” Itu yang dikatakan Victor padanya—bahwa semuanya akan terasa biasa saja, bahwa Alejandro hanyalah bagian dari rencana. Natalia sempat percaya, mungkin akan timbul kecanggungan, kebekuan yang tak tertembus, bahkan ia membayangkan dirinya tidak sanggup dan memilih pergi. Ia sempat menyiapkan alasan, mencari jalan keluar bila tubuhnya menolak. Namun kenyataan yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Begitu mereka berdua masuk ke kamar, suasana berubah. Jemari Alejandro menyentuh kulitnya dengan lembut, seolah menyalakan api yang lama padam. Saat bibir mereka akhirnya bertaut, Natalia terperangkap dalam gelombang gairah yang tak terhindarkan. Semua keraguan lenyap, berganti dengan desir panas yang menyapu tubuhnya tanpa ampun. Natalia lupa segalanya: statusnya sebagai istri seorang pejabat publik, harga diri yang selama ini ia jaga rapat, bahkan martabat yang melekat pada namanya. Dalam dekapan Alejandro, ia hanya seorang perempuan yang haus akan kehangatan dan kepuasan. Ia menuruti hasratnya tanpa mampu melawan. Namun, di sela kenikmatan itu, rasa jijik menyelinap. Natalia benci pada dirinya sendiri, pada kelemahan yang begitu mudah terbakar api nafsu. Berulang kali ia mengingatkan diri bahwa dirinya seorang istri, namun semakin keras ia melawan, semakin dalam ia terjerat dalam pesona Alejandro. “Nyonya, kamu nggak apa-apa?” Alejandro mengetuk pintu dengan cemas. “Iya, aku baik-baik saja.” Natalia tersentak dari lamunan, mengguyur wajah dan tubuhnya sebelum memakai bikini. Ia ingin menikmati angin pantai, pasir, dan debur ombak. Saat melihatnya keluar dalam balutan bikin hitam, Alejandro bersiul. “Wow, sexy sekali.” Natalia tersenyum malu-malu. Orang sering mengatakan dirinya cantik dan anggun, tapi tidak ada yang mengatakan sexy. Pujian Alejandro membuatnya senang. “Benarkah?” “Tentu saja. Ayo, kita berenang.” Alejandro mengganti celana pendeknya dengan celana renang berwarna gelap. Saat ia keluar dari kamar, Natalia hampir kehilangan kata-kata. Tubuh tegap itu berdiri di hadapannya, otot-otot menonjol di lengan dan bahu, d**a bidang yang tampak berkilau terkena cahaya matahari, serta perut rata tanpa sedikit pun lemak. Untuk sesaat, Natalia hanya bisa menatap, menyadari betapa sempurnanya sosok laki-laki muda itu. Mereka berjalan beriringan menuju pantai. Vila yang mereka sewa memang istimewa, terletak di tepi pantai pribadi. Tidak ada orang luar yang bisa menginjakkan kaki ke sana tanpa izin, sebuah kenyamanan yang membuat Natalia merasa aman. Satu-satunya orang yang diperbolehkan masuk hanyalah pelayan vila yang bertugas. Selain itu, pantai itu benar-benar milik mereka berdua. Natalia lebih dulu masuk ke dalam air, membiarkan dinginnya laut memeluk tubuhnya. Alejandro, dengan penuh semangat, menerjang ombak kecil yang datang menyambut. Keduanya berenang di tepian, sesekali saling menyiram air, tertawa lepas seolah tidak ada rahasia dan beban yang membayangi. Natalia merasakan kebebasan yang lama ia rindukan. Mereka terus bermain hingga kulit mereka mulai kecokelatan, disinari cahaya matahari sore yang hangat. Saat itu, Natalia sadar—bersama Alejandro, ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa topeng, tanpa gengsi, hanya seorang perempuan yang tengah menikmati hidup. “Padahal, aku berniat renang malam. Tapi, sore-sore begini malah sudah basah kuyup.” Natalia duduk di pasir, di bawah pohon kelapa dengan Alejandro berada di sampingnya. “Tapi, sore begini sangat nyaman. Nggak panas dan nggak dingin.” Natalia mengangguk. “Memang, sudah lama aku nggak renang.” Alejandro meraih tangan Natalia dan mengecupnya. “Saya senang kalau Nyonya merasa bahagia. Tadinya saya berpikir, kalau kedatangan kita kemari akan sangat kaku dan membuat tidak nyaman.” Natalia menatap Alejandro lekat-lekat. “Apa kamu nggak nyaman sama aku?” tanyanya. Alejandro menggeleng. “Justru sebaliknya. Saya merasa sangat nyaman, dan bisa dibilang sangat kecanduan itu—s*x berdua.” Perkataan Alejandro membuat Natalia menunduk malu. “Nyonya, jangan marah,” ucap Alejandro. “Saya tahu diri kalau apa yang kita lakukan adalah tugas dan bagian dari pekerjaan. Tetap saja saya nggak bisa pungkiri kalau sangat menyenangkan.” Natalia tersenyum, menatap wajah Alejandro yang terbias matahari sore. “Jangan kuatir. Biarpun apa yang kita lakukan adalah pekerjaan, tapi aku juga merasa nyaman bersamamu.” Mata Alejandro terbelalak. “Be—benarkah?” “Iya, Alejandro.” Senang mendengar namanya disebut, Alejandro merengkuh Natalia dan mendudukan di atas pangkuannya. “Hei, apa-apaan ini? Dilihat orang.” “Nggak akan ada yang lihat. Ini pantai privat.” Alejandro melumat bibir Natalia dengan perlahan. Saat mendapati Natalia berada terlalu lama di kamar mandi, ia sempat kuatir. Ia takut kalau perempuan itu akan menangis dan pulang karena merasa tidak nyaman. Dugaannya tidak salah, Natalia memang menangis. Bisa dilihat dari matanya yang merah dan bengkak, tapi saat perempuan itu muncul dalam balutan bikini, kelegaan membanjirinya. Awalnya, ia menolak tawaran dari Victor karena tidak menyukai ide tentang bercinta dengan istri orang. Ia memang miskin, tapi bukan orang yang mudah melanggar norma-norma. Ia tidak punya banyak ekspektasi indah saat datang ke tempat ini bersama Natalia. Semua keraguannya sirna hanya karena satu sentuhan dan ciuman. Tubuh dan bibir Natalia meluluhlantakkan perasaannya. Dalam sekali sentak, tali bikini Natalia terlepas. Tidak mengindahkan protesnya, Alejandro meremas d**a, mengisap p****g, dan juga mencium apa pun yang disentuhnya. “Diegoo, ini di luar,” protes Natalia. “Nggak apa-apa, Nyonya. Kapan lagi bercinta di alam bebas.” Natalia memekik saat Alejandro menyatukan tubuh mereka. Ia bergerak di atas paha laki-laki itu, mendesah dengan sangat keras saat kejantanan Alejandro menghujam keras. Lagi dan lagi, ia dibuat tidak berdaya dan melupakan rasa malu karena Alejandro. Mereka bercinta di atas pasir, berselimut angin, dan juga sinar matahari. Sebuah percintaan liar yang tidak pernah dibayangkan akan dilakukan oleh Natalia. Selama satu minggu di pulau bersama Alejandro, suaminya menelepon setiap malam untuk bertanya tentang kabar mereka. Natalia hanya menjawab seadanya, tidak ingin Victor tahu kalau sejujurnya dirinya menikmati waktu bersama Alejandro. Begitu pula Alejandro, hanya menjawab apa yang dirasa perlu untuk dikatakan dan menyimpan sebagian besar pikirannya. Malah, ada beberapa kali panggilan Victor terlewatkan karena keduanya sibuk bercinta. Alejandro tidak pernah puas akan dahaganya terhadap tubuh Natalia, begitu pula sebaliknya. Padahal, sebelum pergi Victor sudah mengingatkannya satu hal. “Maskipun kalian bercinta, tapi Natalia adalah istriku. Jangan libatkan perasaan, Alejandro. Dilarang untuk menyukai istriku. Ingat, yang kalian lakukan hanya bagian dari pekerjaan.” Alejandro hanya mengingat sekilas peringatan Victor. Saat jemarinya menyentuh kulit Natalia, kala bibir mereka bertaut, dan tubuh mereka menyatu dalam hasrat, Alejandro sadar sedang bercinta dengan sepenuh hati dan perasaan. Ia menikmati tubuh Natalia, menyukai tawa dan bicara perempuan itu, dan bahkan sempat lupa kalau yang sedang diciumnya adalah istri orang. Di hari terakhir mereka bersama, keduanya bercinta dengan intens dan panas. Seolah esok tidak ada hari lain. Mereka melakukannya di semua tempat, dan mencoba semua gaya. Satu minggu berlalu dengan cepat. Natalia memeluk Alejandro terakhir kali di depan pintu saat hendak menuju ke airport. “Terima kasih untuk seminggu ini, Alejandro.” Alejandro mengusap bahu Natalia dengan lembut, mengangkat dagu, dan melayangkan ciuman mesra. “Terima kasih juga, Nyonya.” Keduanya saling pandang dan melangkah bergandengan menuju mobil yang sudah menunggu mereka. Rupanya, hasrat yang panas terlalu berat untuk ditahan. Dalam perjalanan pulang, saat transit di bandara keduanya tidak tahan untuk tidak saling menyentuh. Di toilet bandara, adalah tempat terakhir mereka bercinta sebelum kembali pada kenyataan yang sudah menunggu di depan mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN