Victor menatap kedua asistennya dalam hening yang menekan. Di meja kerja, lembar-lembar laporan dan grafik polling berserakan, memamerkan angka-angka yang sulit dibantah. Selama dua minggu terakhir, posisinya merosot tajam hingga terlempar ke peringkat kedua, dan jarak dengan pesaingnya semakin melebar. Setiap data baru yang dipaparkan hanya menambah sesak di dadanya, seakan menegaskan kegagalan yang tak mampu ia cegah.
Raut wajah Victor kian muram, matanya mengeras menatap angka-angka yang dingin dan tak berperasaan. Ia tahu, ini bukan sekadar penurunan sementara, melainkan sinyal bahwa kepercayaan publik mulai berpaling. Tekanan politik di luar dan gejolak rumah tangga di dalam membuat pikirannya berputar kacau. Untuk sesaat, ia hanya bisa terdiam, menimbang apakah dirinya masih sanggup bertahan dalam permainan yang penuh intrik ini.
“Angka yang kita dapat sangat bagus, saat Nyonya mendapatkan ancaman. Semua orang tertuju pada kita, merasa iba dan turut bersedih. Saat itu poin yang kita dapat nyaris 30 persen dan kini, turun menjadi 25 persen.” Tom mengakhiri ucapannya.
“Berapa poin Adolf?” tanya Victor dengan suara lemah.
“Lebih dari tiga puluh dua persen.” Tim yang menjawab. “Kampanye memang masih beberapa bulan lagi, tapi kita harus memikirkan strategi lain kalau ingin mengungguli AdoIf.”
Victor menghela napas panjang, menatap jendela yang hanya memantulkan udara panas siang itu. Di ruang kerjanya, tumpukan berkas dan laporan seakan menyesakkan d**a, sementara pembicaraan tentang kampanye, polling, hingga strategi politik terus memenuhi ruang pikirannya. Kepala Victor terasa berat, seolah hendak meledak karena tekanan yang tak kunjung reda. Namun, ia sudah membuat keputusan bulat: dirinya akan maju dalam pemilihan menteri, apa pun risikonya. Tidak ada jalan untuk mundur, tidak ada ruang untuk menyerah.
Ia sadar lawannya, Adolf, punya strategi yang cerdik. Dengan lihai, pria itu menampilkan citra keluarga harmonis: berkeliling ke berbagai tempat bersama istrinya yang ramah dan bertubuh subur, serta memamerkan anak-anak mereka di hadapan publik. Semua langkah itu berhasil merebut simpati masyarakat. Victor tahu ini bukan sekadar adu gagasan, melainkan pertarungan citra dan ketahanan mental. Ia harus menemukan cara agar dirinya tidak hanya terlihat kuat, tetapi juga layak dipercaya rakyat.
Citra Adolf sebagai ayah penuh kasih, suami setia, sekaligus kepala keluarga yang berhasil, membuatnya semakin dicintai publik. Victor tahu dirinya kalah jauh dalam hal itu. Apalagi, di saat karier politiknya tengah berada di ujung tanduk, rumah tangganya dengan Natalia justru semakin goyah. Perdebatan mereka yang tak kunjung selesai membuat Natalia benar-benar murka. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Natalia mengusirnya dari kamar tidur. Kini, Victor menempati kamar depan, dan setiap kali mencoba mendekat, ia hanya disambut keheningan yang membeku.
Di depan publik, Natalia masih mampu menampilkan senyum yang meyakinkan, seolah mereka pasangan bahagia. Namun begitu kembali ke rumah, wajahnya kembali dingin, sikapnya menjauh, dan jarak di antara mereka semakin nyata. Victor mengusap wajahnya dengan letih, merasa tak lagi tahu harus berbuat apa. Ia sangat menginginkan kursi menteri itu, tapi semakin sadar bahwa rintangan terbesar bukanlah lawan politiknya—melainkan keluarganya sendiri.
“Pak, mungkin bisa dicoba untuk bayi tabung?” Tim membuka suara setelah keheningan yang panjang. “Atau, mengangkat anak dari panti asuhan. Dengan begitu, merebut perhatian publik.”
Tom menggeleng mendengar pendapat suadara kembarnya. “Bukan ide bagus, Tim. Kita akan lebih diserang karena dianggap memanfaatkan bayi untuk kampanye. Kamu tahu, kan, Publik sangat sensitif kalau menyangkut anak-anak.”
“Kalau begitu bagaimana? Nggak mungkin juga membuat Nyonya hamil dalam waktu dekat.”
“Mungkin saja, kalau Pak Victor mengambil cuti dan pergi liburan bersama Nyonya.”
“Hah, kamu pikir itu mudah?”
“Bisa dicoba, setidaknya itu jalan terbaik untuk sekarang.” Victor memukul meja untuk menghentikan kedua asistennya yang sedang berdebat. Ia menatap mereka bergantian dan berkata marah.
“Aku membayar kalian bukan untuk berdebat, apalagi adu mulut. Cari solusi yang lain!”
Suara pintu diketuk mengalihkan perhatian mereka. Tom membuka pintu dan mendapati Alejandro berdiri di depannya.
“Ada apa? Kenapa mengganggu kami?” sentak Tom kesal.
Alejandro mengabaikannya, menatap lurus ke arah Victor. “Pak Gubernur, bisakah kita bicara berdua? Ada hal penting yang ingin saya sampaikan.”
Victor mengernyit. “Seberapa penting? Karena aku sangat sibuk sekarang. Bisa lain kali?”
Alejandro menggeleng. “Tolong, Pak. Ini tentang tawaran Anda.”
Victor terdiam, lalu tersenyum kecil. “Baiklah, Alejandro. Aku siap mendengarkan. Tom dan Tim, sebaiknya kalian keluar dan tinggalkan kami berdua.”
Tom menatap Alejandro dengan rasa tidak puas, matanya menyiratkan kecurigaan yang sulit ia sembunyikan. Namun, otoritas Victor terlalu besar untuk dilawan, sehingga ia memilih diam dan menahan kata-kata yang bergulir di lidahnya. Bersama saudaranya, Tim, ia keluar dari ruang kerja Victor dengan langkah berat. Keduanya tak bisa mengusir rasa heran yang terus menggelayuti pikiran: apa istimewanya seorang pengawal seperti Alejandro hingga diberi kesempatan berbicara empat mata dengan Victor?
Di lorong panjang yang sepi, Tom dan Tim saling bertukar pandang, sama-sama bergulat dengan tanda tanya besar. Tawaran apa sebenarnya yang dimaksud Victor kepada Alejandro? Apakah itu menyangkut sesuatu yang penting, atau bahkan rahasia besar yang seharusnya mereka ketahui? Rasa iri, penasaran, dan curiga bercampur, membuat keduanya sibuk menenun teori di kepala masing-masing. Untuk pertama kalinya, mereka merasa tersisih, seolah ada permainan yang tidak mereka diizinkan untuk ikut di dalamnya.
***
Natalia berdiri canggung di antara para perempuan bergaun indah yang tampak begitu luwes bercengkerama di ballroom. Lampu kristal berkilauan di atas kepala, sementara denting gelas dan tawa kecil mengisi udara malam itu. Acara amal yang digelar yayasan kemanusiaan tersebut menarik perhatian banyak kalangan penting, dan sebagai istri seorang tokoh politik, Natalia pun tak bisa menolak undangan. Ia menyerahkan salah satu tas koleksi kesayangannya untuk dilelang, meski hatinya sempat ragu.
Saat nama dan tasnya diumumkan, ruangan seakan menahan napas. Lelang berlangsung cepat, dan harga yang ditawarkan melonjak fantastis. Ketika akhirnya palu diketukkan, tepuk tangan riuh terdengar, membuat wajah Natalia memanas oleh sorot kagum dari banyak pasang mata. Ia menerima ucapan selamat dengan senyum sopan, meski dalam hatinya masih terasa getir. Di balik kilau apresiasi itu, Natalia sadar betul bahwa tas mewah hanyalah simbol; ia sendiri tetap merasa asing di tengah lingkaran perempuan yang tampak begitu percaya diri.
“Nyonya Gubernur, popularitasnya selalu paling depan di antara nyonya pejabat yang lain. Tidak heran kalau barangnya terjual dengan harga tinggi.”
“Sudah cantik, baik hati pula. Apa yang kurang dari Nyonya Natalia?”
“Tidak ada, tentu saja.”
Pujian mereka membuat Natalia merasa tidak enak hati. Ia menyumbang karena niat tulus untuk membantu, bukan untuk mengharapkan pujian. Seorang perempuan tua yang merupakan pemilik yayasan, mendatangi Natalia dan berkata dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih atas bantuannya, Nyonya. Saya yakin, anak-anak pasti senang menerima ketulusan Anda.”
“Bu, semua saya lakukan dengan rela,” jawab Natalia.
“Kami tahu, Nyonya. Maaf, tidak bisa membalas kebaikan Nyonya. Yang kami lakukan hanya satu, berdoa agar program kehamilan Nyonya dan Pak Gubernur berhasil. Kami tidak sabar menunggu bayi mungil kalian.”
Kata-kata salah seorang perempuan membuat ruangan seketika riuh dengan tepuk tangan dukungan. Senyum-senyum penuh harapan diarahkan padanya, seolah Natalia sedang menjadi simbol seorang calon ibu yang kuat dan tabah. Namun, jauh di dalam hati, ia justru merasa bersalah. Sorot mata penuh antusias itu terasa seperti beban, karena kenyataannya ia belum mampu memberikan apa yang selama ini mereka tunggu-tunggu: seorang anak.
Semua ini bermula dari pernyataan Victor di depan publik, sebuah kalimat yang dianggap wajar oleh banyak orang, namun kini berbalik menjadi tekanan besar bagi Natalia. Sejak itu, hampir setiap pertemuan sosial selalu berujung pada pertanyaan yang sama: kapan ia akan mengandung? Malam ini pun tidak berbeda. Natalia menegakkan tubuh, mencoba mempertahankan senyum yang ramah, meski hatinya seperti diremas. Ia tahu, semakin lama, luka ini hanya akan semakin dalam.
Camila datang dengan wajah kalut dan berbisik di telinganya. “Nyonya, papa Anda dirawat di rumah sakit.”
“Apaa?”
“Mari, Nyonya kita ke rumah sakit.”