"Lepas!"
"Lepasin!"
"Om Elang!"
Oh, Ava dimasukkan ke mobil. Yang lalu Elang mengitari kendaraannya, ikut masuk juga. Mengisi bagian kemudi.
"Pakai sabuk pengamanmu," tukas Elang.
No!
"Ini maksudnya apa, sih? Om nyulik aku? Buka pintunya! Aku masih ada per—" Damn.
Ava memejamkan mata. Kalingga Elang Danuarta tiba-tiba mencondong mendekat, tergerak merapat, yang Ava pikir akan memangsa bibirnya, tetapi ... tak terasa ada skinship di bibir.
Ava buka kelopak mata dengan perlahan, mengintip. Ternyata yang terjadi adalah adegan klise di mana sabuk pengaman Ava dipakaikan.
Ya Tuhan.
"Kan, Om sudah bilang. Om nggak akan membiarkan kamu bergerak sendirian."
Sebentar.
Kening Ava mengernyit. Menatap obsidian pekat milik sang paman. "Emangnya Om Elang tahu aku abis ngapain di hotel ini?"
Mobilnya mulai Elang lajukan. Sementara, Ava datang ke hotel tersebut memang menggunakan taksi online.
Sekarang sosok paman sekaligus bos baru Diamond Dreams itu terbungkam, tak dibiarkan bibirnya mengeluarkan getar suara sedikit pun. Tatapan Elang juga lurus ke jalanan.
"Om!" tegur Ava.
"Siapa yang nggak tahu kalau gelagatmu semencurigakan itu? Sudah pasti mau melakukan sesuatu terkait saudari tirimu, saya juga lihat Gita masuk ke hotel itu soalnya, sebelum kamu menyusul," jelas Elang. "Om ada di sana, Va."
Masih mengernyit kening apa. "Logikanya gimana, sih? Kan, Om Elang di bawah. Tahu apa soal aku yang di lantai atas?"
"Ada rekaman CCTV yang mudah Om akses secepat kamu meletakkan kamera pengintai di pot bunga. Sudah, jangan tanya kenapa atau bagaimana bisa. Poinnya sekarang, kamu butuh apa tinggal bilang sama Om. Gampang, kan?" Seraya menoleh kepada sang ponakan.
Ava mendengkuskan napasnya, lalu mengempas punggung ke sandaran jok.
Ada yang ingin Ava lisankan, tetapi lidahnya kelu. Ini soal kematian, kebangkitan, atau apalah itu yang mungkin saja benar ... Kalingga Elang Danuarta mengalami kejadian tidak masuk akal seperti dirinya.
Ava menatap ke luar jendela.
Lain dengan Elang, dia mencuri-curi pandang kepada Ava Aradhana.
Gadis dua puluh dua tahun itu ingin sekali Elang usap kepalanya.
***
"Makanlah," ucap Elang.
Perjalanan dari hotel itu berhenti di sebuah tempat makan.
Ya, restoran itu terletak di lantai atas sebuah gedung kaca, dengan jendela lebar yang menampilkan langit—menuju senja hari—dan lalu lintas kota di bawah sana.
Cahaya lembut matahari sore menimpa meja mereka, membuat gelas air berkilau, tetapi suasana hati Ava sama sekali tidak sebagus langit siang menjelang sore itu. Ada perasaan rumit di diri Ava yang berpadu kesal kepada pria di depannya.
Dengan seenak jidat membawa Ava ke tempat sekehendak Elang Danuarta.
So, Ava duduk tegak. Kedua tangannya bersedekap, lalu tatapannya menusuk tajam ke arah pria berahang tegas itu.
"Om tahu? Kehadiran Om Elang ini bikin beban pikiranku bertambah."
Elang meletakkan sendok supnya, menatap Ava tanpa berkedip, lalu Elang mengulas senyuman.
"Baguslah," katanya, seringan bulu.
What the ....
"Katanya semakin jadi beban pikiran maka akan semakin sering dipikirkan, semoga bisa menggusur posisi pacarmu."
Fuckk!
Bukan itu yang Ava maksud. Dia menghela napas pelan, lalu bersandar. Sama sekali belum menyentuh hidangan. Masih asyik menatap pria di depannya.
Yang jadi masalah, Ava tidak punya memori ingatan soal Elang di kehidupan lampau. Rasanya ... jauh. Kenapa di kehidupan yang ini jadi begitu dekat?
Satu sisi meyakini bila Elang bernasib sama dengannya, mengalami kematian dan lalu kehidupan kedua. Namun, untuk memercayai takdir sendiri saja Ava masih belum sepenuhnya.
Ini masih terlalu mustahil.
Di samping itu, kalau Ava memastikannya dengan tanya atau membahas ... bagaimana jika malah sosok Elang ini salah satu bagian pengkhianat seperti mereka?
Entah apa motifnya. Ava cuma jaga-jaga, telanjur dibuat trust issue.
But, Ava mulai meragu pada hasil pemikirannya sendiri tentang Elang. Lelaki itu terlalu memihak dan ... sampai bilang suka hingga cemburu.
Ah, tetapi ini juga aneh, sih. Plus, mencurigakan. Masa orang tiba-tiba naksir?
"Makanlah," seloroh Elang lagi. "Keburu dingin supnya."
Ava menghela napas panjang, tangannya menggenggam gelas, lalu dia teguk tanpa mengalihkan tatapan dari Elang.
Yang ada, Elang mencondongkan tubuh ke depan. Suaranya rendah, tetapi penuh tenaga.
"Sebaiknya jangan menatap Om seperti itu kalau nggak mau kamu yang berakhir jadi makanan."
A-apa dia bilang?
Elang kembali duduk dengan tenang, posisi semula. Dia menikmati hidangan, juga menikmati perubahan semu di pipi ponakannya.
Ada rona merah jambu yang samar-samar terpatri di sana.
Yeah ... sinar lembut matahari menimpa wajah Ava. Menyorot setiap garis emosinya, tetapi justru itulah yang membuat Elang semakin terpana. Ada api dalam diri gadis itu—api yang sekaligus ingin Elang padamkan dan dia biarkan menyala.
"m***m ...." Ava menggigit bibir. Suaranya melemah, tetapi masih tajam. Yang kemudian dia menyuap kuah sup, lalu nasi.
Elang tersenyum.
***
Pulang, Ava diantar hingga bawah lampu jalan yang tempo lalu itu.
Sampai di rumah, rupanya Gita sudah pulang lebih dulu.
Oh, Ava teringat obrolan terakhir dengan sang paman.
"Kalau gitu, kalau iya Om suka aku, coba tunjukkan dengan ambilkan kamera pengintai yang aku simpan di pot hotel. Serapi mungkin."
"Hanya itu? Mudah sekali cara pembuktiannya."
"Itu dulu, satu-satu."
"Oh, okay. I will do as you wish."
Dan Ava melanjutkan langkahnya ke kamar, melewati Gita yang berdiri bersedekap dengan sorot mata sulit dijabarkan.
Ava mengerti. Mungkin, isi kepala Gita tentang apa yang Ava bicarakan dengan Arsen di telepon.
Mungkin juga sudah bertanya-tanya ke papa soal siapa laki-laki yang Ava sebut 'saudara.'
Ava mencatat tanggal-tanggal penting, termasuk tanggal kematiannya. Karena itu adalah hari di mana Ava diracun.
Sebentar.
Ava cek ponsel. Masih belum ada kabar soal penyelidikan diam-diam dari kematian ibu.
Dan papa ... apakah mungkin terlibat?
Ava tercenung. Papa seolah tidak merasa kehilangan atau berduka. Saat itu, yang Ava ingat, Gita menyebut bahwa ibu diracun oleh mamanya.
Mama tiri Ava.
Yang kini menjelma sebagai istri papa.
Oh, tangan Ava mengepal kuat. Geraham pun mengetat.
Sebuah getar pendek di ponsel menyentak kegemingan Ava, sontak fokus dan emosinya teralih.
Ada sebuah pesan baru atas nama Elang.
Pak Bos Baru: [Selesai, ya. Kamera kamu sudah di tangan. Bagaimana kalau kita mulai menjadwalkan kencan?]
Ava tidak habis pikir.
Ini, kan, bukan cuma soal status paman dan ponakan, tetapi ... Astaga.
Jarak usia yang terbentang antara dirinya—dua puluh dua tahun—dengan seorang Kalingga Elang Danuarta, kan, sampai mencapai rentang angka tiga belas tahun.
Catat, ya.
TIGA BELAS TAHUN!
***