Gemuruh riuh dari entakan sepatu memenuhi lorong menuju ruang rapat. Bos baru Diamond Dreams meluncurkan bewara bahwa tepat pukul sembilan pagi para karyawannya harus sudah memasuki ruang kedap suara tersebut.
Benar, ini akan jadi meeting pertama yang diselenggara oleh Pak Elang.
Lelaki yang selama ini hanya ada di layar dan selebaran kertas tempel di papan atau figura sebagai sosok panutan Diamond Dreams, seolah keluar dari sana dan menjelma nyata.
Pria yang digadang-gadang memiliki jabatan penting bin tinggi di dunia perusahaan desain perhiasan setersohor Luxora ada di sini, di sebuah perusahaan kecil yang masih merangkak ingin bersaing dengan para pebisnis raksasa di bidang yang sama.
Masih terasa seperti mimpi bisa bekerja di bawah pimpinan Kalingga Elang Danuarta, yang juga terasa sangat nyata kala sosoknya memasuki ruang rapat di kantor mereka.
Ava duduk tepat di hadapan Gita. Bersitatap, sebelumnya jarang terjadi karena Ava selalu menunduk. Tak berani saling adu mata dengan saudari tirinya.
Tapi itu dulu.
Ava yang dulu, kan, sudah binasa.
Di samping itu, suara ketukan pantofel Elang pun berakhir tepat saat dia duduki kursinya. Ava rasa atmosfer di ruang rapat juga mulai berbeda.
Sosok Elang bak lukisan, dia terlalu indah untuk disebut nyata. Elang bak manusia fiksi, terlalu sempurna untuk dikatakan ada di dunia.
Lihat wajah tampan itu dengan padu padan hidung bangir dan rahang kukuhnya yang tegas, tampak simetris. Lihat alis dan bulu matanya yang lebat, di mana Elang memiliki bentuk mata yang tajam. Setajam namanya 'elang.'
"Sudah kumpul semua?"
Bariton lugas itu mempertanyakan kelengkapan karyawannya.
Para karyawan lantas saling menoleh menatap satu sama lain, memastikan wajah-wajah yang mereka kenal sudah ada di dalam ruangan ini sebelum salah satu dari mereka mewakili jawaban.
"Sudah, Pak."
Sekretaris beliau pun tampak mengunci pintunya. Tanda bila ternyata ada yang belum masuk, yang luput, yang terlambat datang maka tak bisa ikut rapat. Bentuk ketegasan terkait disiplin waktu, bahkan Pak Elang masuk ke ruangan ini tepat satu menit sebelum pas jam sembilan.
Wah ....
Ava merasakan ketegasan yang sangat paten di sini.
"Tim desain," ucap beliau, menggantung.
Ada apa dengan tim desain? Tatapan orang-orang seolah memancarkan jenis tanya ini.
Sang sekretaris sudah duduk dan bersiaga dengan mackbook, buku, juga pena.
Tatapan Ava lalu beralih secara penuh di sosok Elang. Lelaki itu sedang melihat-lihat sesuatu di tab, jari telunjuknya menggulir layar.
Membuat para karyawan berdebar.
"Sebelumnya, saya perlu memperkenalkan diri secara resmi kepada kalian, bukan?"
Oh, Pak Elang meletakkan tab itu diikuti tatapan yang tertuju kepada seluruh pegawainya, termasuk Ava.
Tidak ada yang menjawab dengan ucapan, tetapi ada respons dari anggukan kompak, dan itu sebagai tanda bahwa kata-kata Pak Elang dibenarkan. Beliau perlu memperkenalkan diri secara resmi.
"Kalian kaku sekali," celetuknya.
Sontak sekretaris terkekeh dan tatapannya seakan memberi kode agar para karyawan lain ikut terkekeh.
Ava menyuarakan kekehan garing. Bukannya apa, tetapi kaku begini, kan, karena bos baru ini juga.
Astaga, Elang konyol juga.
"Cukup," ucap beliau, memandu penghentian kekehan para karyawan.
Hening lagi ruangan.
Ava melihat tatapan Gita serius kepada Pak Elang, ada binar yang sepertinya ... entahlah. Itu binar yang terkesan menjilat di mata Ava. Padahal sedang kena hukuman potong gaji.
"Seperti yang sudah rekan-rekan semua ketahui, Diamond Dreams sudah saya ambil alih. Saya Kalingga Elang Danuarta—mungkin sudah banyak yang tahu siapa saya, melihat dari figura-figura di lorong. Saya lihat banyak kata motivasi yang mencantumkan nama dan ada foto saya juga. Oh, ya, mohon kerja sama kalian untuk mematuhi SOP baru di bawah kepemimpinan saya."
Ava manggut-manggut pelan sebagaimana yang lain.
Bos baru sudah pasti ada peraturan baru juga, entah sekadar ditambah, direvisi dari SOP lama, atau bahkan diganti menyeluruh.
"Pertama, terkait waktu. Seperti yang kita tahu sekarang, jam sembilan, ya, jam sembilan. Pas. Tidak lebih. Saya tidak suka segala jenis keterlambatan."
Artinya, better datang lebih awal dan menunggu daripada terlambat kemudian menerima konsekuensi.
"Kedua ...." Artikulasi Elang begitu jelas. "Saya tidak suka segala jenis kecurangan, terkhusus ini perusahaan desain."
Oh, Ava merasa ter-notice.
Terkait itu, bukankah memang sedang ada kasus? Yang sebetulnya sengaja Ava ciptakan.
Ingat dengan kertas desain yang Ava geletakkan begitu saja di meja sebelum menelepon teman ibu?
Sengaja. Ava yang paling tahu bahwa Gita haus akan desainnya. Sudah pasti akan dicuri, terlebih Ava tahu akan ada ajang pameran global.
Itu semua terencana.
Siasat Ava terorganisir.
Ava yang sekarang memegang kunci jawaban masa depan dan sedang berusaha mengubahnya. Namun, ada yang tidak sejalan, salah satunya kehadiran sosok Paman Elang.
Ava tidak bisa menebak dan memprediksi alur yang melibatkan sang paman. Sekarang pun otak Ava sedang bekerja keras atas beliau.
"Jadi, terkait kasus plagiasi yang ada di lingkungan Diamond Dreams, saya akan menindak tegas untuk hal itu. Tentu, dengan bukti-bukti valid."
Di tempatnya, Gita menggigit bibir bagian dalam. Yang semestinya di rapat ini dia mendapat sanjungan, tetapi malah terseret kasus plagiasi gara-gara aksi Ava di grup chat.
Hari sial memang tidak ada di kalender dan sejak kemarin Gita rasa dia mendapatkan itu. Terkait keributan kopi tumpah saja belum usai hukumannya, lalu ini ... ah, tidak bisa dibiarkan.
Gita menatap Ava, sorot mata sang adik tertuju penuh di Kalingga Elang Danuarta.
"Dan secara kebetulan, kasus pertama yang harus saya hadapi adalah tentang pencurian ide desain perhiasan. Di mana kabar baiknya, desain itu sudah dapat acc kehadiran di pameran elite global."
Ava berdebar.
Pikirannya melanglang buana jauh ke malam di mana kata cemburu terlontar dari lisan sang paman.
Sosok yang sedang bicara di depan sana, yang sedang mengangkat kasus plagiarisme terkait dirinya dengan Gita, benarkah Elang di pihaknya?
Benarkah yang lelaki itu sampaikan di pesan, bahwa Elang tak akan membiarkan Ava bergerak sendirian?
Rasanya mudah untuk percaya dari seluruh gelagat dan tutur kata Elang, tetapi sulit Ava terima karena di kehidupan yang lalu dirinya ditikam oleh orang-orang terdekat.
Kepercayaan Ava tak bisa begitu saja tercurah, terlebih ini sosok yang tidak ada sedikit pun kemunculannya dalam bayangan Ava.
Bagaimana, ya?
SOP sedang dibicarakan, melangkahi kasus yang konon akan dieksekusi secara serius.
Dan Ava melihat ketegangan di raut Gita.
***
"Ini nggak bisa dibiarin, Yang. Kamu harus cepet-cepet bujuk Ava buat ngorek semua data presentasi desain perhiasannya."
Gita merengek kepada sang kekasih. Dalam sebuah kamar tempat keduanya bertemu untuk setidaknya bisa sambil b******u. Sepulang kerja.
Arsen menyisir rambut lembut Gita dan mengusap-usap punggung telanjang itu. "Iya, Sayang. Sabar, ya? Ini juga lagi aku usahain. Cuma, kan, ajakan makan malam aku kemarin mental."
"Jangan cuma ajak makan malam. Kamu kasih surprise atau apa, kek, gitu yang bikin dia tersanjung. Pasti langsung lumer. Biasanya juga begitu, kan, Ava ini?" Gita merapatkan tubuhnya di lengan Arsenino.
"Hm. Aku mau lamar dia." Sambil Arsen kecup kening wanitanya.
"Kamu jangan cemburu, ya, Git." Dibubuhi kerlingan jenaka, Arsen mencolek pipi Gita.
Gita praktis mencebik bibir. Yang kemudian bibirnya memagut bibir Arsen. Kembali terjalin pertautan saliva. Sayang, harus terlepas saat ponsel Arsen berdering.
"Dari Ava," katanya.
"Angkat, angkat!" tukas Gita. Dia raih selimut dan menatap sang kekasih yang mulai me-loudspeaker sambungan nirkabel.
"Kamu nggak buka chat aku, jadi aku telepon. Nggak ganggu, kan, ini?" Suara Ava mengalun.
Gita dan Arsen saling pandang. Saling senyum.
"Oh, nggak, kok. Gak ganggu sama sekali, Yang. Ini aku lagi garap kerjaan numpuk, jadi belum sempet cek hape. Bentar lagi pulang. Gimana? Kamu udah siap aku jemput? Hari ini jadi, lho, Va," timpal Arsen.
Ada helaan napas dari seberang telepon. "Justru itu makanya aku telepon. Mau ngabarin, kayaknya aku nggak bisa. Maaf, ya? Aku udah kirim chat dari setengah jam lalu, kok."
"Eh, kenapa nggak bisa?" Arsen tidak senang mendengar lagi-lagi penolakan Ava. Di mana rencana awal, malam ini mau Arsen ajak keluar. Kencan yang jauh. Ya, sekalian mau melamar.
"Aku ada kerjaan tambahan."
Kening Gita mengernyit, lalu memberi kode gelengan sebagai tanda 'bohong.' Ava berbohong. Tadi Ava sudah pulang berbarengan dengan jam bubarnya, kok.
"Va, ini cuma perasaan aku aja atau kamu emang lagi menghindar? Oh, apa aslinya ini ada kaitan sama cowok yang kemarin itu?"
Lagi, kening Gita mengernyit. Ingin bertanya 'cowok siapa', 'yang mana', dan 'ada kejadian apa memang kemarin?'
Sepertinya Arsen belum cerita.
Namun, Gita terpaksa harus menahannya.
"Arsen, kok, kamu jadi nggak percayaan gini sama aku, sih? Kamu ngeraguin akukah?" tutur Ava dari seberang sana.
"Bukan gitu, Va. Tapi, ya, terus apa lagi coba kalo bukan menghindar? Kamu diajak makan malam pas kemarin juga nggak bisa. Malah milih pulang sama cowok itu."
Cowok siapa, sih?
Begitu suara benak Gita, gatal ingin dilontar.
Sayang, lagi-lagi harus ditahan.
Kepala Gita diusap-usap oleh Arsen sembari bertelepon dengan Ava Aradhana.
"Bukan milih pulang sama cowok itu. Kan, kamu tahu sendiri dia yang duluan ada di deket aku, ngajakin bareng. Aku gak enak juga, apalagi dia saudaraku."
"Saudara? Sejak kapan kamu ada saudara selain Gita? Itu pun tiri, kan?"
"Arsen ... aku emang belum pernah cerita soal papaku yang lebih milih mama Gita sampai rela diusir keluarga besarnya atau ini kamu yang lupa?"
Gita makin penasaran. Dia tak pernah tahu tentang itu.
"Udah, ya? Aku beneran ada kerjaan tambahan. Kalau masih nggak percaya, nanti aku pap. Ini aku di jalan balik lagi ke kantor, atau kamu mau video call?"
Arsen refleks menggeleng. "Oke, oke. Aku percaya. Gini aja, deh. Kabarin kalo udah selesai, aku jemput kamu di sana. Nggak harus kencan ke luar, biar aku sekalian main ke rumah kamu aja. Ya, Sayang?"
Di tempatnya, tatapan Ava lurus pada sebuah kamar.
Kamar hotel.
"Oke."
Yang lalu, Ava pun berbalik setelah meletakkan sebuah kamera pengintai di selipan pot bunga.
Di mana saat itu, keluar dari lift, pintu lift yang terbuka langsung membuat Ava berhadapan dengan seseorang.
Tentu, Ava terkesiap samar.
Bagaimana bisa ada kebetulan pertemuan di antara dirinya dengan lelaki itu?
Ava menunduk—mengangguk sebagai salam hormat. Bagaimanapun, Elang adalah bosnya walau ini sedang di luar. Sebelum Ava melenggang melintasi, tetapi ... sepertinya langkah Ava diikuti.
***