5 | Pernyataan Mengejutkan

1008 Kata
Di dalam Porsche Cayenne yang Ava taksir harganya kisaran miliaran rupiah itu, dia duduk senyaman mungkin. Di sebelahnya ada Elang yang mengemudi dengan tenang. Tidak ada perbincangan seolah kejadian tadi tak menarik, padahal Ava ingin sekali membahasnya. Oh, baiklah. Ava yang mulai. Dia bertanya, "Aku melihat aura permusuhan di wajah Om tadi, atau aku salah?" Diperhatikannya raut sang paman. Sebenarnya ... Ava masih kikuk. Dulu sama sekali tidak ada kedekatan, tetapi di kehidupannya yang ini kenapa ... Kalingga Elang bahkan seolah sampai menyatakan cinta padanya? Waktu di ruangan beliau, tentang 'suka' yang tak hanya pada desainnya, tetapi juga suka terhadap pemilik desain itu yang notabene adalah Ava sendiri. Benar-benar skenario yang tidak pernah ada di ingatan Ava terkait kehidupannya terdahulu. Sekarang Elang malah tersenyum, sukses membuat Ava mengernyit. "Kamu memperhatikan saya rupanya." Astaga. "Kelihatan jelas, lebih tepatnya." Elang manggut-manggut, sejak tadi tatapannya lurus ke jalan. Fokus mengemudi, sementara Ava fokus menatap wajah tampan itu. Perpaduan alis dan mata tajamnya yang sepadan, hidung bangir dan bibirnya yang rupawan, disempurnakan dengan rahang tegas yang membuat Kalingga Elang Danuarta jadi tampan paripurna. Siapa sangka laki-laki semewah dan seluar biasa Elang adalah bagian keluarga Ava? "Jadi, apa alasan Om masang raut permusuhan ke Arsen—pacarku?" "Yang seperti itu masih kamu akui sebagai pacar?" Barulah lelaki dengan rahang tegas ini menoleh, menatap Ava. "Saya ragu harus mengatakannya atau tidak, tapi karena kamu sepenasaran itu dan agak memaksa ... maaf karena saya harus bilang bahwa saya pernah melihat pacarmu berselingkuh." Ava tergeming. Tatapannya masih di Elang. "Sebagai pamanmu, saya khawatir kamu tertipu. Apalagi tadi dia bicara soal ide desainmu." Masih geming, Ava memindai raut pria yang bersandar pada status "pamannya." "Di kantor, kan, sedang ada kasus plagiarisme. Ditambah desainmu yang kena jiplak. Saya berpikir saat kamu membocorkan ide desainmu ke orang lain, apalagi ke pacar yang seperti itu ... mungkin bisa kamu tangkap sendiri bagaimana pemikiran saya sisanya." "Selingkuh?" Baru saat itu Ava menanggapi. Ada debar kencang di dadanya. Jadi, perselingkuhan Arsen diketahui Elang? Yang bahkan sosoknya selama ini tinggal di luar negeri. Sebentar, Ava sedang mencerna. Kalau paman jauhnya ini memang mengetahui itu, di kehidupan yang lalu kenapa tidak ada aksi proaktif macam ini? Sedangkan sekarang ... aktif sekali. Hingga membuat alur kehidupan sekarang mulai tidak bisa Ava prediksi. "Ya, jadi sebaiknya nanti kalian putus saja. Jangan terlalu kamu percayai, dia pacar penipu. Saya yakin ada tujuan lain kenapa dia memilih mempertahankanmu, padahal sudah sangat jauh berselingkuh. Pastinya bukan karena masih cinta. Kalau kamu mau bukti perselingkuhan Arsen, saya ada dokumentasinya." Elang lantas tersenyum, melirik Ava. "Tapi masih butuh waktu untuk menghadapi pacar penipumu itu." Ava semakin dibuat tak bisa berkata-kata. Mengapa seorang Kalingga Elang Danuarta sampai sebegininya? Dan sekalinya Ava bicara, dia justru mengatakan, "Terima kasih atas perhatian dan kekhawatiran Om Elang, tapi ... kurasa Om nggak perlu ikut campur." See! Elang bahkan tahu di mana letak tempat Ava tinggal, ini membuatnya perlu menelaah lebih jauh. Apakah benar sosok Elang baik kepadanya karena memihak Ava atau ... Ava tidak bisa sembarangan memercayai orang setelah mendapat pengalaman hidup dikhianati habis-habisan oleh orang terdekat, bukan? Sesampai di kediaman Ava, Elang menghentikan mobil. Saat Ava hendak turun, dengan cepat Elang memegang pergelangan tangan gadis 22 tahun itu. Mata mereka lantas bersua. Elang mendapati alis Ava menukik dan tatapannya waspada, sementara Elang memberikan sorot mata paling lembut yang dia miliki. Oh, Ava menepis cekalan tangan Elang. Dia turun dan gegas Elang kejar. Lagi-lagi pergelangan tangan Ava digapai. Langkah keduanya sontak berhenti di bawah lampu temaram. Di sini, Elang mengakui. "Aku membencinya bukan hanya karena dia b******n. Tapi karena setiap kamu dekat dengannya, aku cemburu." Aku? Ava tercenung. Ke mana kata 'saya' dan kalimat paman yang lebih formal sebelum ini? Dan lagi ... cemburu? Wajah tampan dan kata-kata Elang yang tak terduga membuat Ava praktis membeku. Namun, belum sempat Ava bereaksi, Elang melepasnya. Dia mengucapkan, "Selamat malam." Sambil senyum dan ... pergi. Ava masih membeku. Sepersekian waktu habis dalam geming. Dia menatap lampu belakang mobil yang kini mulai menjauh. Oh, pikiran Ava kalut. Dia memegang kepala, menyugar rambut, terngiang ucapan Elang yang barusan. Cemburu? *** Argh! Baru masuk rumah, Ava langsung dijambak. Masalahnya, dia belum siap diserang. Yeah ... hari itu Ava memang belum pindah ke apartemen, dia masih tinggal bersama ibu tiri dan putrinya yang sama-sama jahat ini. Jelas, Ava tidak terima. Tak tinggal diam. Ini bukan Ava yang lemah, naif, dan mudah ditindas. Ava yang sekarang itu ... mari dia tunjukkan! "Akh—!" Kaki Ava menendang tulang kering wanita di belakangnya. Langsung kena. Sontak cengkeraman Gita di rambut Ava mengendur, saat itulah Ava menepis tangan Gita hingga terlepas. Ava jambak balik. "Biar satu sama," ucapnya. Sama-sama sakit dijambak. "Ava!" Oh, tetapi Gita punya papa yang memihaknya. Seorang ayah yang mestinya lebih berpihak kepada Ava selaku putri kandung justru sebaliknya. Ava melepas jambakan di rambut Gita. "Jaga sikapmu! Bisa-bisanya kamu ngejambak kakak sendiri." Tidak. Ava anak tunggal, ibu tidak pernah melahirkan seorang kakak maupun adik untuk Ava. Ibu yang sudah tutup usia, dan papa menikahi mama Gita bahkan di saat ibu masih bernyawa. Memang semuanya sialan. Beranjak dari sana, tak Ava pedulikan omelan papa. Tak seperti dulu, Ava sama sekali tidak melawan dan kelakuan Gita tak pernah papa gubris. Perlakuan beliau terhadap dua putrinya ini sangat berbeda, pilih kasih yang begitu kentara. Ava meletakkan tas kerjanya di kursi, diambilnya ponsel dan merebahkan diri. Ada banyak pesan dari Arsen. Ava tinggalkan mandi. Hari sudah gelap saat Ava pulang. Hatinya tidak pernah baik-baik saja. Dulu Ava merasa jauh lebih baik karena tidak tahu, pastinya. Karena Ava memercayai dan mencintai Arsen secara total, kebodohan Ava. Barulah saat kebusukan Arsen terkuak, yang bahkan ikut berkomplot bersama saudari tirinya ... membunuhnya. Oh, air mata Ava menitik di bawah guyuran shower. Lekas-lekas Ava hapus. Buat apa dia tangisi? Bukankah mereka tidak pantas mendapat linangan air matanya? Ya, mulai detik ini, Ava haramkan tangisnya untuk mereka. Yang ada hanyalah kobaran dendam bersama bara kebencian. Lepas mandi, kembali Ava melihat ponselnya. Kali itu ada kontak asing yang bertandang. Ava klik dan membaca isinya. [Om nggak akan membiarkan kamu bergerak sendirian.] ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN