Nadine masih terpaku di trotoar, bagai patung yang terlepas dari dunianya. Angin sore memainkan ujung dress floralnya, seolah-olah alam sendiri menyambut kebebasannya yang pahit. Pikiran kalut, terjebak antara bayangan Liam dan kenyataan di depan matanya. “Nona Nadine!” Suara itu—serak, familiar, dan penuh kecemasan—menerobos kekakuan tubuhnya. Nadine berbalik perlahan, dan di sana, dari gerbang rumah yang terbuka lebar, Ibu Kinar, ibu asuhnya, berlari menghampirinya dengan wajah yang basah oleh air mata. “Non! Nadine!” teriak Kinar lagi, suaranya pecah antara rasa syukur dan kelegaan yang tak terbendung. Sebelum Nadine sempat berkata apa pun, Kinar sudah menyambar tubuhnya, memeluknya erat-erat seolah takut dia akan menghilang lagi. Isak tangisnya yang dalam dan getar tubuhnya yang ku

