15. Ayah Protektif

1587 Kata
“Pak David sudah memenuhi panggilan pemeriksaan penyidik, Tuan. Statusnya masih sebagai terlapor. Namun, tekanan media mulai meningkat. Beberapa outlet memberitakan kasus ini sebagai upaya pengalihan isu dari hilangnya putrinya.” Liam meneguk anggurnya, senyum tipis mengembang. “Biarkan mereka berspekulasi. Semakin banyak noise, semakin David terdesak.” “Ada perkembangan, Tuan,” Greg melanjutkan, nada hati-hati. “Tim hukum David memberanikan diri mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap rumah utama Tuan. Mereka juga meminta data log perjalanan mobil Tuan yang terparkir di garasi rumah utama pada malam itu.” Senyum Liam pudar. “Berdasarkan apa?” suaranya mendatar, namun ada silet di baliknya. “Klaim 'motif balas dendam'. Mereka berasumsi Tuan menggunakan rumah utama sebagai ... basis, jika memang terlibat. Mereka tahu mustahil mengakses penthouse tanpa izin Tuan.” Liam mendecak ringan, lebih karena kesal pada ketidakberdayaan mereka daripada merasa terancam. “Blokir permohonan itu. Katakan bukti mereka lemah dan hanya berdasarkan prasangka. Lalu, naikkan tekanan pada David. Sebarkan kabar bahwa perusahaannya sedang diselidiki otoritas pajak.” “Tapi, Tuan—” “Lakukan, Greg,” sela Liam, suaranya tidak lagi mengandung nada tawar-menawar. “Dia berani menyentuh propertiku? Biar dia kebingungan menghadapi masalahnya sendiri yang lebih nyata.” Greg mengangguk patuh. “Siap, Tuan.” Begitu Greg pergi, Liam berdiri di hadapan jendela panoramanya. Wajahnya tetap dingin, tapi ada kepuasan gelap di matanya. David bermain dengan cara yang salah. Dia bisa menyentuh rumah utama, tapi penthouse-nya akan tetap menjadi benteng yang tidak tersentuh—rahasia yang hanya segelintir orang tahu. Ponsel di atas meja berdering. Liam mengangkatnya, dan wajahnya yang biasanya keras sedikit melunak mendengar suara di seberang. “Halo?” “Papa tidak lupa kan dengan janji makan siang kita?” suara Arabella yang ceria menyelinap melalui receiver. “Ya Tuhan, maaf sayang. Papa sedang sibuk. Papa segera ke sana,” jawab Liam, segera menyudahi panggilan dan menyambar jasnya. Beberapa menit kemudian, Liam sudah tiba di restoran mewah. Pandangannya langsung menemukan Arabella di sudut ruangan. Senyumnya sedikit pudar ketika ia melihat putrinya tidak sendirian. Seorang pemuda dengan tampilan rapi duduk bersamanya. “Halo,” sapa Liam, suaranya datar namun waspada, sambil menarik kursi dan duduk di hadapan mereka. “Papa, kenalkan ini Devan. Dia kakak tingkat di kampus,” kata Arabella dengan senyum cerah. Devan segera mengulurkan tangannya, tersenyum ramah namun sedikit gugup. “Senang bertemu dengan Anda, Pak Abraham.” Liam tidak segera menyambutnya. Matanya mengamati Devan dengan saksama, seperti scanner yang memeriksa setiap celah kelemahan. Udara di sekitar meja terasa tiba-tiba membeku. Arabella mulai terlihat tidak nyaman. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, barulah Liam menjabat tangan Devan. Genggamannya kuat dan singkat, lebih seperti peringatan daripada salam. “Devan, ya,” ucapnya, mengulang nama itu dengan nada datar. Pikirannya langsung melesat ke ingatan akan laporan investigasinya: Devan. Pemuda yang menjadi akar masalah perselisihan antara Arabella dan Nadine. Duduknya jadi lebih tegang. Perlindungannya terhadap Arabella bercampur dengan kecurigaan mendalam terhadap pemuda di depannya. Makan siang ini tiba-tiba berubah menjadi sesi interogasi yang disamarkan. Setelah pembicaraan basa-basi yang canggung, Liam mencondongkan tubuh ke arah Devan, matanya menyipit tajam. “Jadi, Devan,” ucapnya memulai percakapan, suaranya datar tapi mematikan. “Apa sebenarnya minatmu pada Bella?” Arabella menghela napas. “Papa!” Liam mengabaikan seruan anaknya, tatapannya tetap tertancap pada Devan. “Kau tahu, hal-hal buruk pernah terjadi pada putriku karena orang-orang yang mendekatinya dengan niat tidak jelas.” Devan terlihat gugup, tenggorokannya bergerak. “Saya hanya ... kami berteman, Pak. Saya menghargai Bella sebagai—” “Teman?” sela Liam, sarkasme menetes dari nada bicaranya. “Apa kau sering ‘berteman’ berduaan seperti ini dengan perempuan lain?” “Papa, cukup!” protes Arabella, pipinya memerah karena malu dan marah atas perlakuan ayahnya terhadap teman lelakinya. “Tidak, Bella. Ayahmu sedang berbicara,” balas Liam tanpa menoleh, kembali fokus pada Devan. “Kau kuliah di fakultas apa? Ayahmu kerja di mana? Apa rencanamu setelah lulus nanti?” Pertanyaan-pertanyaan itu dilemparkan cepat, seperti interogasi. Devan terjebak, menjawab dengan gugup sambil berkeringat dingin. Suasana makan siang yang elegan berubah menjadi ruang pengadilan mini. Arabella menyesal karena mempertemukan Devan dengan ayahnya. *** Di Mobil, Dalam Perjalanan Pulang Arabella duduk membelakangi Liam, memandang keluar jendela dengan wajah masih merah dan mata berkaca-kaca. “Aku tidak percaya Papa mempermalukanku seperti itu!” Akhirnya dia meledak, suaranya bergetar. “Devan itu temanku! Bukan penjahat!” Liam menyetir dengan tenang, tapi rahangnya mengeras. “Papa hanya ingin melindungimu, Bella. Kau terlalu naif.” “Melindungi? Itu tadi bukan melindungi! Itu menghina!” teriak Arabella. “Papa memperlakukannya seperti penjahat! Dan memperlakukan aku seperti anak kecil yang bodoh!” “Dia adalah tipe pria yang salah, Bella. Papa bisa melihatnya. Bahkan dia penyebab kau masuk rumah sakit kalau-kalau saja kau lupa.” “Papa bahkan tidak memberinya kesempatan! Papa langsung menghakiminya! Yang terjadi padaku karena ... karena Nadine? Itu bukan salah Devan!” Liam diam sejenak. “Dunia ini kejam, Sayang. Papa tidak ingin kau terluka lagi.” “Dengan caramu sendiri, Papa, kau justru telah melukaiku sekarang!” Arabella menyeka air matanya dengan kasar. “Aku malu! Aku benci diperlakukan seperti ini!” Dia menarik napas dalam. “Tolong ... jangan ikut campur lagi dalam pertemananku.” Liam tidak menjawab. Diamnya yang berat justru lebih menakutkan daripada amarah. Dia hanya menggenggam kemudi lebih kencang, mengetahui bahwa perlindungannya justru mendorong putrinya menjauh. Sebuah perang dingin baru saja dimulai di antara mereka. Liam menghentikan mobilnya di depan rumah Karenina. Pintu mobil terbanting saat Arabella melompat keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun, langkahnya cepat dan penuh amarah menuju pintu masuk. “Bella, tunggu—!” panggil Liam, tapi sudah terlambat. Arabella sudah menghilang di balik pintu, meninggalkan ayahnya sendirian di dalam mobil dengan rasa frustrasi yang dalam. Karenina, yang mendengar suara bantingan pintu, muncul di teras. Alisnya berkerut melihat putrinya yang melewatinya begitu saja dengan wajah merah dan mata berkaca-kaca. “Bella? Ada apa, Sayang?” tanyanya, tapi Arabella sudah masuk ke dalam rumah dan membanting pintu kamarnya. Karenina berbalik, wajahnya penuh tanda tanya dan kekhawatiran, menatap Liam yang baru saja turun dari mobil dengan wajah lesu. “Apa yang terjadi, Liam? Kupikir kalian akan bersenang-senang setelah makan siang tadi?” tanya Karenina, suaranya campur aduk antara khawatir dan kesal. Liam menghela napas panjang, tangan dikantongi, mencoba terlihat santai tapi gagal. “Tidak ada yang serius. Hanya insiden kecil,” ujarnya, meremehkan. “Insiden kecil?” sergah Karenina, tidak percaya. “Bella terlihat seperti ingin membunuh seseorang! Apa yang kau lakukan?” Liam mengedikkan bahu, berpura-pura tidak peduli. “Dia mengenalkanku pada ... pacarnya. Aku hanya mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengenalnya lebih baik. Bella marah dan tidak terima. Dia terlalu dramatis.” Karenina tercengang, mulutnya terbuka lebar. “Kau apa? Kau menginterogasi teman kencannya? Di depan dia? Liam, demi Tuhan, dia bukan lagi anak kecil!” “Dia tetap putriku, Nina! Aku punya hak untuk tahu siapa yang berkeliaran di dekatnya!” balas Liam, suaranya mulai meninggi, pertahanannya mulai retak. “Hak? Hak untuk mempermalukannya? Kau tidak pernah berubah, Liam! Selalu kontrol, kontrol, kontrol!” Karenina menggelengkan kepala, rasa jengkel dan kecewa yang dalam terpancar jelas. “Sekarang pergilah. Aku akan mencoba menenangkannya. Dan tolong ... lain kali, ingat bahwa dia adalah seorang wanita dewasa, bukan propertimu!” Liam terdiam, tertantang oleh kata-kata mantan istrinya. Dia memutar balik, masuk ke mobilnya, dan melaju pergi dengan kasar, meninggalkan Karenina yang masih berdiri di teras dengan campuran rasa khawatir, marah, dan frustrasi pada sikap keras kepala mantan suaminya. *** Nadine memandangi langit yang berubah jingga, seakan-akan menyaksikan sisa-sisa harapannya ikut tenggelam bersama matahari. d**a terasa hampa, bagian paling privat dari dirinya telah dirampas dan diinjak-injak oleh pria yang paling dia benci. Tidak ada lagi yang tersisa untuk dibanggakan atau dipertahankan. Tanpa sadar, ujung jarinya terulur, menyentuh kaca jendela yang dingin. Sentuhan itu memberinya sensasi nyata satu-satunya di tengah perasaan mati rasa yang menyelimutinya. “Menjauh dari jendela.” Suara Liam mengiris kesunyian, datar namun penuh peringatan. Nadine bisa melihat bayangannya yang tinggi dan tegas terpantul pada kaca, mendominasi ruang di belakangnya. Tapi untuk pertama kalinya, Nadine tidak bergerak. Dia tetap berdiri membelakangi Liam, menatap keluar pada sisa-sisa cahaya sore itu. Ini adalah perlawanan kecilnya yang pertama—sebuah penolakan diam-diam untuk menuruti perintahnya. Ketenangan yang tiba-tiba ini justru lebih mengancam daripada amarah. Liam melangkah mendekati Nadine yang masih membeku di depan jendela. Bayangannya yang besar sepenuhnya menutupi tubuh Nadine yang terpantul di kaca. Nadine sedikit mengencangkan tubuhnya saat tangan Liam mendarat dengan mantap di pinggangnya, mengklaim kepemilikan tanpa keraguan. “Kau tidak mau mendengar, hm,” bisik Liam tepat di telinga Nadine, suaranya rendah dan bergetar, penuh dengan ancaman yang diselimuti nada menggoda. Nadine secara insting bergerak untuk melepaskan diri, sebuah usaha kecil yang sia-sia. Tapi dia segera menyadari ketidakmungkinannya. Perlawanan hanya akan memperpanjang penderitaan. Liam menarik napas dalam-dalam di dekat lehernya, menghidu wangi sabun yang beraroma khas bunga mawar yang melekat pada kulit Nadine. “Kau selalu membuatku kehilangan kendali, Nadine,” gumamnya, suara serak dan dipenuhi oleh nafsu yang dia sendiri tidak sepenuhnya kuasai. Nadine memejamkan matanya rapat-rapat. Dia tidak lagi melawan. Air mata tunggal mengalir tanpa suara di pipinya saat dia merasakan bibir Liam mulai menyentuh lehernya, sebuah sentuhan yang terasa seperti antara ciuman dan gigitan. Ini adalah bentuk kepasrahan yang paling pahit—menerima takdirnya sebagai objek dari hasrat dan balas dendam pria yang membencinya. Dia menyerahkan tubuhnya, tetapi menjauhkan jiwanya ke tempat yang tidak bisa dijangkau Liam. Liam kembali membawa tubuh Nadine ke atas ranjang tanpa perlawana. Nadine pasrah. Membiarkan pria itu kembali menggagahinya lagi untuk kali kedua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN