Episode 7

1059 Kata
"Makanannya gak dihabiskan?" Tanya Titan, begitu ia melihat piring di hadapan Bagas masih berisi separuh makanan. "Porsinya terlalu banyak." Jawab Bagas singkat sambil menenggak segelas air putih hingga tandas. "Kenapa gak minta porsi kecil?" "Mana aku tau mereka menyediakan porsi besar dan kecil." Elak Bagas. Titan kembali menghela lemah. Ia hampir saja melupakan status lelaki yang ada dihadapannya. Apapun kesalahan yang diperbuatnya, Bos selalu benar. "Banyak orang yang kelaparan dan sangat membutuhkan makanan. Sayang sekali makanan seenak ini harus dibuang begitu saja." Titan mengambil piring milik Bagas, dan menuangkan makanan yang hanya sedikit disentuh Bagas, lalu memindahkan ke piring miliknya. "Kamu mau ngapain?" Tanya Bagas bingung. "Bapak sudah tidak mau kan?" Bagas mengangguk, mengiyakan. "Kalau begitu biar saya yang habiskan." "Kalau kamu masih lapar, tinggal pesan lagi. Tidak perlu makan sisa seperti itu." Bagas mencoba menarik piring milik Titan, namun kedua tangan Titan dengan sigap menahan. "Saya mau menghabiskan makanan ini, bukan masih lapar. Makanannya masih bersih, Pak Bagas cuman makan sayurannya aja kan? Daging dan nasinya masih utuh belum disentuh sama sekali?" Sejenak Bagas tertegun. Memang semua yang diucapkan Titan memang benar adanya. Ia hanya memakan salad, tidak menyentuh nasi dan daging ayam yang tersaji di piring pesanannya. "Terserah kalau begitu. Habiskan saja kalau kamu mau." Akhirnya Bagas membiarkan Titan menghabiskan nasi dan nasi miliknya. Bagas menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, ia melipat kedua tangannya di d**a, sedangkan matanya terus mengawasi Titan yang masih dengan santainya melahap nasi beserta lauk pauknya hingga habis. Bagas tidak habis pikir bagaimana bisa wanita bertubuh kecil itu justru memiliki nafsu makan begitu besar, bahkan ia mampu menghabiskan dua porsi nasi dengan satu gelas jus mangga hingga habis tak tersisa. "Saya sudah selesai makan, kalau Bapak mau pulang silahkan. Saya bisa pulang sendiri." Anggap saja Titan mengusir Bagas dengan halus. Karena sejujurnya ia merasa risih ketika Bagas menatapnya dengan tatapan aneh sekaligus takjub. "Baiklah, saya pulang." Bagas menyerahkan beberapa lembar uang kertas pada Titan untuk membayar makanan mereka berdua. "Uangnya kebanyakan, harganya gak semahal itu." Titan hanya mengambil dua lembar uang kertas berwarna merah tersebut, dan mengembalikan sisanya pada Bagas. "Disini makanannya selain enak juga murah. Menurutku sih enak." Jelas Titan. "Sisanya bisa kamu pakai untuk ongkos pulang." Bagas tidak langsung mengambil sisa uang yang masih tergeletak di atas meja. "Rumahku sudah sangat dekat. Selang dua gang dari sini sampai. Jalan kaki sepuluh menit pun sampai." Titan kembali menyodorkan uang milik Bagas. Kali ini sebelum Bagas memintanya untuk mengambil uang itu kembali, Titan segera beranjak menuju meja kasir dan membayar. Mereka berdua akhirnya berpisah setelah Titan membayar makanan mereka berdua dan pamit terlebih dulu pulang. Begitupun dengan Bagas, ia meminta supir pribadinya untuk segera mengantarnya pulang ke rumah. Bagas tidak menempati apartemen seperti yang dilakukan pengusaha muda lainnya, ia lebih memilih menempati rumah peninggalan Ibunya. Meski ukurannya terlalu besar untuk ditempati seorang diri, namun Bagas tetap bertahan meski kini ia hanya tinggal seorang diri dan ditemani satu asisten rumah tangga bernama Bi Rani. Sepi, hanya itu yang selalu dirasakannya seolah sepi adalah teman sejati yang selalu menemaninya setiap waktu. Beberapa bulan lalu, rumahnya masih terasa hangat oleh kehadiran seorang wanita, namun kini harus kembali sepi setelah wanita itu memutuskan menikah dengan lelaki lain. Bagas menghela lemah setiap kali ia mengingat sosok Risa. Sosok wanita yang selama beberapa tahun terakhir menemani bahkan menjadi satu-satunya wanita yang mampu mendekatinya. Namun kini justru ia harus kehilangan Risa hanya karena ia selalu merasa belum siap setiap kali Risa memperjelas status hubungan keduanya. Risa adalah wanita yang sangat menginginkan hubungan serius dengan ikatan tali pernikahan, sedangkan Bagas ia adalah lelaki yang tidak percaya akan sebuah komitmen. Baginya sebuah hubungan bisa berjalan baik-baik saja tanpa sebuah komitmen, nyatanya Risa tidak berpikir sama seperti dirinya. Risa memilih menikah dengan lelaki yang menginginkan sebuah komitmen sama seperti dirinya. Bagas merebahkan tubuhnya di kursi, jika saja ia berani berkomitmen dan mengambil keputusan besar dalam hidupnya, mungkin saat ini ia tidak akan berteman dengan sepi. Mungkin saat ini Risa masih ada di sampingnya dan menyiapkan segala kebutuhannya. "Den Bagas mau makan malam?" Tiba-tiba Bi Rani datang menghampirinya. "Nggak Bi, saya sudah makan." Jawab Bagas. Ia masih belum beranjak dan masih merebahkan tubuhnya di kursi. "Kalau begitu Bibi mau izin pulang hari ini. Lusa Bibi balik lagi." "Kenapa?" "Cucu Bibi sakit. Habis imunisasi, tubuhnya panas." "Bukan sakit serius kan?" "Bukan, itu demam bisa. Cuman anak Bibi panikan orangnya, jadi Bibi gak tega." Bagas mengangguk paham. "Ya sudah, Bibi pulang aja. Kalau cucunya sudah membaik, nanti balik kesini lagi." "Iya, Den. Oh iya hampir saja Bibi lupa, tadi ada Pak Bayu datang." "Ngapain dia kesini?" Tanya Bagas dengan nada sinis. "Bapak bilang, minggu depan ada acara keluarga. Bapak minta Den Bagas hadir." Bagas tersenyum mencibir, "Ternyata dia masih menganggapku bagian dari keluarganya. Aku kira aku hanya anak buangan." "Hus,, gak boleh ngomong gitu Den. Pak Bayu sangat menyayangi Den Bagas, gak mungkin beliau tidak menganggap Den Bagas sebagai keluarga." "Sekarang dia sudah memiliki anak penurut, bukan anak pembangkang seperti aku, Bi." Bi Rani hanya bisa menghela prihatin, ia tidak bisa lagi membujuk seorang lelaki dewasa seperti Bagas. Meski ia mengenal Bagas dari usianya masih kecil. Setelah Bi Rani pamit pulang, kini hanya tinggal Bagas seorang diri. Berada di dalam sebuah bangunan besar dan mewah yang ditempatinya, Bagas seperti tenggelam ditelan bangunan kokoh dengan nuansa serba putih. Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, Bagas duduk bersila menghadap sebuah televisi besar. Suara dari layar berukuran besar itu sengaja dibuatnya sekencang mungkin, agar bisa mengusir suasana sepi yang terasa begitu mencekam setelah malam tiba. Namun meskipun begitu, tetap saja tidak mengusir rasa sepi yang terus menggerogoti hatinya. Berbagai brosur iklan sebuah hunian apartemen bertebaran di kolong meja. Semua fasilitas yang dibutuhkan kaum milenial tersedia bahkan lengkap dengan segala jenis hiburan sebagai penunjang kehidupan modern. Bagas sangat ingin memiliki salah satu diantara banyak iklan brosur yang didapatnya, namun niat itu kembali harus ia urungkan. Hanya untuk membeli sebuah unit apartemen bukanlah hal sulit baginya, hanya saja Bagas masih merasa kesulitan menentukan pilihan. "Ibu, aku kesepian. Kapan Ibu pulang?" Tanya Bagas, sambil menatap sebuah bingkai foto bergambar seorang perempuan cantik. "Jika aku meninggalkan rumah ini, aku takut Ibu tidak bisa menemukanku." Lanjutnya. "Ibu janji akan segera kembali, tapi sudah dua puluh tahun lamanya, Ibu tidak kunjung kembali." Lirihnya sambil mengusap perlahan bingkai foto. Hanya satu alasan Bagas masih tetap bertahan tinggal di rumah ini, yaitu karena Ibunya berjanji akan kembali meski sampai saat ini ia tidak kunjung juga kembali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN