Episode 8

1016 Kata
Hampir saja Titan terlambat datang ke kantor. Selain padatnya jalan Jakarta, juga karena semalam ia tidak bisa tidur dikarenakan salah satu adiknya tiba-tiba demam tinggi. Ia dan Ibunya menjaga Arief bergantian, hingga menjelang dini hari demam Arief tak kunjung reda. Beruntunglah kondisi Arief tidak semakin memburuk, demamnya mulai reda setelah diberikan obat dan dikompres. Titan bisa berangkat ke kantor tanpa perasaan gelisah setelah melihat kondisi Arief membaik, meski anak lelaki itu masih terlihat lemas dan sedikit pucat. Sesampainya di kantor, dari kejauhan Titan melihat kerumunan orang-orang. Tidak biasanya hal itu terjadi, namun mengingat ia bekerja di kantor industri hiburan tentu saja Titan harus membiasakan diri dan tidak perlu terkejut melihat hal-hal seperti itu. Kantor pusat dan kantor Agensi memang ada di dua tempat berbeda, namun tidak menutup kemungkinan sesekali salah satu artis asuhan Sun Ent datang menyambangi kantor pusat. Titan yakin kerumunan itu pasti salah satu artis yang tengah diburu oleh para pencari berita, terlihat banyak wartawan dan kilatan cahaya kamera. Untuk menghindari kerumunan tersebut, Titan memilih berjalan perlahan, mengendap agar tidak ikut terseret dalam kerumunan. Titan berhasil melewati kerumunan tersebut, namun sekelebat bayangan membuatnya terpaku dan terdiam. Sekilas sorot matanya beradu dengan orang yang tengah berada di tengah kerumunan tersebut. Tidak yakin dengan apa yang baru saja dilihatnya, Titan segera membuang muka. Namun ia tidak mungkin melupakan sosok wanita yang telah ikut andil dalam menghancurkan hatinya, tidak mungkin ia salah mengenali. Itu Maureen, istri Barry. "Titan!" Titan segera menoleh ke sumber suara dan mendapati Darman tengah memanggilnya dari kejauhan. Titan segera berlari menghampiri Darman. Sementara itu bukan hanya Titan yang tertegun tidak percaya, ternyata Maureen pun mengalami hal yang sama. Pagi sekali Maureen sengaja menemui Bagas untuk membahas perihal kontrak kerja dengan Sun Ent. Dua tahun ini ia bekerja sama dengan agensi milik Bagas, namun beberapa bulan terakhir mereka mengalami sedikit masalah dan pihak Bagas memberhentikan Maureen secara sepihak. Sebagai seorang publik figur terkenal, Maureen tidak terima dengan pemutusan kontrak secara sepihak yang dilakukan Bagas. Maureen merasa sangat dirugikan dan akhirnya mengajukan royalti ganti rugi. Bertemu dengan Bagas merupakan suatu hal langka dan sangat sulit. Bagas sering menghindar dan justru mewakilkan masalah ini pada Darman, namun Maureen tidak merasa puas jika hanya bertemu dengan wakil yang ditunjuk Bagas. Akhirnya Maureen datang lebih pagi dan bertemu dengan Bagas secara langsung, meski hanya beberapa menit dan tetap tidak membuahkan hasil yang diinginkannya. "Nov, kamu tadi lihat Titan?" Tanya Maureen setelah ia berhasil menghindari wartawan dan masuk kedalam mobil. "Nggak. Titan mantan kekasih Barry maksud lo?" Novi balik bertanya. "Iye. Emang ada berapa Titan sih di dunia ini!" "Gue gak liat apapun, selain para wartawan yang maik menggila." Jelas Novi, manager Maureen. "Tapi, gak mungkin kan gue salah lihat. Bahkan gue denger sendiri ada yang manggil nama Titan." Novi menghela lemah dan menoleh pada Maureen, "Lo parno banget sih kalau soal si Titan. Mustahil banget kan nemu si Titan disana. Lagi pula si Titan harus punya nyali segede gunung kalau sampai dia berani ngelamar kerja di Sun Ent." Maureen mengangguk pelan. Rasanya memang tidak mungkin Titan berani melamar pekerjaan di Sun Ent. "Iya juga sih…" "Logikanya aja sih… Tapi tunggu dulu, lo kayaknya masih ngerasa kalau si Titan itu saingan terberat lo. Iya kan?" Selidik Novi. "Ih… ngapain gue ngerasa tersaingi sama dia? Gue sama dia itu levelnya jauh banget, gak mungkin lah gue merasa tersaingi. Ngaco lo!" Maureen mengelak, meski jauh di hati kecilnya ia mengakui jika sampai hari ini Titan masih menjadi ancaman terbesar dalam rumah tangganya. "Ya udah gak usah mikirin si Titan. Sekarang lo fokus aja bikin anak, biar laki lo makin cinta dan gak bakalan nyari si Titan lagi." Melihat ekspresi Maureen yang hanya diam sambil memainkan kuku jarinya, Novi yakin ada sesuatu yang sedang di tutupi artisnya yang sudah dikenalnya sejak lama itu. "Kenapa? Ada masalah?" "Sebenarnya gue masih pake kontrasepsi sampai sekarang," jawan Maureen pelan. "Apa?! Buat apa lo pake gituan. Lo emang gak mau punya anak?" "Bukannya gue gak mau punya anak, gue cuman takut." "Apa yang lo takutin? Lo takut si Barry gak mau ngawinin lo pas dulu kalian ML bareng?" Selidik Novi. "Salah satunya itu," Maureen menjeda kalimatnya. "Selain itu gue takut punya anak. Gue takut hadirnya anak justru Barry berpaling dan ninggalin gue." Lanjut Maureen. "Kasih gue alasan, kenapa si Barry mau ninggalin lo kalau lo punya anak?" "Gue takut penampilan gue berubah. Gue takut gemuk, gue takut gak cantik lagi dan gue juga takut karir gue hancur." Novi dibuat ternganga dengan sederet alasan Maureen. "Lo gak sakit kan, Ren?" Tanya Novi sambil memegang dahi Maureen dengan punggung tangannya. "Ih,,, gue serius kali!" Maureen menepis tangan Novi dari keningnya. "Menurut gue, Barry bukan lelaki seperti itu. Nyatanya dia mau bertanggung jawab sama apa yang sudah diperbuatnya, meski dia harus ninggalin pacarnya. Dan masalah karir, kenapa lo takut karir lo hancur? Lo gak akan miskin, laki lo tajir melintir." Jelas Novi. "Justru punya anak hubungan kalian bisa lebih deket lagi. Gue tau Barry belom sepenuhnya cinta sama lo, tapi cinta bisa tumbuh secara perlahan. Gue yakin Barry akan mencintai lo juga, apalagi kalau lo udah melahirkan anaknya. Percaya sama gue." Lanjut Novi. Meski keduanya terlihat seumuran, namun Novi jauh lebih dewasa dibanding Maureen. "Entahlah, gue bingung." Jawan Maureen pasrah. "Gue cuman ngingetin ya, jangan kelamaan pake alat kontrasepsi rahim lo bisa kering dan akhirnya lo gak bisa punya anak." Maureen tidak membalas ucapan Novi, ia justru merebahkan tubuhnya di kursi dan memejamkan kedua matanya. Keinginannya untuk memiliki Barry justru membuatnya buta, hingga ia nekat menyerahkan keperawanannya pada Barry. Beruntunglah Barry masih berbaik hati dan mau bertanggung jawab menikahinya, meski Barry harus merelakan hubungannya dengan Titan yang sudah dijalinnya selama lima tahun. Sela dua tahun menikah, tidak ada perubahan berarti bagi Maureen dan Barry. Mereka tetap memerankan perannya dengan sangat baik, hidup bersama dalam sebuah ikatan pernikahan. Namun sampai saat ini Maureen belum merasakan bagaimana rasanya dicintai oleh lelaki bernama Barry. Meski lelaki itu memperlakukannya dengan sangat baik, namun sorot mata dan perlakuan Barry belum juga menunjukan jika ia mulai mencintai Maureen. Maureen sadar, suaminya masih mencintai wanita lain. Namun Maureen tidak akan menyerah begitu saja, meskipun ia mendapatkan Barry dengan cara menyakiti Titan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN