Episode 9

1365 Kata
"Tadi itu artis?" Tanya Titan. "Iya." Balas Darman. "Kenapa? Baru pertama kali lihat artis?" Tiba-tiba Bagas ikut nimbrung, padahal sedari tadi lelaki itu hanya fokus pada layar laptop miliknya. Titan tidak menjawab ucapan Bagas, ia justru melirik Darman yang tengah tersenyum menertawakan. Mereka bertiga tengah berada di satu ruang yang sama, sedang mengerjakan beberapa pekerjaan yang terbengkalai beberapa hari lalu. Titan kembali fokus pada pekerjaannya, ia tidak lagi membahas artis yang mereka bicarakan tadi. Titan memang terlihat lebih kampungan dibanding karyawan lain, namun bukan berarti ia tidak pernah bertemu dengan artis Ibu kota. "Maureen cantik bukan? Dia itu role model semua wanita." Tiba-tiba saja Bagas kembali membahas Maureen, padahal Darman dan Titan tidak lagi membahasnya. "Wanita pasti cantik. Kecuali kalau dia laki-laki berwujud perempuan, pasti akan disebut tampan." Balas Titan. Jawaban Titan memang sangat masuk akal, karena tidak ada yang bisa menyangkal kecantikan yang dimiliki Maureen. Namun sebagai seorang wanita, cantik saja tidak cukup. Bagi Titan percuma saja cantik tapi berkelakuan bodoh seperti yang pernah Maureen perbuat. "Cantik tapi kelakuannya tidak mencerminkan wajahnya." Gumam Titan pelan, namun masih bisa di dengar Darman dan Bagas. "Sebagai wanita, apa kamu tidak inginan seperti dia?" Lanjut Bagas. Titan yang kala itu tengah menulis sebuah catatan di buku kecil miliknya, merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaan Bagas. Meskipun Bagas tidak bicara secara langsung, namun Titan dapat menangkap maksud dari ucapannya. Titan menutup buku catatan miliknya, kemudian ia menghela nafas sebelum menjawab ucapan Bagas. "Seperti apa maksud Pak Bagas?" Titan balik bertanya. "Ya… seperti Maureen atau karyawan lainnya." Benar dugaan Titan, rupanya Bagas masih mempermasalahkan penampilannya, meski sejauh ini hasil kinerjanya tidak pernah bermasalah. Bahkan justru beberapa orang sangat mengagumi cara kinerja Titan yang cekatan dan sangat memuaskan. "Saya tidak berniat memuaskan mata para lelaki dengan berpenampilan menarik atau menghabiskan seluruh gaji saya hanya untuk terlihat cantik. Niat saya datang kesini untuk bekerja, bukan untuk pamer pakaian atau pun saling berlomba merias wajah." "Kalau Bapak keberatan dengan penampilan saya, Bapak bisa cari sekertaris lain sesuai standar kecantikan yang bapak mau. Permisi." Titan pamit undur diri. Meladeni ucapan Bagas memang tidak akan pernah ada habisnya, terlebih jika Bagas selalu membandingkan penampilannya tapi tidak pernah sekalipun memuji hasil kinerjanya. "Semua laporan sudah selesai. Sudah saya kirim ke email Bapak." Langkah Titan semakin menjauh, meninggalkan kedua lelaki yang masih berkutat dengan laptop masing-masing. Darman pun tidak bicara sama sekali, terlebih setelah Titan pergi meninggalkan ruangan itu. "Apa aku salah bicara?" Tanya Bagas. "Nanya saya?" "Iya. Disini kan cuman tinggal kita berdua." "Saya kira kamu sedang bicara dengan itu." Balas Darman sambil menunjuk sebuah bingkai foto yang terletak di atas meja kerja Bagas. Darman merapikan beberapa map dan juga laptop miliknya kedalam sebuah tas jinjing berwarna hitam. Setelah memastikan semuanya selesai, ia segera beranjak dari tempat duduknya. Berbeda dengan Bagas, ia masih memandangi lelaki tua yang selama ini menjadi orang kepercayaannya itu, menunggu Darman menjawab pertanyaannya tadi. "Jika kamu bertanya salah atau tidak. Saya jawab salah. Jika kamu bertanya alasannya kenapa, aku tidak tau." Jawab Darman, sambil meneguk sisa teh panas miliknya hingga tandas. Bagas merasa tidak ada yang salah dengan dirinya, sehingga ia tidak terlalu mempermasalahkan kepergian Titan. Jika wanita itu benar-benar marah dan tersinggung, Bagas tidak perlu ambil pusing. Ia hanya perlu menggantinya dan mencari sekretaris baru. "Semua pekerjaan selesai, hanya tinggal menunggu hasil akhir." Ucap Darman yang hanya dijawab anggukan oleh Bagas. "Bagaimana perasaanmu ketika Risa membandingkanmu dengan Irfan? Begitulah kira-kira perasaan Titan saat ini. Meski beda status, tapi rasanya akan tetap sama." Ucap Darman sambil menepuk pelan pundak Bagas. Titan memang tidak mudah tersinggung, baginya hidup penuh dengan hinaan dan cemoohan orang itu sudah biasa. Hanya saja, ketika dirinya mulai dibandingkan dengan orang lain, bahkan tanpa sengaja Bagas malah membandingkan dirinya dengan Maureen. Tanpa Bagas bandingkan pun, dirinya tetap kalah dan hal itu masih menjadi sebuah penyesalan terbesar di hidupnya hingga kini. "Jangan diambil hati." Tiba-tiba Darman menghampiri Titan, dengan membawa sebungkus biskuit coklat. "Biskuit ini enak, cobain deh." Lanjutnya sambil membuka bungkus, dan memberikan isinya pada Titan. "Pasti enak. Ini kan biskuit Pak Bagas." Balas Titan, ia pun mengambil biskuit tersebut dan memakannya. "Anggap aja biskuit itu Bagas." "Jika dia sekecil ini, sudah saya kunyah dari tadi." Titan mengekspresikan kekesalannya dengan mengunyah secara kasar dan menelannya dalam satu tegukan. "Dia tidak bermaksud jahat. Jangan diambil hati ya?" "Sekalipun aku terlahir kaya, aku tidak berminat merubah penampilanku. Aku memang tidak secantik Mbak Risa, tapi aku bisa bekerja lebih baik dari dia." Darman salah satu orang yang selalu memuji kinerja Titan tanpa memperdulikan penampilannya yang sedikit kuno. "Sebenarnya kamu cantik. Hanya saja kamu masih berusaha menyembunyikannya dan tidak ingin diketahui orang lain." Sekilas pun Titan memang terlihat cantik dengan segala kesederhanaan yang dimilikinya. Di era modern seperti saat ini sangat jarang dijumpai wanita yang mau pergi ke kantor tanpa merias wajah seperti yang Titan lakukan. "Mungkin kalau aku seumur Bagas, aku pasti naksir sama kamu. Sayang sekali putriku saja sudah seusia kamu, jadi aku lebih pantas jadi Ayahmu." "Putri Pak Darman pasti sangat bahagia masih memiliki Ayah." "Kamu pun pasti akan menemukan kebahagiaan dengan cara lain." Darman mengusap pundak Titan dengan perlahan. Beruntunglah Titan memiliki teman kerja seperti Darman, setidaknya Darman tidak pernah menghakimi penampilannya. Selama bekerja di Sun Ent, Titan belum memiliki teman satupun. Selain karena ia tidak ingin berteman, juga karena tidak ada yang mau berteman dengannya. Perpaduan sempurna karena Titan lebih suka menyendiri dan mengasingkan dirinya. Jam makan siang pun tiba, untuk menghemat pengeluarannya terkadang diam-diam Titan membawa bekal sendiri dari rumahnya. Titan selalu membawa bekalnya tanpa sepengetahuan Yanti, karena jika wanita paruh baya itu mengetahuinya, Yanti akan melarang dan menyuruh Titan membeli makanan di kantor. Makanan yang dijual di kantin kantor memang sangat menggugah selera dan banyak jenisnya. Hanya dengan melihatnya saja sudah membuat perut lapar. Titan bukan wanita pemilih makanan, baginya jenis makanan apapun ia suka, asalkan tidak membuatnya sakit perut. Sesekali ia akan membeli makanan kantin, tapi tidak untuk setiap hari. Karena uang gaji akan habis untuk kebutuhan makannya saja, sedangkan adik-adiknya juga membutuhkan biaya besar. Untuk menghindari cemoohan teman kantornya, Titan selalu memilih makan siang di atap kantor. Tempat paling aman, karena tidak akan ada karyawan lain datang ke tempat seperti itu, selain dirinya. Membuka bekal yang sudah disiapkannya yaitu nasi putih, tumis sayur dan mie goreng instan, Titan mulai menikmati bekal makan siangnya. Berbanding terbalik dengan beberapa tahun lalu, ketika ia masih berstatus sebagai kekasih Barry. Barry memang selalu memanjakan Titan dengan segala kemewahan yang dimilikinya. Makan di restoran mahal atau memesan makanan lewat aplikasi ojek online. Meski begitu, Titan tidak selalu bergantung pada kemewahan yang Barri berikan untuknya, sesekali ia pun sering membawa bekal dan makan bersama Barry. Salah satu makanan yang sangat disukai Barry yaitu mie goreng buatannya. "Aku benci kamu, tapi kamu adalah makanan enak dan murah. Jadi aku tidak bisa membuangmu begitu saja." Ucap Titan, begitu ia menyuap mie goreng ke dalam mulutnya. "Ya Tuhan! Ternyata bau itu dari makanan kamu?" Tiba-tiba Bagas muncul dari belakang Titan, sambil menutup hidung dengan sebelah tangannya. "Apa yang kamu makan?!" "Mie goreng," "Buang!" Tanpa permisi Bagas langsung mengambil kotak bekal milik Titan dan membuangnya ke dalam bak sampah yang terletak tidak jauh dari situ. "Apa yang kamu lakukan?!" Titan tidak sempat merebut kotak makan siangnya yang sudah berakhir menyedihkan di dalam bak sampah. Dengan tubuh bergetar menahan amarah, Titan berbalik menatap Bagas. "Apa seperti itu kelakuanmu pada orang lain?! Begitukah yang orang tuamu ajarkan selama ini! Dimana letak sopan santunmu?!" Titan tidak bisa lagi menahan emosinya, ia pun tidak lagi memperdulikan dengan siapa ia bicara. "Ibumu pasti akan sangat kecewa jika tau kelakuanmu seperti itu! Dan Ayahmu pasti kecewa karena telah gagal mendidikmu!" Titan benar-benar meluapkan kekesalan yang ada di hatinya, ia tidak peduli apakah Bagas akan tersinggung atau tidak. Titan mengambil kotak bekal miliknya kemudian ia bergegas pergi meninggalkan Bagas yang masih diam mematung. Namun tiba-tiba saja Bagas menarik tangan Titan, "Tolong tarik kembali ucapanmu. Aku tidak pernah mengecewakan Ibu." "Lepas!" Titan meronta, namun cengkraman Bagas begitu kuat menggenggam tangannya. "Aku tidak pernah mengecewakan Ibu. Jadi tolong tarik kembali kata-katamu." "Lepas!" "Tolong tarik kata-katamu barusan!" Bagas tetap bersikeras agar Titan menarik kembali ucapannya. "Ada apa denganmu? Kenapa aku harus menarik kembali ucapanku?" Titan semakin dibuat tidak mengerti dengan sikap Bagas, karena lelakai itu tampak begitu terganggu dengan ucapannya tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN