Udara panas masih terasa hingga pukul empat sore. Padatnya lalu lintas Jakarta semakin menambah penat di sertai bau matahari dan debu jalanan semakin membuat oksigen terasa semakin menipis. Titan harus berdesakan, bahkan berebut kursi penumpang agar sampai ke rumah. Bukan hal baru baginya pulang pergi menggunakan kendaraan umum, namun dua tahun lalu ia masih merasakan bagaimana rasanya bekerja dengan semangat menggebu karena sang kekasih selalu mengantar dan menjemputnya setiap pagi dan sore hari. Terkadang sebelum sampai ke rumah, mereka terlebih dahulu mampir ke kediaman Barry, hanya untuk sekedar membantu Rinrin, Ibu Barry memasak.
Rasa sakit dan kecewa yang masih sering dirasakannya bukan karena Titan terbiasa dengan segala fasilitas mewah yang diberikan Barry, tapi karena Titan sudah merasakan hangatnya sebuah keluarga yang tidak pernah dirasakannya selama ini.
Tidak akan ada habisnya jika selalu membahas dan mengingat sosok Barry dan keluarganya, bagaimanapun melupakan cinta pertama dalam hidupnya sangatlah sulit. Namun Titan tidak ingin menjadi wanita egois dan masih selalu berharap Barry kembali. Saat ini ia hanya ingin menata kembali hatinya dan memulai hidup baru.
Jika pagi memakan waktu tiga puluh menit untuk sampai kantor, berbanding terbalik dengan waktu pulang. Titan baru sampai ke rumah sekitar satu atau bahkan dua jam lamanya. Sebuah perjalanan yang harus ditempuhnya mulai saat ini.
"Titan pulang!" Teriaknya begitu ia sampai diambang pintu.
"Kak Titan!" Seru dua bocah perempuan, mereka berdua berlari menghampiri Titan dan tanpa ragu langsung memeluk tubuhnya, seolah tidak bertemu lama.
"Kak Titan kotor jangan peluk-peluk." Titan mencoba melepas pelukan kedua anak tersebut dengan pelan, namun mereka tidak menghiraukan ucapan Titan. Keduanya masih tetap memeluk Titan dengan sangat erat.
"Anak-anak, kak Titan capek. Gak boleh seperti itu," tiba-tiba muncul Yanti dan meminta kedua anak itu melepas pelukannya.
"Kak Titan mandi dulu, nanti main bareng ya." Ucap Titan menatap satu persatu anak kecil bernama Cantika dan Mikaela.
Keduanya mengangguk patuh dan kembali berlari menuju kamar.
"Baru pulang, Nak."
"Iya, Bu." Titan mencium punggung tangan Yanti dengan sangat lembut.
"Mandi dulu, nanti makan malam bersama."
Titan mengangguk dan segera menuju kamarnya untuk membersihkan diri.
Pukul tujuh malam, Titan dan Yanti menikmati makan malam bersama. Keempat anak asuh yang masih tinggal di yayasan sekaligus tempat tinggal Titan tidak terlihat, hanya menyisakan Yanti yang sudah duduk di meja makan menunggu Titan selesai membersihkan diri. Dulu ada banyak anak asuh, namun beberapa diantaranya terpaksa dipindahkan ke panti asuhan lain, yang lebih besar dan memiliki banyak fasilitas memadai. Dan kini hanya tinggal empat anak, dua laki-laki dan dua perempuan.
"Anak-anak kemana? Tumben sepi?" Tanya Titan.
"Mereka sudah tidur. Selesai makan malam, langsung tidur." Jawab Yanti, sambil menyodorkan sepiring nasi beserta lauk pauk seadanya.
"Kapan mereka mulai sekolah?"
"Harusnya minggu besok, tapi," Yanti menggantung kalimatnya.
"Bulan depan mereka harus masuk sekolah ya, Bu. Setelah Titan menerima gaji." Seakan tau alasan keempat adiknya tidak bisa sekolah, Titan segera memotong ucapan Yanti.
"Tapi, Nak." Yanti meraih satu tangan Titan dan menggenggamnya. "Kamu juga butuh uang. Jangan terlalu memikirkan adik-adikmu, kamu juga berhak menikmati hasil kerja kerasmu."
"Kalian sama pentingnya buat Titan. Karena kalian Titan bisa sampai sekarang." Titan mengusap punggung Yanti dengan perlahan. Meskipun bukan Ibu kandung, namun Titan sangat menyayangi Yanti seperti Ibunya sendiri.
"Ada transferan uang dari Batubara corp, mereka kembali mengirim kita sejumlah uang."
Mendengar nama Batubara corp membuat senyum di wajah Titan luntur.
"Jumlahnya banyak." Jelas Yanti.
"Kapan?"
"Dua minggu lalu. Ibu ingin sekali memberitahumu, tapi Ibu bingung harus mulai darimana. Kamu pasti menolak, sedangkan kita sangat membutuhkan uang." Lanjut Yanti dengan nada penuh penyesalan.
Jauh di lubuk hati kecilnya, Titan merasa kecewa dengan keputusan Yanti karena tidak segera memberitahunya perihal bantuan tersebut. Namun Titan pun tau, yayasan kecil yang dikelola Yanti dan dirinya hampir saja benar-benar gulung tikar dan harus kembali merelakan keempat anak asuhnya kembali berpindah tangan.
"Ibu minta maaf sudah membuatmu kecewa." Yanti sangat menyesal, bahkan ia menundukan kepalanya.
"Bu," Titan mengusap lengan Yanti. "Titan gak marah. Kita memang sangat membutuhkan uang, terlebih karena beberapa bulan lalu Titan menjadi pengangguran. Ibu pasti sangat kesulitan mengatur segala keperluan."
Titan menghela nafas lemah sebelum melanjutkan ucapannya. "Tapi Ibu harus janji, ini terakhir kalinya kita menerima bantuan dari Batubara corp."
Yanti segera mengangguk.
"Mulai sekarang Titan akan berusaha memenuhi kebutuhan kalian. Jangan khawatir, Titan mendapat cukup gaji dan cukup untuk keperluan kita berenam." Titan meyakinkan Yanti, "Sudah cukup kita berhutang budi pada keluarga Pak Michael, jangan sampai kita berhutang budi juga ke orang lain."
"Iya, Ibu mengerti. Sekarang makan dulu, nasinya keburu dingin."
Titan pun akhirnya menyantap hidangan makan malam yang sudah dingin, namun ia tetap menyantapnya hingga tak bersisa. Setelah selesai makan malam, ia segera masuk kedalam kamar untuk mempersiapkan beberapa dokumen yang harus dibawanya besok. Ia harus segera istirahat, karena besok akan menjadi hari yang sangat melelahkan. Karena Risa memilih mempercepat jadwal resignnya.
Dua jam berlalu, bahkan jarum jam sudah menunjukan pukul dua belas malam, namun kedua matanya belum juga bisa terpejam. Gelisah, itu yang dirasakan Titan.
Setelah obrolan singkat dengan Yanti beberapa jam lalu, pikiran Titan tidak bisa tenang. Terlebih setelah ia mendengar kembali nama Batubara corp. Perusahaan besar yang dimiliki keluarga Barry.
Selama berpacaran dengan Barry, Batubara corp memang kerap memberikan santunan rutin setiap bulan pada yayasan Budi pekerti milik Yanti. Bahkan mereka menjadi donatur jauh sebelum Titan dan Barry berpacaran. Bahkan karena bantuan tersebutlah Titan dan Barry bertemu dan menjalin kasih hingga lima tahun lamanya. Kisah asmara yang berawal dari cinta monyet hingga berubah menjadi cinta sesungguhnya. Sejak awal memang sudah banyak orang yang meragukan hubungan keduanya, selain karena saat itu mereka berdua masih sangat muda, juga karena status sosial mereka yang terlalu jauh berbeda. Namun saat itu Barry kerap memberikan semangat dan meyakinkan Titan agar tetap bertahan, hingga akhirnya justru Barry sendiri yang menghianatinya.
Sudut bibir Titan terangkat dengan kedua matanya terpejam. Ia masih ingat dengan jelas semua ucapan Barry ketika meyakinkan dirinya. Namun Titan pun tidak lupa akan hari itu, dimana dirinya melihat dengan kedua matanya sendiri, Barry dan Maureen tengah berada di dalam satu kamar, tanpa busana.
Seharusnya Barry tidak perlu memberikan bantuan lagi untuk yayasan, karena setelah mereka berdua mengakhiri hubungan, Titan menolak segala jenis bantuan apapun dari Batubara corp. Apapun alasan Barry menghianatinya, Titan benar-benar merasa kecewa. Katakanlah Titan egois karena mencampuradukkan masalah pribadinya dengan yayasan, tapi sulit baginya menerima semua kenyataan pahit yang harus dihadapinya.
"Kamu masih menganggap rasa sakit hatiku akan hilang begitu saja dengan uang santunan? Benar-benar picik kamu Barry." Gumam Titan pelan.