“Mau interview kamu dengan baju hitam putih itu?” Ayuna langsung mendelik mendengar tanya serupa ejekan itu.
Tatapan Elan terlihat mengejek samar saat pria itu baru saja sampai di tempat, Ayuna memang datang setengah jam lebih awal.
Baru tiga kali mereka memiliki pertemuan di luar konteks pekerjaan, Ayuna semakin melihat sisi menyebalkan pria itu, bukan hanya mengerikan.
“Ini outfit saya biasa ke kantor, Pak. Setelah selesai dari sini, saya akan kembali ke kantor. Saya hanya cuti setengah hari.”
Padahal Ayuna memakai kemeja slik putih dengan blazer hitam dan celana bahan warna hitam, dan hari Senin biasanya memang dia memakai yang lebih formal.
Meskipun ini semacam pernikahan kilat dengan tujuan berbisnis karena saling menguntungkan, namun tetap saja Ayuna deg-degan setengah mampus, apalagi nanti malam sudah tinggal satu atap?
Pria itu sudah memiliki hak sepenuhnya, kan?
Dan jika pria itu meminta kenikmatan dari tubuhnya, Ayuna yakin dia akan kalah sekali pun menolak sekuat tenaga, sebab tau pria itu selalu bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.
“Pak!” Ayuna sedikit menyentak memanggilnya.
“Kenapa?”
“Papa saya kecelakaan dan koma, jadi bisa menggunakan wali hakim. And one question, is that part of your plan?”
Kini Ayuna melihat pria itu menatapnya dengan rahang yang mengeras.
“Your criminal mind may kill you softly, Ayuna. Masih banyak cara yang bisa saya lakukan agar kamu tetap bisa menggunakan wali hakim dan pernikahan ini tercatat sah secara hukum dan agama. Kecelakaan Papa kamu tidak ada urusannya dengan saya. Kamu tidak seberharga itu hingga saya harus mengotori tangan saya untuk menjadi kriminal.”
Elan mengetuk-ngetuk kening Ayuna dengan tatapan penuh amarah, dan Ayuna kembali merasa tubuhnya mengerut sebab ucapan dan tatapan pria itu yang terlihat mengerikan.
Meski Ayuna juga paham ucapannya tadi memang cukup menyinggung, namun orang berkuasa seperti Elan Alastair, bukankah melakukan tindakan kriminal sangat mungkin dilakukan?
Namanya tetap akan bersih karena hukum bisa dibeli oleh orang-orang seperti mereka.
“Cepat masuk, saya masih memiliki lunch meeting setelah ini.”
Ayuna langsung mengangguk kaku dan mengikuti langkah pria itu.
Firman yang berada di belakang mereka pun hanya menjadi manusia tak kasat mata sekaligus saksi bisu bagaimana hubungan keduanya berubah dari bos dan karyawan menjadi suami dan istri.
Yang tidak Ayuna sangka, Firman maju untuk menyerahkan bukti jika Papa Ayuna tidak bisa hadir sebab sedang koma, rekam medisnya diserahkan, lengkap dengan kronologi kecelakaan.
Bukan hanya itu saja, Firman juga terlihat meletakkan paper bag di meja akad lalu mengeluarkan isinya yang membuat Ayuna langsung membelalak dengan jantung yang rasanya mau copot.
Itu satu emas batangan dengan tulisan 1000 gram di atasnya, dan tumpukan uang yang tidak bisa Ayuna perkirakan berapa nominalnya.
Pria itu benar-benar membuat Ayuna selalu sesak napas!
“Ini maharnya, Pak.”
Ayuna lalu menoleh dengan tatapan memicing pada Elan, dan pria itu langsung menoleh, namun hanya memberikan tatapan datar seperti yang sering ditunjukkan pria itu di kantor.
Petugas KUA tersebut mengangguk dengan senyum tipis seolah mengatakan pernikahan mereka bisa berjalan sesuai rencana.
Di depan meja kayu panjang dan ruangan sederhana itu, dua orang saksi duduk dengan tegak sambil mengangguk sopan.
Di tengah mereka, seorang pria paruh baya berseragam putih yang menjadi wali hakim menatap Ayuna dan Elan yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.
“Apakah Rinai Ayuna Sanjaya binti Dewangga Sanjaya siap melangsungkan akad nikah hari ini?”
Suara wali hakim mengalun lembut namun tegas, menembus kesunyian yang terasa nyaris sakral di ruangan itu.
Ayuna mengangguk perlahan. Jemarinya bergetar di atas pangkuan.
Ini benar dirinya akan menikah?
“Siap, Pak.” Hatinya yang masih dipenuhi kegamangan kalah oleh bibirnya yang dengan lancar menjawab kesiapannya.
Wali hakim mengangguk. “Karena ayah kandung Saudari Ayuna dalam keadaan tidak sadar dan tidak mampu menjadi wali, maka berdasarkan pemeriksaan dan ketentuan hukum, saya bertindak sebagai wali hakim. Apakah Saudara Elan Devanaka Alastair siap menerima akad ini?”
“Siap, Pak.” Nada suara pria itu sangat datar, dan Ayuna langsung menatapnya kesal.
Tidak bisakah pura-pura normal sebentar? Minimal menjawabnya dengan nada tenang dan tegas, kan? Bukan datar seolah tidak menaruh minat.
Ya, memang kenyataannya seperti itu, si! Pria itu hanya minat membuahi telurnya saja! Tapi, kan, tetap saja! Arggh … Ayuna rasanya makin mudah emosi sekarang!
Wali hakim menatap keduanya bergantian, lalu membaca kalimat ijab dengan khidmat.
“Saya nikahkan engkau, Elan Devanaka Alastair, dengan Rinai Ayuna binti Dewangga Sanjaya, dengan mas kawin seribu gram logam mulia dan uang tunai satu milyar rupiah dibayar tunai.”
Suara hakim mengalun tegas, dan langsung dijawab Elan tanpa ada jeda yang terputus.
“Saya terima nikahnya Rinai Ayuna Sanjaya binti Dewangga Sanjaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Ayuna memejamkan matanya saat kata sah diucapkan oleh para saksi.
Oh, mungkin yang banyak dirasakan para mempelai wanita setelah kata sah terucap adalah rasa haru, excited, juga bahagia tiada tara sebab mereka menapaki hidup yang baru bersama orang terkasih. Mulai merajut benang kehidupan bersama sang suami dalam bahtera rumah tangga.
Namun, yang Ayuna rasakan adalah, dia akan menapaki segala bentuk ketidakpastian, yang mungkin akan mengoyak jiwanya di masa depan.
“Saya akan langsung ke kantor, nanti ada supir yang akan mengantar kamu, terserah mau ke apartemen atau penthouse untuk menyimpan mahar kamu.”
Elan langsung mengenakan kacamata hitamnya sambil beranjak dari ruang akad mereka.
Ayuna mendengus lagi, acara sakral akad itu benar-benar seperti sebuah meeting yang begitu selesai tidak meninggalkan perasaan apa pun, karena hanya semacam aktivitas rutin tanpa ada nilai emosionalnya.
Mereka baru saja menikah! Menikah! Secara sah! Tapi pria itu benar-benar menunjukkan jika apa yang baru saja terjadi di antara mereka hanyalah sebatas transaksi bisnis.
Hingga kini, sebuah tanya muncul di benak Ayuna, yang tanpa ragu langsung wanita itu lontarkan, sambil membawa -memeluk- mahar dengan nilai total lebih dari dua miliyar yang baru saja dia dapatkan.
Mereka sudah masuk ke mobil mobil Elan lebih tepatnya, sebab Ayuna terus mengekor karena dia merasa belum selesai meski pun mereka telah sah.
“Ini uang muka sebagai imbalan sebelum Bapak membuahi saya?”
Elan langsung menatapnya tajam sambil menuding tepat di wajahnya.
“Bahasa kamu selalu kotor, Ayuna!”
Ayuna hanya mendengus, masih memeluk erat-erat harta dadakannya, hasil dia menjual jiwanya pada pria mengerikan yang terkadang seperti titisan iblis jika sudah mengamuk pada bawahannya.
“My bad.”
“Keluar” Elan menyentaknya dengan nada kasar, Ayuna yang seumur-umur sudah kenyang dengan bentakan dan teriakan terlihat bereaksi biasa saja.
“One question first, Pak.”
“Apa lagi?!”
“Jika Bapak hanya menginginkan keturunan, kenapa kita harus menikah sah secara hukum dan agama?”
“That is stupid question, Ayuna! Kecerdasan kamu memimpin banyak project dengan nilai jutaan dollar dan memberikan keuntungan besar untuk perusahaan selama beberapa tahun terakhir ini ternyata tidak mampu membuat kamu menemukan jawaban saya melakukannya?”
Well, Ayuna merasa kembali mendapat pujian, walau mendapat sarkasme tajam setelahnya.
“Semua keturunan saya harus lahir dari ikatan yang sah, Ayuna. Ikatan yang suci dan legal secara hukum. Mereka akan menjadi orang-orang yang dihormati! Jika kita hanya menikah siri apalagi dirahasiakan, sejak awal keturunan saya akan menyandang gelar cacat dengan berbagai spekulasi sebagai anak haram atau anak tidak diinginkan dan semacamnya. Pakai otak kamu! Kenapa kamu mendadak bo-doh seperti ini?!”
Ayuna langsung mengatupkan bibirnya dan mengangguk kaku.
“Itulah kenapa saya ingin tetap mengadakan resepsi besar dengan kamu. Agar seluruh dunia tau keturunan Elan Devanaka Alastair akan segera lahir. Jadi persiapkan diri kamu sebaik mungkin! Kamu harus mengusahakan kondisi terbaik untuk kelahiran anak-anak saya! Paham?! Keluar sekarang!”
“I-iya, Pak. Sampai bertemu di rumah, eh, di kantor.”
Ayuna tergesa keluar dari mobil pria itu sambil memakai kaca mata hitamnya. Bagaimana pun hubungan mereka harus dirahasiakan untuk beberapa waktu ke depan.
Kini dia mulai membaca tujuan pria itu.
Elan sengaja mengikatnya secepat kilat karena pria itu tidak ingin kehilangan wanita yang telah diincarnya, kan?
Pun pria itu mengatakan akan membantu Ayuna membalas dendam terlebih dahulu sebelum mereka menuju pada tujuan Elan dalam pernikahan.
Dan dengan mereka yang pada akhirnya tinggal serumah, jelas lebih mudah bagi Elan memberikan pengawasannya dan mendikte Ayuna untuk begini dan begitu sebagai alasan tubuhnya harus mempersiapkan diri di kondisi terbaik sebelum proses kehamilan itu terjadi.
Ayuna meraba jantungnya yang terus-terusan berdetak brutal jika sudah menyangkut pria yang telah resmi menjadi suaminya itu.
Pun pertanyaan di kepala seolah tidak ada habisnya, kini tanya yang baru perlahan muncul.
Bukankah pria itu memiliki keluarga besar? Bagaimana bisa pria itu bertindak sembrono dengan memilih menikah diam-diam tanpa memberi tau keluarganya?
Dan bukankah hubungan mereka yang tinggal satu rumah akan mudah terendus oleh orang tua pria itu?
“Aghh! Persetan dengan keluarga pria itu! Aku akan fokus dengan urusanku!”
Ayuna mendesah panjang di dalam mobil yang akan membawanya ke bank. Dia akan mengamankan asetnya terlebih dahulu baru kembali ke kantor.
Dan erangannya kembali berlanjut saat ingat jika nanti malam dia tidak akan lagi pulang ke apartemennya!
Ya Tuhan … Ayuna rasanya semakin tidak tenang, dengan debar di d**a yang semakin mengerikan detakannya.
Ini, dia akan baik-baik saja, kan? Kenapa Ayuna merasa akan masuk ke sarang iblis?