Bab 2

1570 Kata
Baru kali ini aku ketemu makhluk astral sepede bocah ini, dalam mimpi pun aku nggak sudi berurusan dengan pangeran KW seperti dia, mimpi indah tentang pangeran tampan dan rupawan langsung buyar dan berganti mimpi buruk. "Tante pikir aku serius? Hahahaha muka tante kok pucat banget, jangan diambil hati tan. Aku itu nggak suka sama tante-tante tua," ucapnya tanpa rasa bersalah. Pangeran mengeluarkan kotak rokok dari saku celannya. "yah rokoknya habis, bagi duit beli rokok dong tan,"sambung Pangeran sambil menjulurkan tangannya. "Apa lo bilang? Andai lo bukan adiknya Sandra, mungkin udah gue bunuh lo ya! Dan elo berani minta duit ke gue? Wah, Sandra tau nggak ya kelakuan adiknya?" makiku kesal, seenaknya bilang aku sudah tua, minta rokok pula. Baru kali ini aku ketemu makhluk seberani dia. Dasar nggak tahu malu. "Tante pasti pikir kalau aku ini musisi kere, nggak punya duit. Jangan salah tan, Mixer Studio itu punyaku loh," aku mendengus mendengar ucapannya, sampai kapan pun aku nggak akan percaya omongan bocah rese ini, wajah tanpa dosanya membuatku kesal dan marah. "Stop panggil gue tante! Gue belum setua itu!" kataku kesal sambil meletakkan tangan di pinggang, mataku melotot ala ala ibu saat sedang marah. Siapa tahu bocah rese ini takut dan berhenti memanggilku tante. Sejak tadi entah kenapa aku bicara bisa se ngegas ini ke orang yang baru aku kenal. Bukannya takut bocah rese ini semakin menjadi-jadi menertawakanku, "Lah aku kan emang harus panggil tante ke situ. Tante itu tantenya bang Alex, bang Alex itu calon suaminya mbak Sandra, mbak Sandra itu kakaknya aku dan itu berarti aku ini calon ponakan tante juga. Ya wajib dong manggil tante, ya nggak?" ujarnya menjelaskan panjang lebar hubungan yang akan terjadi di antara kami saat Alex dan Sandra sudah menikah nanti. Iya sih, tapi ogah banget punya keponakan serese dia. Lagipula aku belum setua itu untuk dipanggil tante oleh bocah pinyik seumuran Pangeran. "Hubungan kita tidak sedekat itu sampai elo harus panggil gue tante, panggil saja gue Catta pake K bukan C," ujarku dengan tegas. "Catta?" panggilnya menggunakan huruf C, seolah ingin mengejekku, "nggak ah, enakan panggil tante daripada Catta. Tahu arti Catta? Cat = Kucing, Ta = Taik, jadi Catta itu sama dengan taik kucing," Astaga naga jadi bonar, aku kehabisan kata-kata melawannya. Jadi lebih baik aku berhenti meladeninya atau sebentar lagi aku akan benar-benar jadi perawan tua seperti ucapannya tadi. "Go to hell aja lo!" aku meninggalkan bocah kurang ajar tadi dan berniat masuk kembali ke rumah, baru akan melangkah tiba-tiba bocah rese itu memegang tanganku. "Tapi kalau taik kucingnya seperti tante sih, aku rela kok." "Gue yang nggak rela! Jauh-jauh dari gue!" usirku sambil menghalau tangannya. "Urusan kita belum selesai tan, kok main pergi aja." "Terserah elo dah!" aku kembali mencoba menghalau tangannya dan kali ini berhasil, aku bergegas meninggalkannya dan kembali masuk ke rumah. Aku masih mendengar gelak tawa dari ruang keluarga, sepertinya mereka sudah setuju dengan pernikahan Alex dan Sandra. Ibu satu-satunya anggota keluarga yang terdengar sangat antusias dengan pernikahan Alex. Mungkin hanya Alex satu-satunya makhluk di rumah ini yang akan menikah dalam waktu dekat. Ibu sudah menyerah menyuruhku menikah dan kini fokus dengan pernikahan Alex. "Kalau nak Catta kapan nyusul Alex?" tanya maminya Sandra saat melihatku duduk di samping Ibu. Nah ini yang paling aku hindari kalau emak-emak sudah ngumpul, rasa ingin tahunya membuncah dan pertanyaan yang dilontarkan pasti masalah pernikahan dan sejenisnya. Kenapa sih menikah itu penting bagi mereka, bukannya meniti karir lebih penting dari apapun? Ya kan? "Nanti tan, kalau udah ketemu pangeran impian aku," balasku asal. "Lah kan udah, ini Pangeran kamu udah datang," sela Pangeran dengan nggak tahu malu. Aku menggigit bibir saat mendengar suara bocah rese kembali mengganggu dan menyela pembicaraanku. Aku membuang muka dan malas melihatnya, semakin aku ladeni bocah ini akan semakin gila menggangguku. "Pange, berhenti mengganggu Catta. Kamu ini jangan bikin malu mbak," Sandra kali ini bersuara. Aku melihat Sandra membesarkan bola matanya. "Habis tantenya lucu mbak, aku kan gemes pengen gangguin, lagian si tante harusnya bangga digangguin Pangeran, jarang-jarang loh Pangeran turun tangan langsung, mbak tau sendiri kalau selama ini mereka yang menggangguku," balasnya tanpa malu. "Lucu dari Hongkong, amit-amit gue ketemu pangeran KW seperti elo," balasku tak mau kalah. Ibu langsung menyenggol kakiku agar aku lebih sopan. "Maaf ya calon besan," ibu menyelaku dan menyuruhku untuk diam. "Saya yang harusnya minta maaf, Pangeran ini selalu membuat saya sakit kepala dengan tingkahnya," balas mami Sandra, mendengar ucapannya aku pun kasihan dan malas meladeni bocah rese ini. Walau bagaimana pun bocah rese ini adiknya Sandra dan berarti aku harus menghormatinya. "Nggak apa-apa kok tante, maklum masih bocah jadi aku sebagai orang yang lebih dewasa akan belajar memakluminya," balasku penuh sarkasme. Aku melihat bocah itu bertepuk tangan. Mami Sandra mendengus kesal dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kalau begitu kami permisi dulu calon besan. Sampai bertemu lagi bulan depan," ujar mami Sandra. Ada pertemuan lagi? Kalau begitu aku akan bertemu bocah rese ini lagi? Sepertinya aku harus atur ulang jadwal liburan. Aku nggak mau bertemu dan berurusan dengan bocah rese ini dan satu-satunya cara menghindar dengan tidak menunda liburan. **** Akhirnya aku menyelesaikan novel yang sempat terkatung-katung, kisah yang mengharukan dan aku menghapus sisa airmata yang menggenang di pelupuk mataku. Sudah sangat lama aku tidak menangis setelah membaca novel. "Doyan amat baca novel mbak," suara Bimo membuyarkan lamunanku. "Ya dong, membaca novel itu keharusan, biar nggak bosan dengan rutinitas yang itu-itu aja," balasku lagi. Aku membuka laci meja kerja dan meletakkan novel tadi ditumpukan yang sudah selesai aku baca dan aku mengambil novel baru. "Ya deh, by the way katanya besok kita kedatangan bos baru. Pindahan dari Hongkong," ujar Bimo memberitahuku. Aku sudah dengar kabar kedatangan bos baru pengganti ibu Missye yang memutuskan resign. Aku mengangguk lalu melihat Bimo, "Menurut elo, bos baru kita kayak apa?" tanyaku penasaran. Mungkinkah seperti tokoh novel yang kini aku pegang? Kaya, tampan, rapi, tinggi dan rupawan? "Hellooooo, berhenti bermimpi Cattaleya! Menurut kabar yang aku dengar sih, bos baru kita itu sudah tua, seumuran bos besar kita," ujar Bimo membandingkan bos baru dengan kak Rabian. Ah iya, tidak ada satu orang pun tahu kalau aku adiknya kak Rabian. Aku benar-benar belajar dari nol dan sudah dua tahun ini aku bekerja di perusahaan kak Rabian. Kak Rabian tahu? Tentu saja dia tahu dan awalnya dia melarang tapi melihat kegigihanku akhirnya mengizinkan aku bekerja dari level terbawah. "Oh, kirain." Impianku lagi-lagi buyar, kenapa susah sekali mencari laki-laki sesempurna tokoh pria di dalam novel-novel. Kenapa laki-laki yang muncul di hidupku jauh dari kata sempurna. "Berhenti menggosip, Catta ke ruangan saya," suara menggelegar khas ibu Missye membuatku kembali melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Bimo pun bergegas meninggalkan mejaku saat ibu Missye menegur kami, aku menyimpan novel tadi dan mengikuti ibu Missye ke ruangannya. Ruangan ibu Missye berserakan, dokumen-dokumen masih bertebaran di lantai. Kotak-kotak kardus memenuhi ruangan ini. Menurut kabar ibu Missye resign gara-gara ada konflik dengan mantan suaminya. "Ada apa, ibu?" tanyaku ramah. "Kamu pasti sudah dengar kabar tentang kedatangan pengganti saya dari Hongkong," ujar ibu Missye membuka perbincangan kami. Aku mengangguk dan masih belum paham arah pembicaraan ibu Missye. "Pak Radja siang ini mendarat dari Hongkong dan saya mau kamu menjemputnya di bandara lalu membawanya ke apartemen yang sudah dipersiapkan kantor," ibu Missye menyerahkan kunci mobil dan apartemen ke tanganku. "Saya? Kenapa bukan supir kantor saja ibu? Saya tidak mengenal beliau," tolakku dengan halus. "Supir kantor membantu saya pindahan atau kamu yang bantu saya?" ujarnya dengan tegas, melihat tumpukan kardus sebaiknya aku memilih menjemput bos baru daripada pinggangku sakit gara-gara mengangkat barang sebanyak ini. "Baiklah, kalau boleh saya tau siapa nama beliau?" tanyaku lagi, aku lupa tadi siapa namanya. "Radja Sinathriya," balas ibu Missye. Aku mencatat namanya di kertas dan menyimpannya di saku blazerku. Setelah selesai berbincang dengan ibu Missye, aku pun kembali ke meja kerja untuk mengambil tas serta novel yang hendak aku baca tadi. **** Sudah dua jam aku menunggu di depan pintu kedatangan luar negeri dengan memegang spanduk bertuliskan nama bos baru, tapi tidak ada satu orang pun mendekatiku. Rasanya aku ingin teriak saking kesalnya. Nomor ponsel yang diberikan ibu Missye pun tidak aktif dan menurut info sudah sejak sejam lalu pesawat dari Hongkong mendarat tapi batang hidung Pak Radja tidak kunjung tampak. "Cattaleya?" aku menoleh ke belakang dan melihat seorang laki-laki berdiri di belakangku. "Ya, saya Cattaleya," balasku seramah mungkin. Bukan karena laki-laki itu bertanya dengan ramah juga tapi penampilannya sama persis dengan tokoh-tokoh pangeran impianku di novel. Penampilannya sangat rapi dengan jas warna navi meski jas itu hanya dipegangnya, tangan kemeja terlipat rapi di sikunya dan rambutnya pun tersisir rapi. Wajah pun bisa dibilang sangat tampan walau dia sedang memakai kacamata hitam. "Saya Radja," laki-laki itu menjulurkan tangannya. What! Serius laki-laki ini bos baruku? Kata Bimo usianya sama dengan kak Rabian. "Pak Radja Sinathriya?"tanyaku sekali lagi, mencoba mengingat nama yang tadi aku tulis di secarik kertas. "Ya, saya Radja. Ibu Missye memberitahu kalau anda yang akan menjemput saya," ujarnya lagi. Aku mengangguk dan langsung membalas uluran tangannya. "Selamat datang di Indonesia dan selamat bergabung di Dharmawangsa Group," ujarku seramah mungkin. Ya Tuhan, inikah yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Laki-laki yang berdiri di depanku ini sangat sempurna, jangan-jangan Tuhan sedang berbaik hati padaku, Tuhan tidak mengirimkan pangeran tapi seorang raja. "Ayo, kita berangkat." Ajakan Pak Radja membuyarkan lamunanku. "Baik pak," aku bergegas mengejar Pak Radja. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN