Chapter 4

1500 Kata
Aku masih saja merinding mengingat kejadian tadi pagi, dimana Sean bernapas hangat di leherku. Wajahnya terlalu dekat dengan leherku, sampai-sampai aku berpikir dia akan mencium leherku. Astaga, aku merasa hampir gila sekarang. "Kayla, apa yang sedang kau pikirkan? Kau terlihat melamun sedari tadi." Ah! Aku baru mengingat jika aku sedang bersama Madam saat ini. Aku menatap wanita itu dan menggeleng. "Tidak ada, Madam. Aku hanya merasa tidak enak dengan maid yang lainnya." kilahku yang tidak seluruhnya bohong karena aku juga memikirkan para maid yang terus saja menggunjingku. Madam memegang tanganku, tatapannya begitu lembut. "Jangan khawatirkan itu, Kayla. Aku berada dipihakmu," tuturnya dan aku tersenyum. "Terima kasih, Madam." "Untuk apa kau berterima kasih, kau tahu? Aku sudah menganggapmu sebagai putriku." "Eh?" benarkah? "Ya, Kayla. Kau tahu sendiri aku tidak mempunyai anak perempuan. Kalau aku ingin anak peremuan, maka aku menginginkan yang sepertimu." Aku tersipu mendengarnya, seolah diangkat menjadi putri kerajaan. "Aku akan melayanimu sebaik mungkin, Madam." "Ya, Kayla. Dan aku butuh bantuanmu, sekarang." "Apa itu, Madam?" Madam menyodorkan tiga pakaian kepadaku. Semua pakaian itu bermotif santai dan kurasa pakaian itu untuk pergi ke pantai. "Tolong kau berikan kepada anakku. Yang ukuran paling besar, itu milik Nathan. Ukuran di bawah Nathan, itu milik Sean. Dan yang kecil itu milik Sebastian." Aku mengangguk, "Baik, Madam." aku mulai beranjak pergi, namun Madam memanggilku kembali. "Mereka berada di lantai atas, Nathan dan Sebastian kamar mereka terhalang dua kamar, kau bisa melihat nama mereka di pintu. Sedangkan Sean, ia berada di lantai tiga, satu-satunya kamar tidur di sana." Aku mengulangi perkataan Madam di kepalaku lalu mengingatnya, barulah aku beranjak pergi. Sejujurnya baru kali inilah aku melangkahkan kaki kelantai atas, biasanya hanya kepala Maid yang diperbolehkan dan aku hanya bisa menunggu di tangga ini. Tapi kali ini berbeda, aku juga boleh ke lantai atas, tidak sabar rasanya melihat lantai atas, apa juga semewah di bawah ini? Aku berjalan menaiki tangga lalu berjalan melewati ruangan besar sebelum melewati koridor yang menuju kamar-kamar. Aku mencari nama di setiap pintu kamar sampai akhirnya aku mendapatkan nama Nathan di pintu bewarna putih keemasan. Aku mengetuk pintu itu, dari dalam sana terdengar langkah kaki yang mendekat, aku berdiri kaku. Tidak tahu harus tersenyum atau berwajah datar saja, aku belum pernah diposisi saat ini sebelumnya. Pintu terbuka, Nathan dengan rambut messy-nya terlihat mempesona. Ia tersenyum menggoda padaku. "Wah, apa yang membuat Kayla, asisten pribadi ibuku berada disini?" tanya Nathan dengan nada sensualnya. Aku mengambil salah satu baju dari lengangku dan langsung menyodorkan baju paling besar padanya. "Madam ingin saya memberikan ini pada Tuan muda," kataku sopan dan langsung menunduk, aku tidak bisa menatapnya, terlalu memikat. Benda yang berada di tanganku di ambil, membuatku mengadah dan mendapatkan Nathan berada dekat denganku. Dengan cepat ia mencium puncak kepalaku, aku terdiam, tidak mampu berkata-kata. "Itu bayaran untuk servismu, Kayla," katanya sembari mengedipkan sebelah matanya. Seletah itu ia menutup pintu kamarnya, meninggalkan aku yang masih terdiam seperti orang gila. Jantungku berdebar dengan cepat, kakiku terasa seperti jelly. Semudah itu Nathan membuat persasaanku kacau. Aku memaksakan kakiku berjalan, ke kamar Sebastian yang berada dua kamar dari kamar Nathan. Saat sampai aku langsung mengetuk pintunya. Tidak ada sautan. Aku kembali mengetuk. "Baiklah!" teriak Sebastian dari dalam. Sebastian membuka pintu dengan raut wajah kesal yang membuatnya semakin imut. "Ada apa?!" kesalnya. "Ma-maaf tu---" Perkataanku terpotong oleh pelukannya yang tiba-tiba. "Kayla!" serunya. "Tu-tuan, apa yang kau lakukan?" Sebastian melonggarkan pelukannya, namun tidak melepaskan pelukannya padaku. Ia menatapku dengan polos layaknya anak kecil. "Tentu saja memelukmu," jawabnya. Aku tahu itu, tapi kau tahu batasan antara maid dan majikan. Alih-alih mengatakan itu, aku malah membalas, "I-iya, tuan." "Apa yang membuatmu menemuiku, Kayla?" tanyanya dan wajahnya sangat dekat sekali, belum lagi tubuh kami yang menempel. Aku memegang telingaku yang terasa panas. Aku memalingkan wajahku sebelum menjawab, "Madam memintaku memberikan pakaian ini padamu, Tuan." "Yah, kupikir kau sendiri yang ingin menemuiku." Apakah Sebastian kecewa? Karena dari raut wajah dan nada suaranya itu terlihat kecewa. "Kau tidak ingin menatapku, Kayla?" Aku segera menghadapkan wajahku padanya, namun masih tidak terbiasa dengan kedekatan seperti ini. "Kita terlalu dekat, Tuan," gumamku kecil. Sebastian tertawa lalu melepas pelukannya padaku. "Kau sangat manis, Kayla." "Eh?" Tidak memperdulikan kebingunganku, Sebastian malah mengambil pakaiannya dari tanganku. "Yang kecil milikku 'kan?" Aku mengangguk. "Iya Tuan." "Baiklah, sampai jumpa nanti, Kayla." setelah itu Sebastian masuk kembali ke dalam kamarnya. Aku benar-benar heran dengan tingkah laku para pria tampan ini, begitu mengejutkan. Kini yang tersisa hanya satu pakaian, milik Sean. Dan kamarnya berada di lantai tiga. Aku berjalan kembali menyusuri koridor hingga sampai pada sebuah tangga lagi dan langsung menaikinya. Lantai tiga terasa begitu luas dan kosong. Hanya ada satu kamar disini dan pintunya sangat besar. Tidak susah menemukan Sean jika hanya ada satu kamar seperti ini. Tidak menunggu lama, aku langsung mengetuk pintu itu. Pintu itu tiba-tiba terbuka, dan kurasa tidak ada orang didalam sana. Aku memasuki kamar itu, berniat untuk meletakkan pakaian ini lalu pergi setelahnya. Namun, kurasa niatku terhenti karena Sean baru saja keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang d**a dan rambut basahnya yang ia coba keringkan dengan handuk. Tatapan kami beradu. Terlalu lama. "Kayla," panggilnya seolah baru tersadar dengan adanya diriku. "I-iya, Tuan Sean," balasku gugup. Tatapanku jatuh pada perut dan d**a bidangnya. Betapa aku ingin menyentuh badan atletis tersebut. Namun keinginanku harus kutahan, aku tidak boleh lepas kendali. "Ada apa, Kayla?" tanyanya. Aku meletakkan pakaian yang berada di lenganku ke atas kasurnya. "Aku ingin memberikan pakaian ini padamu, Tuan." Ia terlihat menunggu penjelasan lebih lanjut. "Oh! dan juga, aku tidak berniat lancang masuk ke dalam ruanganmu, hanya saja kupikir tidak ada orang jadi aku ingin meletakkan pakaian itu di kasur seperti yang kau lihat saat ini." aku menjelaskannya dengan cepat, tidak ingin membuat pria ini salah paham. Awalnya hanya senyuman namun akhirnya Sean tertawa. Sangat manis, bahkan matanya membentuk bulan sabit. "Kau tidak perlu terlalu cemas, Kayla. Aku hanya bertanya." Aku mengangguk kaku, berniat tertawa juga tapi kurasa lebih baik tidak. "Bisakah kau mengeringkan rambutku?" pintanya. Aku mengangguk, lalu mendekat padanya. Aku mengambil handuk dari tangannya dan mulai mengusap kepalanya walau aku harus berjinjit karena ia terlalu tinggi. Tetesan air dari rambutnya mengenai wajahku dan karena itulah aku baru sadar jika sedari tadi Sean menatapku. Aku berhenti dan mundur selangkah. Berdehem sebentar, aku berkata, "Bisakah kau duduk, Tuan? Aku tidak bisa mengeringkannya jika berdiri." Sean tersenyum, ia menarik tanganku ke meja kacanya dan ia duduk di kursinya. Tangannya belum terlepas dari tanganku dan sedikit membingungkanku untuk mengeringkan rambutnya. "Tuan, kau bisa melepaskan tanganku sekarang," kataku padanya. Sean terlihat sadar. "Ah, aku lupa." ia lalu melepaskan tangannya dariku. Aku mulai mengeringkan rambutnya dengan handuk, mengusap kepala itu dengan lembut. "Kau ingin memakai alat pengering rambut, Tuan?" tawarku. Sean menggeleng. "Aku tidak suka memakai benda itu," jawabnya. Aku mengangguk. "Baiklah, Tuan." Aku kembali mengusap kepalanya, tidak berbicara kembali hingga hening tercipta diantara kami. Aku menoleh ke sekeliling, ruangan ini tampak kosong dengan lemari, kasur dan meja ini saja yang mengisi padahal kamar ini lumayan luas. Tatapanku jatuh pada kemeja putih yang dipakainya tadi malam dan teringat akan jasnya yang berada padaku. "Tuan, aku akan mengembalikan jasmu secepatnya," kataku. Sean menggeleng ringan. "Nanti saja, masih banyak waktu untuk kita." "Maksudmu, Tuan?" tanyaku tidak mengerti. "Tidak usah dipikirkan." Aku hanya mengangguk. Kurasa rambutnya sudah mulai kering, aku menghentikan usapanku pada rambutnya dan mencoba memegang rambutnya, sangat halus walau rambutnya terlihat berantakan. "Sudah kering?" tanya Sean, membangunkanku dari mengagumi rambutnya "Sudah Tuan," jawabku. Sean memegang rambutnya lalu mengangguk. "Usapanmu begitu lembut, Kayla. Aku bisa tertidur karenanya." Aku tersenyum. "Aku tidak ingin membuatmu terluka, Tuan." "Usapanmu tidak mungkin bisa membuat orang terluka, Kayla. lalu bisakah kau mengambil salah satu kaosku di lemari?" katanya dan menunjuk lemari besar yang berada di sudut ruangan. Aku mengangguk, lalu berjalan mengambil kaosnya di lemari. Sesudah itu aku kembali mendekat padanya dan memberikan kaos itu. Sean berdiri dan mulai memakai kaos itu. Aku tidak terima perut kotak-kotak itu menghilang dari pandanganku. "Terima kasih, Kayla." "Sudah tugasku, Tuan," balasku. "Kalau begitu, aku permisi Tuan. Kurasa Madam menungguku." aku langsung berbalik dan berjalan menjauh, namun tanganku tiba-tiba ditarik dan terhempas ke belakang. Sean pelakunya. Ia mengurung tubuhku di dinding dengan tangannya berada di kedua sisiku. "Terlalu cepat untuk pergi, Kayla." desisnya. "A-apa kau masih membutuhkanku, Tuan?" tanyaku gugup. Wajahnya mendekat, aku bahkan dapat merasakan napasnya di wajahku. "Aku masih membutuhkanmu berada disini." Aku menatap bola matanya yang bewarna coklat keemasan, sangat indah. "Untuk apa?" tanyaku. Sean semakin mendekatkan wajahnya padaku lalu berbisik di telingaku. "Untuk menemaniku," jawabnya menggoda. Kakiku terasa tidak menapak, dia benar-benar membuatku melayang hanya dengan kata-katanya. Ya ampun, bagaimana bisa aku lepas dari pesonanya? Kring! Tiba-tiba teleponnya berdering. Kami menatap ke arah suara itu. "Silahkan angkat panggilannya, Tuan." Sean menatapku dahulu sebelum melepaskan kurungannya dan beralih ke meja kecil di samping kasurnya. Aku akhirnya dapat bernapas lega setelah keluar dari kurungannya. "Kayla." Aku tersentak dan langsung menatap Sean. "Kau dipanggil ibuku," katanya. aku mengangguk dan segera berjalan ke arah pintu. Sebelum aku menutup pintu dapat ku dengar Sean menggumamkan sesuatu seperti, "Lain kali tidak akan ada yang menganggu." Jantungku berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya dan aku berlari menuruni tangga hingga akhirnya sampai di bawah, lalu barulah aku berjalan biasa menuju ruangan Madam sembari menetralisirkan debaran jantungku. "Ada apa, Madam?" tanyaku saat telah berada di sampingnya. "Tidak, aku hanya merasa kau terlalu lama. Aku masih ingin berbincang denganmu," balasnya. "Maafkan aku, Madam. Tuan muda Sean tadi memintaku untuk mengeringkan rambutnya," jelasku. Madam mengedikkan bahunya. "Kurasa ia akan mengambilmu dariku, Kayla." Aku tertawa kecil. "Aku adalah asisten pribadimu, Madam. Dan aku berada dipihakmu," kataku dan mengcopy kata yang pernah ia ucapkan tadi. Madam lantas tersenyum senang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN