Ch.08 Beberapa Hal Tak Berubah

2403 Kata
Hanae memandangi Ezra. Matanya menelisik pada tiap detail ketampanan lekaki di hadapan. Kata-kata yang terlontar seperti menyiratkan sesuatu. Sebuah kejadian di masa lampau. “Aku tidak mengerti perkataanmu,” ucap Hanae lirih, menyorot sendu. Ezra mengambil lembaran terakhir di atas lantai, membaca sekilas dengan cepat, lalu memasukkan ke dalam file yang tepat. “Tidak mengerti di bagian mananya?” “Tuan bilang, sejak kapan saya dianggap merepotkan? Apa saya sudah pernah merepotkan Tuan sebelumnya?” Ezra tertegun, terhentak dalam hati mendengar jawaban Hanae. Baru sadar kalau dia sudah salah berbicara. Baru sadar kalau dia membiarkan masa lalu muncul begitu saja. Menoleh, lalu berdiri. Ia kemudian menarik lengan Hanae agar ikut berdiri bersamanya. “Berikan berkas itu padaku,” ucapnya menunjuk berkas-berkas berantakan di tangan Hanae dengan dagunya. “Saya akan mengembalikannya ke gudang. Tuan justru harus memberikan berkas yang di tangan Tuan kepada saya.” Ezra menghela panjang, lalu mengambil paksa rangkaian lembaran kertas dari jemari sang gadis. “Aku akan merapikan berkas ini. Kamu kembalilah ke meja dan bawa tasmu. Kita akan keluar makan siang.” “Ha?” Hanae melongo dengan wajah culun dan polos. Tersenyum kecil, Ezra melihat sejak kecil ekspresi gadis satu ini memang tidak pernah berubah. Selalu saja polos dan culun. “Kamu dengar aku, ‘kan? Ambil tasmu. Kita akan pergi makan siang.” “Tuan akan makan siang dengan saya?” ulang Hanae masih merasa ajakan ini sesuatu yang sangat asing. “Iya, aku akan makan siang denganmu. Sudahlah, Hanae. Cepat ambil tasmu dan temui aku lagi di sini!” tandas Ezra, kemudian berjalan ke kursi besi sepanjang satu meter di sisi lorong. Mengangguk, Hanae berlari seperti gadis kecil yang kegirangan akan diajak jalan-jalan oleh orang tuanya. Harap maklum, tinggal di panti asuhan dan selalu diejek serta dihina sepanjang menjalani pendidikan membuatnya hampir tak pernah diajak makan siang oleh siapa pun. Ezra duduk di kursi besi panjang, lalu merapikan berkas-berkas yang tadi berceceran. Sekilas teringat bekas merah berbentuk telapak tangan di pipi Hanae. Ia berniat mencari tahu siapa yang melakukannya saat makan siang nanti. Beberapa menit kemudian, bersamaan dengan ia selesai merapikan berkas, Hanae sudah datang membawa tas bulukannya yang bolong. Ezra melirik pada bagian ujung yang bolong. Hatinya sontak menjerit lirih. Teringat sebuah kalimat dari bibirnya pada gadis ini 15 tahun lalu. Tahu kalau tas bolongnya diperhatikan oleh Ezra, wajah Hanae merona merah karena malu. Ia sembunyikan tas itu di belakang pinggang dan menunduk. Berpikir sebentar lagi pasti Ezra akan membatalkan pergi makan siang dengannya. ‘Dia seorang jaksa penuntut umum terhormat. Mana mungkin mau pergi makan siang dengan gadis panti asuhan belel macam aku begini?’ keluhnya dalam hati.. Saat melihat kaki Ezra mulai berdiri, tanpa ia mendongakkan kepala, telinga siap-siap mendengar pembatalan makan siang. Jemari di belakang punggung meremas tas bolongnya. “Sudah siap? Ayo, kita kembalikan berkas ini dan pergi makan siang.” Sontak wajah Hanae mendongak dan ia melongo. “Tuan masih mau pergi dengan saya?” “Iya, memangnya kenapa?” angguk Ezra makin merasa ada sayatan besar di hatinya. Ia menyaksikan betapa Hanae memiliki rasa percaya diri yang sangat kecil karena berasal dari panti asuhan. Gadis itu menggeleng, “Saya kira Tuan akan ... uhm, sudah, tidak apa-apa. Baik, kita pergi sekarang, ya?” pungkasnya mulai melangkah dengan gugup. Mereka melangkah berdampingan di mana Ezra kemudian berucap, “Maksudku tadi adalah, sejak kapan membantumu dianggap merepotkan seseorang?” “Aku suka membantu orang lain, terutama yang sedang kesusahan. Jadi, kalau ada apa-apa kamu bisa minta tolong padaku. Mengerti?” ucapnya sambil tersenyum tenang. Hanae mengangguk sambil tertawa kecil, “Terima kasih, Tuan.” “Satu lagi, berhenti memanggilku Tuan. Panggil saja Ezra.” Jaksa tampan mengatakan ini dengan sorot lekat, dan jika boleh dikatakan, ada rasa rindu mendalam di sana. Hanae kembali tertawa dan menggeleng, “Xavion juga menyuruhku berhenti memanggilnya Tuan. Aku hanya ingin bersikap hormat.” “It’s okay. Kamu tidak perlu memanggilnya Tuan. Kita tidak seperti itu di sini. Kecuali pada hakim dan Jaksa Agung baru kita memanggil mereka Tuan,” canda Ezra. Mereka sampai di gudang penyimpanan arsip. Lengan gagah Ezra yang dibalut jas hitam keabu-abuan menyerahkannya pada seorang lelaki tua berkacamata. Pria itu bertanya sambil melirik Hanae, “Siapa dia? Karyawan baru? Anak buahmu?” “Karyawan magang dari fakultas hukum,” jawab Ezra. “Dan sebenarnya Hanae adalah anak buah Xavion.” Lelaki tua berkacamata tertawa dingin, “Well, good luck dengan menjadi anak buah Xavion.” “Kalau dia anak buah Xavion, kenapa dia pergi denganmu?” lanjut penjaga gudang melirik penasaran. “Kami akan makan siang,” jawab Hanae dengan mata berbinar. Petugas gudang menatap Ezra sambil tersenyum simpul. “Well, well, baru kali ini aku mendengar Ezra Wu akan makan siang dengan seorang wanita!” Ezra hanya tersenyum datar mendengarnya. Ia tak ingin berbincang lebih lama, kemudian melangkah keluar dari gudang arsip dengan Hanae berusaha mengikuti langkah panjangnya. “Ezra, Ezra!” panggil Hanae. Langkah Ezra sontak terhenti. Suara itu kenapa seakan tidak berubah sama sekali sejak 15 tahun lalu ? Nada panggilan yang sama kepadanya. Ada nuansa manja, ada nuansa bergantung, dan ada nuansa sayang. Atau dia yang terlalu terbawa suasana? Hanya saja, Hanae dulu tidak memanggilnya dengan nama itu. Ia menunduk sesaat, menguatkan hati untuk bersikap biasa, baru kemudian menatap. “Ya? Ada apa?” “Kenapa bapak tua tadi mengatakan begitu tentang Xavion? Good luck menjadi anak buah Xavion?” Ezra kembali melangkah bersama sang gadis. Kemudian, ia menjawab, “Uhm ... tidak ada apa-apa. Dia hanya bergurau.” “Ayolah, katakan padaku,” rengek Hanae. “Ada apa dengan Xavion? Apa dia jahat?” Tawa Ezra terdengar renyah, kemudian menggeleng. “Xavion tidak jahat. Dia hanya sulit dimengerti dan sedikit temperamen. Semua yang bekerja untuknya sudah tahu itu dan tidak mempermasalahkannya.” “Aku yakin kamu akan baik-baik saja. Tapi ...,” henti Ezra mendadak menarik lengan Hanae hingga mereka berhadapan. Jemarinya menyentuh pipi sang gadis sembari bertanya, “Bukan dia yang memberi bekas merah ini padamu, ‘kan?” Hanae terkejut saat menyadari ada telapak tangan Ezra di pipinya. Ia segera melangkah mundur dua kali dan menggeleng. “Bukan, bukan Xavion yang melakukannya. Aku bersumpah, bukan dia!” “Good! Nah, kalau begitu, ayo kita berangkat makan siang.” Sampai di depan pintu gedung kantor kejaksaan, Ezra berucap, “Tunggu di sini. Aku akan mengambil mobil.” Sialnya saat kemudian dia berdiri sendiri, justru bertemu Duo Maut, yaitu Fanty dan Deasy. “Kamu mau ke mana, Anak Magang?” desis Fanty menghalangi langkah Hanae, berdiri tepat di depannya. Hanae menjawab terbata, “Ma-makan siang.” “Apa semua berkas sudah dikembalikan?” tanya Deasy tersenyum culas. “Kami tadi menyuruhmu mengembalikan berkas sekaligus mengambil beberapa berkas baru. Apa semua sudah beres?” Fanty terkikik, “Kamu pikir kamu bebas makan siang sementara pekerjaanmu belum selesai, hah? Apa kamu pikir kamu bos di sini?” Ia mengintimidasi dengan menekan-nekan pundak Hanae. Lalu, Deasy pun berbuat yang sama. Dia tidak menekan, justru mendorong-dorong kasar. “Heh, Hanae! Jangan pikir kamu bisa seenaknya, ya! Di sini itu kamu harus bekerja keras!” Hanae kebingungan, “Ta-tapi ... aku su-sudah ... aku sudah mengembalikan serta mengambil berkas yang kalian mau. A-aku ... aku hendak pergi karena diajak makan siang. Fanty dan Deasy terbahak mengejek. Mereka terus mendorong Hanae hingga melangkah mundur dan menjauh dari pintu masuk. “Siapa yang mau mengajak perempuan kumal, kucel, dan bodoh seperti dirimu, hah!” hina Deasy. “Hanya orang buta yang mau pergi dengan wanita memakai baju nenek-nenek sepertimu! Jangan mimpi, Hanae! Ahahaha!” Mendadak, ada suara berat di belakang Fanty dan Deasy. “Apa aku terlihat buta bagi kalian berdua?” Terkejut setengah mati, Fanty dan Deasy cepat menoleh karena mereka hafal luar kepala siapa pemilik suara berat dan seksi tersebut. “E-Ezra?” lirih keduanya menahan napas. “Aku yang mengajak Hanae makan siang. Apa aku terlihat buta bagi kalian?” ulang Ezra menatap dingin, sangat dingin. “Ti-tidak! Kamu tidak buta! Kamu sangat tampan dan tidak buta!” geleng Fanty sambil berkali-kali menelan salivanya. Deasy pun melakukan hal yang sama. “Matamu sangat indah, Ezra. Kamu tidak buta!” “Hmm,” desis Tuah Muda Wu. Ia kemudian berjalan di antara Fanty dan Deasy hingga dua wanita laknat itu tak lagi berjejeran. “Ayo,” ucap Ezra tersenyum hangat pada Hanae. Wajah yang dingin mendadak berubah total. Bahkan, ia menggandeng tangan sang gadis dan menariknya perlahan. Ketika melintas di sebelah Fanty serta Deasy, ia berdesis sekali lagi, “Kalau aku sampai tahu kalian merundungnya lagi, akan kusuruh Xavion memecat kalian berdua. Paham?” Tak bisa menjawab, Fanty dan Deasy bagai disambar petir hingga mukanya pucat pasi. Mereka hanya mengusap keringat dingin yang hinggap di wajah akibat menerima ancaman yang bukan main-main. Apalagi, mereka tahu ayah Ezra adalag seorang politikus senior yang kini menjadi salah satu senator terpilih di Los Angeles. Mana berani mereka membantah meski hanya satu kata. Saat kemudian melihat Hanae menaiki mobil Ezra yang bermerek Porsche Cayenne, keduanya hanya bisa menelan liur dalam mulut dengan rasa kerikil. Ya, seperti ada yang menyangkut di tenggorokan mereka. “Sialan! Enak sekali Hanae baru pertama bekerja sudah bisa naik Porsche milik Ezra!” keluh Fanty menahan geram pada gemerutuk gigi. Deasy menjejakkan kaki berkali-kali ke atas lantai. “Kita sudah lima tahun lebih di sini! Berjalan bersama Ezra saja tidak pernah! Kenapa Hanae justru digandeng seperti itu!” *** Saat makan siang di sebuah restoran cepat saji, Hanae nampak sangat lahap memakan pizza dan burger yang dibelikan Ezra untuknya. Ia baru berhenti mengunyah ketika mendengar sebuah pertanyaan dadi lelaki di hadapan. “Siapa yang menamparmu? Sebutkan namanya.” Hanae tertegun sesaat. Ia menelan bongkahan pizza di mulut dengan cepat. Ekspresi wajahnya nampak ragu dan takut. “Aku hanya ingin tahu siapa yang melakukannya. Aku tidak akan menambah masalah bagimu. Apa Fanty dan Deasy yang melalukannya? Kalau iya, aku bisa membuat mereka bekerja menjadi pembersih toilet.” Hanae terkikik membayangkan dua wanita yang senang sekali merundungnya itu menjadi pembersih toilet. Akan tetapi, dia adalah gadis yang jujur. “Bukan mereka yang menamparku.” “Lalu? Siapa? Dia juga meremukkan kacamatamu.” Hanae mengembus panjang. Ezra sungguh terlihat baik baginya. Dan entah kenapa bersama lelaki ini ia seperti merasa menemukan sosok kakak yang tidak pernah ia miliki sejak lama. Ia seolah yakin Ezra sungguh akan melindunginya. Ia meneguk soft drink daringelas berukuran large, kemudian menceritakan kejadiannya. “Aku tidak mendengar namanya secara jelas. Dia temannya Xavion. Kami bertubrukan di depan lorong dan sama-sama terjatuh kencang ke atas lantai.” “Hak sepatu Prada-nya patah dan dia marah padaku. Dia minta aku menggantinya. Tentu saja aku tidak bisa menggantinya. Mana mungkin?” tunduk Hanae. Ezra melihat sang gadis meremas-remas jemari di atas meja. Pertanda sedang sedih dan gundah. Sesuatu yang juga tak pernah berubah dari Hanae. “Namanya Jessica Mendoza. Dia sudah mengejar Xavion sejak bertahun-tahun lalu. Apa Xavion tidak mencegahnya menamparmu?” “Xavion tidak melihat saat dia menamparku. Tapi, begitu melihat dia menjambakku, Xavion menghentikannya. Dia mengusir wanita itu pergi.” “Jessica juga yang merusak kacamatamu? Sejak kapan kamu memakai kacamata?” tanya Ezra memerhatikan mata Hanae. Dia ingat betul saat terakhir bertemu, gadis itu tidak memakai kacamata. “Sejak masuk kuliah. Aku terlalu sering membaca novel dalam gelap. Untuk menghemat listrik, setiap jam 10 malam semua lampu di panti asuhan harus mati. Aku sering membaca hingga lewat tengah malam,” kenang Hanae Lirih. Ia lanjut menjawab, “Iya, Jessica yang merusak kacamataku. Dia membantingnya.” “Hmm,” gumam Ezra. “It’s okay. Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Selesaikan makanmu dan kita ke toko kacamata sekarang juga. Aku akan membelikanmu kacamata baru.” “No, no, tidak usah. Tadi, Xavion bilang dia yang akan membelikan kacamata baru untukku.” Ezra menggeleng sambil tersenyum kecil. “Xavion sedang makan siang dengan jaksa agung membahas kasus mafia Don Francisco. Dia tidak akan kembali hingga sore atau bahkan malam.” “Sudah, mau Xavion atau aku yang membelikan sama saja, bukan? Yang penting, kamu sudah punya kacamata baru.” Hanae berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Ya, baiklah. Tapi, beli yang murah saja supaya saat gajian nanti aku bisa menggantinya.” “Sudah kubilang, aku akan membelikanmu kacamata baru. Membelikan berarti kamu tidak perlu menggantinya, Hanae,” kekeh Ezra menggeleng. Hanae tersenyum sambil menunduk haru. Ia tidak menyangka bisa bertemu orang sebaik Ezra di gedung kejaksaan ini. Ucapnya kemudian terdengar pelan, “Terima kasih, Ezra.” *** Benar saja, saat hari menjelang senja barulah Xavion kembali ke kantor. Ketika melintas di depan meja Hanae yang tengah bersiap pulang, langkahnya terhenti. Wajah tampan yang dingin dan angkuh memerhatikan pipi anak buahnya. “Kamu sudah kompres bekas tamparan Jessica dengan es batu dari lemari pendinginku?” Hanae menggeleng, “Uhm, tidak, aku tidak mengompresnya. Tapi, sudah tidak terasa sakit.” “Kenapa tidak kamu kompres, hah? Itu masih tersisa bekasnya sedikit berwarna merah di pipimu!” Xavion berjalan mendekat dengan tatap tajamnya. Hanae cepat menunduk dalam rasa takut. Bukankah kata Ezra bosnya ini sedikit temperamen? Dia juga sudah pernah merasakan omelan Xavion beberapa kali sebelum ini. “Malah diam? Aku tanya, kenapa tidak dikompres? Apa kamu sengaja menyakiti diri sendiri?” hentak Xavion sudah ada di depan meja persis. Hanae menggeleng, lalu menjawab dengan suara takut-takut. “Tadi siang aku pergi makan dengan Ezra. Saat kembali, aku sudah tidak merasa sakit dan segera mengerjakan tugas-tugas.” Kening Xavion mengerut tebal. “Kamu makan siang dengan Ezra? Dia yang mengajakmu? Dia yang mengajakmu keluar?” Hanae mengangguk dengan masih menundukkan kepala. Sesuatu mengganggu pikiran Xavion. Sahabatnya itu tak pernah terlihat dekat dengan perempuan mana-mana. Selalu fokus bekerja, bahkan lebih sering makan siang di dalam kantornya sendiri. Ada apa mendadak makan siang dengan Hanae? Namun, melihat Hanae terus menunduk dengan rasa takut padanya membuat ia malas untuk mencari tahu lebih jauh lagi. Ia hanya kemudian melihat perbedaan di wajah Hanae dan teringat sesuatu. “Oh, iya, aku sudah janji mau mengganti kacamatamu. Tunggu sebentar. Aku akan meletakkan berkas penting di meja, lalu akan kubelikan kacamata baru untukmu.” Hanae menggeleng, “Tidak perlu. Tadi Ezra sudah membelikan kacamata baru untukku.” Dan wajah Xavion mendadak merah padam setelah mendengarnya. Ia bernapas memburu dan sebuah pertanyaan terlontar dengan nada yang pedas. “Atasanmu itu aku atau Ezra? Kalau aku bilang aku yang akan membelikanmu kacamata, berarti aku yang akan membelikannya!” “Kalau kamu lebih suka memakai kacamata dari Ezra, sekarang juga kamu pindah saja jadi anak buahnya! Sialan!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN