“Lu aja yang Sholat, kan lu alim, gua tidak alim!” teriak Sasya dan kembali menyelimuti tubuhnya hingga kepala.
Lagi-lagi Haikal hanya bisa menelan pil kekecewaan, dia kembali Shalat sendiri.
Setelah Shalat, Haikal kembali menghampiri Sasya, “Bangun Sayang, mandi dulu, sudah Mas siapin air hangat di bak mandi,” ucap Haikal kembali dengan lemah lembut.
Sasya menyibakkan selimutnya dengan kasar.
“Jangan panggil gua Sayang, lu pikir gua sayang lu, ogah gua, gua jijik dan risih sama lu, jadi gak usah sok-sok dekat!” hardik Sasya yang bangkit dari tempat tidurnya dan langsung masuk ke kamar mandi.
Haikal telah selesai melakukan Shalat dia keluar dari kamar dan menuju halaman rumah untuk menghirup udara segar.
“Eh Tuan Haikal, sudah saya siapkan kopi di meja makan, apa saya bawa keluar?” tanya pembantu Haikal yang sedang mengeluarkan sampah dari rumah.
“Tidak perlu Bu, biar nanti saya sendiri yang ambilin,” jawab Haikal.
“Jangan panggil Bu, Tuan, panggil saja saya Bibi,” sahutnya kembali.
“Iya Bi,” Haikal menjawab sambil tersenyum.
Pembantu tersebut sudah selesai membuang sampah, dia segera cuci tangan di keran air luar yang memang di pergunakan untuk mencuci tangan.
“Bagaimana di sini Tuan? Betah?” tanya pembantunya, wanita yang sudah berumur lebih 60 tahun itu masih setia bekerja di rumah kakek Sulaiman.
“Alhamdulillah Bi,” jawab Haikal menjawab dengan senyumnya yang manis.
“Hayuk masuk dulu Tuan, biar Tuan sarapan sama-sama di dalam, sama anggota keluarga yang lain,” ajak pembantunya.
“Baik Bi.”
Haikal kembali masuk ke dalam, benar saja seperti yang pembantunya bilang, semua orang sudah berkumpul di meja makan menunggu Haikal masuk.
“Nah, itu Nak Haikal, mari duduk kita sarapan sama-sama,” ucap kakek Sulaiman begitu melihat Haikal datang.
Sasya mencebik bibir bawahnya melihat kelakuan Haikal pagi ini, gara-gara Haikal keluar pagi-pagi membuat mereka harus menunggu Haikal untuk melakukan sarapan.
“Baik Kek, maaf jadi menunggu,” sahut Haikal yang merasa tidak enak karna ditunggui.
“Tidak masalah, ayo-ayo silakan makan,” lanjut kakek Sulaiman kembali.
Sasya menghidangkan nasi untuk Haikal beserta lauknya dan mereka mulai makan dengan serius.
“Kek, Sasya minta rumah dong,” ucap Sasya setengah merengek.
“Untuk apa?” tanya kakek Sulaiman.
“Ya biar Sasya sama Mas Haikal bisa mandiri, kalau tinggal di sini terus, Sasya gak bisa mandiri,” jawab Sasya beralasan.
“Boleh, kamu mau rumah yang di mana?” tanya kakek.
“Sasya mau rumah yang kakek beli bulan lalu, Sasya suka rumah itu.”
“Oh yang itu, boleh, kapan kalian mau pindah ke sana?”
“Hari ini juga Kek, lebih cepat kan lebih baik.”
Kakek Sulaiman mengerutkan keningnya mendengar jawaban Sasya.
“Sepertinya ada yang tidak beres,” batin kakek Sulaiman.
“Oh boleh, nanti bilang sama bibi bantu persiapkan barang-barang kamu, Haikal hari ini mau ke mana?” tanya kakek.
“Haikal mau pulang sebentar Kek, baju-baju Haikal juga masih ada di rumah semua,” jawab Haikal.
“Iya, tidak masalah, titip salam untuk kedua orang tua kamu ya, Sasya kamu tidak ikut temani Haikal pulang?” tanya Kakek.
‘Ah malas banget, tapi kalau aku gak ikut nanti kakek pikir aku tidak senang sama orang tuanya dia, benar-benar merepotkan!’ batin Sasya.
“Ikut Kek,” jawab Sasya sambil tersenyum kecut.
“Kalau Dek Sasya tidak mau ikut juga tidak apa-apa, Mas pulang sendiri saja,” sahut Haikal.
“Tidak Haikal, seorang istri harus selalu ada di samping suami, begitu juga seorang suami yang harus selalu ada di samping istri, apalagi ini silaturahmi sama mertuanya, itu bukan lagi hal main-main,” jawab kakek Sulaiman.
Sasya tersenyum kecut mendengar ucapan kakeknya, mau tidak mau dia harus ikut bersama Haikal untuk pulang ke rumah orang tuanya Haikal.
“Nanti kalian pakai saja mobil kakek yang satu lagi, nanti kakek belikan kalian mobil baru, biar kalian ke mana-mana bisa pergi pakai mobil kalian,” lanjut kakek Sulaiman lagi.
“Mobilnya atas nama Sasya Kek kan?” tanya Sasya dengan penuh percaya diri.
“Nanti kakek pikirkan, atas nama kamu atau nama kakek.”
“Ah kakek, atas nama Sasya saja, kan Sasya sudah besar, sudah bisa punya mobil sendiri,” jawab Sasya setengah merengek.
“Iya iya, ya sudah kamu sarapan cepat, mungkin Haikal mau pulang ke rumah orang tuanya sekarang,” ucap kakek Sulaiman.
Setelah mereka menyelesaikan sarapan mereka, Haikal seperti yang diminta oleh kakek Sulaiman memakai mobilnya, mengeluarkan mobil dari garasi, dia memilih mobil yang sederhana.
“Jangan yang itu, ambil mobil yang paling depan saja Haikal,” pinta kakek Sulaiman saat melihat Haikal mengeluarkan mobil yang biasa saja.
Haikal melihat ke arah yang ditunjukkan oleh kakek Sulaiman, mobil yang sangat mewah, dia bahkan merasa tidak percaya diri untuk menaikinya.
“Yang ini saja Kek,” jawab Haikal menolak permintaan Kakek.
“Sudahlah, nurut sama ucapan kakek,” sela Sasya yang melihat perdebatan kakek sama Haikal.
“Iya Haikal, kamu sudah jadi bagian dari keluarga ini, kamu sudah menjadi cucu kakek.”
Dengan langkah berat Haikal mengeluarkan mobil termewah yang disuruh pakai oleh kakek Sulaiman, setelah itu Haikal langsung membuka pintu mobil untuk Sasya.
“Kami jalan dulu Kek ya,” ucap Haikal pamit pada kakek.
“Iya, kalian hati-hati ya.”
Haikal langsung melajukan mobilnya keluar dari gerbang rumah kakek Sulaiman.
“Aku mau ke kantor polisi!” ucap Sasya dengan wajah ketusnya.
“Ke kantor polisi?” Haikal mengulang kalimat Sasya.
“Iya, Lu budek ya gak bisa dengar, gua bilang gua mau ke kantor polisi!”
“Tapi tadi di rumah kita kan sudah janji mau ke rumah orang tua kita,” sahut Haikal.
Dia tahu Sasya ke kantor polisi ingin bertemu siapa, siapa lagi kalau bukan pacarnya yang gagal menikahinya karna ditangkap polisi.
“Orang tua lu! Bukan orang tua gua!” bantah Sasya dengan cepat.
“Tapi Dek,” Haikal sudah sangat rindu sama orang tuanya, dia ingin segera menuju ke sana.
“Terserah gua mau bilang apa, mau ke mana, kalau lu tidak bisa mengantar gua, turunin gua di sini, gua bisa naik taksi!”
Bersambung ...