11

1003 Kata
“Terserah gua mau bilang apa, mau ke mana, kalau lu tidak bisa mengantar gua, turunin gua di sini, gua bisa naik taksi!” “Jangan, biar Mas yang antar,” jawab Haikal mengalah, dia memutar arah mobilnya dan pergi menuju kantor polisi. Sesampainya di kantor polisi, Sasya langsung turun dari mobil dan tanpa menunggui Haikal dia masuk ke dalam kantor polisi untuk menemui Gibran. “Pak saya mau bertemu Mas Gibran yang kemarin di bawa!” ucap Sasya yang masih sempat di dengar oleh Haikal karna mengikuti Sasya masuk ke dalam. “Tunggu sebentar Mbak ya, biar saya panggilkan orangnya dulu,” jawab polisi tersebut. Tak berapa lama, Gibran keluar dengan baju tahanannya yang masih melekat di badan. “Sayang,” panggil Sasya yang langsung memeluk Gibran. Haikal yang melihat pemandangan tersebut hanya bisa menunduk pasrah, dia tahu, dia hanya suami di atas kertas, dia hanya bisa menguasai raga Sasya, tapi tidak dengan hatinya. Sekali lagi, dia hanya bisa menguasai raga Sasya! Jadi sudah sepatutnya pemandangan yang sedang terjadi di hadapannya harus segera berakhir! Dia suami Sasya! Hanya dia yang boleh menyentuh Sasya saat ini. “Maaf,” ucap Haikal menepuk pundak Gibran beberapa kali hingga Gibran akhirnya melepaskan pelukan tersebut. “Ada apa?” tanya Gibran dengan tatapan tidak suka karna Haikal mengganggu waktu romantisnya bersama Sasya. “Tolong jangan menyentuh Sasya, karna dia sudah sah menjadi istri saya,” ucap Haikal dengan suara lantang membuat Sasya kaget karna Haikal seberani itu. “Apa? Kamu sudah jadi istri dia Sayang?” tanya Gibran tidak percaya. “Heh laki gila!” panggil Sasya pada Haikal, “Aku menikah sama kamu karna paksaan kakek! Jadi kamu tidak berhak mengatur-ngatur hidup gua kalo bukan di depan kakek!” lanjut Sasya lagi menatap Haikal dengan ujung matanya. “Saya sudah sepatutnya melarang Dek Sasya, karna secara agama dan negara, saya sudah sah menjadi suami kamu,” jawab Haika dengan tegas tak mau lemah di depan Gibran. Sasya meradang melihat kelakuan Haikal, tidak ingin melanjutkan perdebatan dengan lelaki yang menurutnya tak berguna sama sekali, Sasya mulai duduk mengobrol dengan Gibran. “Mas akan segera bebas, kamu tenang saja,” ucap Gibran sambil menggenggam tangan Sasya. Haikal yang melihat Gibran memegang tangan Sasya melepaskan genggaman tangan tersebut. “Kalau kalian masih genggaman tangan saat bicara, saya akan duduk di antara kalian berdua,” tutur Haikal dengan tegas tak main-main membuat Sasya rasanya ingin menggampar wajahnya Haikal. Dengan terpaksa, Sasya dan Gibran melepaskan genggaman tangan mereka dan lanjut mengobrol. “Sayang, kamu percaya kan kalau Mas tidak bersalah, Mas hanya dijebak,” lanjut Gibran mengobrol dengan Sasya. “Iya Sayang, aku percaya kok sama kamu,” jawab Sasya yang ingin menggenggam kembali tangan Gibran, tapi Haikal langsung menggeser tangan Sasya supaya menjauhi tangan Gibran. “Sayang, kamu harus pisah sama lelaki ini, aku tidak mau melihat kamu jadi milik lelaki lain,” ucap Gibran setengah memohon pada Sasya. “Oh tentu Sayang, aku juga tidak akan sudi hidup selamanya sama dia, ini saja rasanya hidupku sudah seperti di neraka,” jawab Sasya melirik Haikal dengan ujung matanya dengan perasaan malas. Ada rasa sedih yang terlalu dalam di hati Haikal, dia merasa pernikahannya ini sangat tidak seperti yang dia harapkan, dia selalu membayangkan keromantisan rumah tangga yang dimiliki oleh Ummi dan Abinya. Nyatanya, jangankan untuk melakukan hal romantis, berbicara saja Haikal harus hati-hati dan harus bersiap-siap di cueki oleh Sasya. Tapi nasi sudah jadi bubur, pernikahan pun sudah terjadi, tidak ada yang perlu disesali selain menerima takdir tersebut dengan lapang hati, dia harus berusaha membuat bubur tersebut lezat untuk dinikmati. Setelah selesai mengobrol dengan Gibran, Sasya pamit pulang, Haikal yang tanpa bersuara langsung mengendarai mobil mereka menuju rumah Haikal. “Ngapain sih ajak gua ke sini? Malas banget gua!” gerutu Sasya yang enggan turun dari dalam mobil. “Sasya, saya tau kamu tidak suka sama saya, terserah kamu mau bersikap bagaimana dengan saya, tapi tidak dengan orang tua saya, bagaimana pun sekarang mereka jadi mertuamu!” ucap Haikal dengan tegas, Sasya sedikit kaget mendengar kalimat Haikal yang sangat tegas. “Aku tidak menghendaki pernikahan ini, jadi orang tuamu tetap orang tuamu, bukan mertuaku, amit-amit!” jawab Sasya yang mengekspresikan seperti jijik terhadap orang tuanya Haikal. Haikal menatap tajam pada Sasya, seolah-olah siap menelan Sasya hidup-hidup. “Kamu tidak ada hak untuk menjelek-jelekkan orang tua saya, kalau kamu memang tidak suka sama mereka, sebaiknya kamu diam dan jangan tunjukin sifat burukmu itu atau saya tidak akan segan-segan melaporkan sikap burukmu ini pada kakek kamu! Kamu harus ingat, pernikahan ini atas kemauan kakekmu, bukan kemauan saya ataupun orang tua saya, jadi berhenti menghina orang tua saya!” tegas Haikal membuat Sasya terdiam. Sasya benar-benar tidak menyangka Haikal bisa sekasar itu, padahal bagi Haikal itu hanya sebuah penegasan untuk mengajari Sasya bagaimana punya sopan santun. Dengan terpaksa Sasya turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah Haikal. “Assalamu’alaikum,” ucap Haikal memberi salam untuk kedua orang tuanya. “Wa ... wa’alaikum salam, loh kalian tidak bilang-bilang mau pulang, kalau Ummi tahu kalian pulang, Ummi siapin makanan kesukaan kalian berdua,” ucap Umminya Haikal dengan ramah. Haikal mencium tangan Umminya disusul dengan tangan Abinya yang baru keluar dari kamar, begitu juga dengan Sasya, dia mengikuti seperti yang dilakukan oleh Haikal sambil memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Tidak perlu repot-repot Ummi, Haikal dan Sasya ke sini untuk mengambil baju ganti Haikal, sekalian Haikal juga mengambil buku-buku pelajaran untuk Haikal pelajari karna Haikal akan kembali aktif untuk mengajar Les dan mengaji,” sahut Haikal yang dijawab dengan anggukan oleh kedua orang tuanya. “Sebentar, biar Ummi buatkan minum untuk istri kamu,” tutur Umminya Haikal yang hendak bangun untuk membuatkan minum untuk Sasya. Haikal langsung mencegah langkah Umminya, “Tidak perlu Ummi, kami baru saja selesai makan tadi di jalan pas menuju ke sini, Ummi bantu Haikal saja, bantu Haikal memasukkan baju-baju Haikal biar lebih cepat, Haikal harus ke kampus setelah ini, mengurus beberapa keperluan Haikal untuk melanjutkan s2,” ucap Haikal menarik tangan Umminya menuju kamarnya. Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN