6. Patah
“Jangan lupa ya tugasnya dikumpulkan di pertemuan mendatang. Yang nggak mengumpulkan, nggak akan saya kasih nilai,” Aldebaran mengakhiri proses belajar-mengajar itu dengan memberikan tugas pada mahasiswa.
“Baik, Pak,” jawab mereka serempak.
Aldebaran keluar dari ruangan dan berjalan menuju ruang kerjanya. Seorang mahasiswa mengamatinya dengan tatapan penuh kebencian.
“Dosen blagu. Kesel banget sumpah sama dia. Ngajuin judul aja nggak di-ACC mulu. Udah sebulan ublek-ublek mulu urusan judul. Udah gitu suka marah-marah. Tapi kalau sama cewek, baiknya minta ampun. Itu si Reva, begitu ngajuin judul, langsung di-ACC. Dosen mata keranjang emang nyebelin.” Mahasiswa bernama Alex mengepalkan tangannya geram. Tatapan itu masih menyasar pada sosok Aldebaran yang tengah berjalan.
“Sabar, Lex. Positive thinking aja, barangkali judulmu emang belum sreg buat dia. Cari judul yang sesuai sama mata kuliah dia, barang kali itu bikin dia cepat ACC.” Teman baiknya yang bernama Gandhi turut berkomentar.
“Gimana bisa positive thinking kalau begini caranya? Aku tuh tersinggung waktu dia nuduh aku nggak serius ngerjain semuanya. Pakai nyebut aku mahasiswa tipe urakan, suka have fun nggak jelas, dan ngawur. Emang segitu parahnya apa? Dia nggak ngaca. Kayak udah bener aja. Aku pernah lihat dia di club.” Alex bersedekap dan mengembuskan napas kesal.
“Kalau soal itu, aku juga pernah denger. Kayaknya bukan rahasia lagi kalau Pak Aldebaran.... ya begitulah...,” tanggap Gandhi.
“Ih gosip... Cowok-cowok kok ngegosip.”
Keduanya terkejut dengan kehadiran Reva yang tiba-tiba menyelinap diantara keduanya.
“Bukan gosip, tapi fakta. Kamu mah termasuk fansnya Pak Alde, makanya nggak terima kita ngobrolin dia,” ucap Alex kesal.
“So what kalau aku ngefans?” Reva menatap Alex dan Gandhi bergantian.
“Hmm... Tunggu aja ya, kalau aku ketemu lagi sama dia di club, aku jepret aja, terus aku posting fotonya. Biar tahu rasa dia kalau Pak Dosen yang katanya guanteng itu, nggak sebaik mukanya. Nakal dia.. Aris pernah lihat dia ciuman sama cewek di club.” Alex masih saja kesal. Sejak dulu dia memang sering bermasalah dengan Aldebaran. Yang membuatnya semakin kesal, setiap mengikuti mata kuliah yang diampu dosen 31 tahun itu, nulainya selalu C.
“Masa sih Pak Alde begitu?” Reva mengernyitkan alisnya.
“Jadi cewek jangan terlalu naif. Banyak cowok yang kamu pikir berbulu ayam, tak tahunya berbulu musang. Jangan ketipu sama mukanya,” seloroh Alex.
“Termasuk kalian?” Reva kembali menatap dua pemuda itu bergantian.
“Nggaklah kita mah anak baik.” Alex menaikkan kerah jaketnya.
Reva tertawa, “Oh anak baik, ya... Sering clubbing dan balap liar itu anak baik ya.” Reva tertawa sekali lagi.
Tawa mereka terhenti ketika sosok dosen muda bernama Laksita berjalan di depan mereka. Ketiga mahasiswa itu mengangguk dan tersenyum.
Alex menatap takjub langkah sang dosen yang sudah menjauh.
“Nah itu baru dosen cantik, bikin mata adem lihatnya. Coba ya dapat dosen pembimbing kayak dia, aku bakal semangat ke kampus terus.” Alex tersenyum.
“Aku juga mau kali dapat dosen pembimbing kayak dia. Dengar-dengar sih dia naksir sama Pak Alde,” balas Gandhi.
“Nggak kebalik, Pak Alde yang naksir dia?” Alex menaikkan alisnya.
“Wajar lah Bu Sita naksir Pak Alde. Abis ganteng banget.” Reva menangkup kedua pipinya.
“Hoeekk...” Alex meniru adegan mau muntah.
“Udah ah, mending kita ke kantin.” Gandhi merangkul kedua sahabatnya dan berjalan beriringan menuju kantin.
******
Selesai jam mengajar, Aldebaran langsung bertolak ke coffee shop milik Satria. Sahabatnya itu mengatakan bahwa ia akan memberikan alamatnya langsung tanpa lewat w******p. Aldebaran semakin tak sabar dan penasaran.
Setiba di coffee shop, seperti biasa ia duduk di pojok. Satria tersenyum menyambutnya.
“Mana alamatnya?” Aldebaran sudah tak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya.
“Sabar, bro. Nih aku jelasin one by one. Ikuti dulu penjelasanku.” Satria duduk di sebelah Aldebaran dan menunjukkan layar ponselnya.
Aldebaran serius menyimak.
“Semalam aku begadang, stalking ig Dinda demi dapetin alamat Riana. Jadi gini ceritanya. Aku lihat postingan Dinda yang paling baru.” Satria menunjukkan foto Dinda dan temannya di Small World Baturraden, background-nya kincir angin Belanda, yang ada bunga-bunga tulipnya itu.”
“Ya terus...,” ujar Aldebaran.
“Aku merhatiin komen-komennya. Ada satu komen dari akun cowok, namanya Henri. Kok komennya kayak yang akrab gitu. Dia nanya kapan Dinda ke Bandung, katanya ada reuni SMP. Aku nebak, Dinda dulu SMP-nya di Bandung. Aku kepo, Henri ini siapa. Secara, aku lumayan tertarik sama Dinda. Seumur hidupku, baru kali ini aku stalking akun cowok, si Henri ini.” Satria membuka profil akun Henri.
“Apa hubungannya sama Henri?” Aldebaran mengernyit.
“Selow, bro... Selow... Ikuti terus aja. Namanya memecahkan kasus itu terkadang berkelok-kelok, naik turun gunung.”
“Iya.. iya... terusin,” tukas Aldebaran.
“Aku lihat postingan si Henri. Barangkali ada fotonya bareng Dinda atau komenan Dinda di situ. Dari 150 postingan dia, aku dapet juga jejak komen Dinda di situ. Dia berbalas komen sama cewek. Rupanya Dinda, Henri, dan temen cewek itu dulu satu SMP. Komen si cewek yang namanya Dela ini kok lumayan akrab jg sama Henri. Aku jadi bingung, si Henri ini pacarnya Dinda apa bukan, apa pacarnya Dela. Jadilah aku stalking ke akun instagramnya Dela.”
Aldebaran mengernyitkan alisnya, “Kok jadi muter-muter? Mana alamat Riana?” Aldebaran sudah menunjukkan gelagat tak sabar.
“Sabar, bro...Ini aku lagi menjelaskan. Simak dulu.” Nada bicara Satria sedikit ketus.
“Iya terusin...” ujar Aldebaran.
“Postingan Dela ini lumayan ada 300an positingan. Awalnya aku mau nyerah. Tapi kok postingannya menarik. Dia suka fotografi. Banyak foto-foto pemandangan bagus. Aku lihat satu per satu. Terus aku nemu komentar dari salah satu akun yang foto profilnya cantik bener. Lihat foto profilnya aja udah mancing ke-kepo-anku. Aku iseng lah buka profilnya. Namanya Franda. Mojang Bandung, cantik, kulit putih bersih, muka imut kayak Barbie. Pas lihat postingannya, aku kaget waktu nemu foto dia bareng cewek yang mukanya familiar.” Satria menunjukkan foto Franda bersama gadis berparas cantik khas Jawa.
Aldebaran terbelalak. Gadis itu Riana, yang sangat ia cintai. Ada desiran yang bertalu. Hanya melihat fotonya saja, rasanya berdebar setengah mati. Ada kebahagiaan yang membuncah saat tahu gadis pujaannya baik-baik saja bahkan berpose dengan senyum manis.
“Ini Riana? Jadi kamu dapet alamat dari Franda? Mereka pakai seragam guru, ya? Riana ngajar di Bandung?”
“Sabar, bro. Ini belum selesai. Kalau nanya langsung ke Franda nggak enak lah. Orang nggak kenal. Bisa-bisa dia takut. Aku lihat-lihat postingannya. Aku nemu foto yang jadi kunci dari pencarian kita selama ini.” Satria menunjukkan foto Franda di depan pintu gerbang Sekolah Dasar, lengkap dengan nama SD tempat ia mengajar.
“SD Cempaka kecamatan Soreang, kabupaten Bandung.” Aldebaran membaca deretan huruf itu. (Nama SD fiktif ya. Di Soreang nggak ada SD itu. Aku nggak mau bawa nama sekolah/instansi, jadi untuk nama SD fiktif).
Senyum lebar mengembang. Di benaknya berputar-putar rencana untuk berangkat ke Bandung. Dia pernah beberapa kali menyambangi Bandung, hanya saja dia tak begitu paham daerah Soreang.
“Jadi kapan kamu ke sana?” tanya Satria.
Aldebaran tersenyum.
“Weekend nanti aku belum bisa ke sana, Alea mau nginep di rumah. Aku mesti nyari jadwal kosong. Paling nggak mesti nyari info hotel juga di Soreang. Fix, ya, Riana ngajar di sekolah ini.” Aldebaran mengelus dagunya.
“Sendirian ke sana? Bawa mobil sendiri?” tanya Satria lagi.
“Ya sendiri. Kecuali kalau kamu mau ikut nemeni, ya hayuk. Kayaknya emang mesti bawa mobil sendiri, biar bebas gerak.”
Satria memutar bola matanya seakan tengah memikirkan sesuatu.
“Sebenarnya aku pingin nemeni, tapi lihat nanti, ya. Coffee shop-ku lagi ramai-ramainya.”
“Makasih banyak ya, Sat. Nggak nyangka kamu bisa diandalkan begini.” Wajah Aldebaran terlihat begitu sumringah.
“Jangan lupa setengah gajimu...” Satria tersenyum sembari menaikkan kedua alisnya.
“Beres lah. Dasar mata duitan,” cibir Aldebaran.
Satria tertawa ngakak.
******
Tiga hari kemudian...
Aldebaran duduk di mobil seraya awas mengamati pintu gerbang SD Cempaka. Ini adalah moment yang paling ditunggu Aldebaran. Dua hari yang lalu, ia menghabiskan waktu bersama Alea. Hari ini ia izin tidak berangkat ke kampus. Besok dia harus kembali ke Purwokerto. Sebelum berangkat ke Soreang, kabupaten Bandung, sebelumnya ia mencari informasi tentang kecamatan Soreang termasuk informasi lokasi SD Cempaka serta hotel untuk menginap. Ia memilih hotel kecil yang terjangkau tarifnya. Ia hanya butuh menginap dua malam saja. Dia berangkat ke Soreang kemarin sore, setelah mengantar Alea pulang. Tiba di Soreang malam dan ia langsung menuju hotel yang sudah di-booked sebelumnya. Pagi ini dia bangun kesiangan karena kelelahan. Dia baru bisa datang ke SD Cempaka siang ini. Ia setia menunggu hingga saatnya jam pelajaran berakhir. Ia berharap segera bertemu dengan Riana.
Penantiannya berbuah manis kala murid-murid bergerombol keluar dari pintu gerbang sekolah. Aldebaran memicingkan matanya saat sosok yang ia yakin bernama Franda itu keluar dari pintu gerbang. Ia bertanya-tanya, di mana Riana?
Aldebaran keluar dari mobil yang ia parkir di pinggir jalan. Dia menyeberang menuju pintu gerbang sekolah. Ia berdiri di dekat pintu gerbang sembari mendongakkan wajahnya dan mengintip apa yang ada di dalam. Suasana sudah agak lengang. Ada beberapa orang berseragam guru yang lewat, tapi sosok Riana belum juga muncul.
Aldebaran membalikkan badan, kembali menerawang ke arah jalan. Kendaraan berlalu lalang. Ia mematung, setia menunggu sang pujaan.
“Maaf, permisi...”
Suara yang familiar mengagetkannya. Ia tak sadar berdiri di tengah pintu gerbang dan menghalangi jalan. Ia berbalik dan terkejut mendapati sosok yang ia cari berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang tak kalah kaget.
“Riana....” Debaran itu terasa semakin kencang. Jantungnya tak hanya terasa seperti berhenti berdenyut, tapi seakan lepas. Bahagia dan haru bercampur-campur. Rasanya ingin memeluk gadis itu saat itu juga. Namun ia berusaha mengendalikan diri.
Di saat yang sama Riana juga merasakan gugup luar biasa. Jantungnya berpacu lebih cepat. Dadanya berdebar-debar. Ia hanya terdiam, tak mampu berkata-kata. Tak pernah terbayangkan olehnya, Aldebaran akan menemukannya di kota ini.
“Ri... Akhirnya aku menemukanmu.” Aldebaran tersenyum dan berusaha menetralkan debaran di dadanya yang masih bergetar hebat.
“Dari mana kamu tahu aku di sini? Apa Dinda yang ngasih tahu?” Riana mengira Dinda mengkhianati kepercayaannya kedua kali.
“Dinda nggak ngasih tahu. Aku tahu dari hasil stalking i********:. Temanku membantuku menemukan info sekolah ini. Semua memang berawal dari i********: Dinda, sampai akhirnya dia stalking ke beberapa akun ig dan menemukan ig Franda. Tak penting semua itu, yang penting aku bisa melihatmu.”
Keduanya membisu untuk sesaat. Dua mata itu beradu. Riana buru-buru membuang muka.
“Ri, pulanglah ke Purwokerto. Aku akan melamarnya segera,” ucap Aldebaran.
Riana bergegas melewati Aldebaran. Laki-laki itu mencengkeram tangan gadis itu.
“Aku belum selesai bicara, Ri. Jangan buru-buru pergi. Besok aku harus kembali ke Purwokerto.”
Riana berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Aldebaran. Di satu sisi, ia bahagia bisa melihat sosok itu lagi, di sisi lain ia kembali merasa takut, takut perasaan itu akan tumbuh semakin dalam. Ia ingin menghindari laki-laki itu meski rasa itu masih terjaga untuknya.
“Lepasin aku, Al. Lepasin. Aku nggak mau balik ke Purwokerto. Aku nggak mau menikah denganmu.”
Lagi-lagi hatinya tercekat mendengar penolakan Riana.
“Jangan bohongi perasaanmu. Aku tahu kamu menyimpan perasaan sama aku, Ri.” Aldebaran tak ingin melepaskan cengkeramannya.
Sorot mata Aldebaran yang begitu tajam seolah mematikan Riana, membuatnya tak berkutik. Ia tak ingin tenggelam dalam cinta yang tak pernah ia harapkan untuk datang.
“Biarkan aku tenang di sini, Al. Aku nggak mau menikah denganmu.” Riana menghentakkan tangannya berkali-kali, berusaha melepaskan diri.
“Lepaskan dia...”
Baik Aldebaran maupun Riana menoleh ke arah sumber suara. Rayyan datang di saat yang tepat. Sudah dua hari berturut-turut ia menjemput Riana pulang. Dia selalu mengajak keponakannya, anak dari saudara sepupunya, yang berusia delapan tahun untuk turut serta. Sebelum menjemput Riana, ia datang ke sekolah keponakannya terlebih dahulu, barulah setelah itu ia menjemput Riana. Gadis itu tak enak hati menolak karena tak mau mengecewakan ummi dan abah yang berharap ia mau membuka hati untuk Rayyan.
Aldebaran mengendurkan cengkeramannya. Riana berhasil melepaskan diri. Pria 31 tahun itu menatap sang pemuda begitu menelisik. Apa ini pesaing beratnya untuk mendapatkan hati Riana? Aldebaran bertanya-tanya ada hubungan apa antara Riana dan pemuda itu?
Aldebaran beralih menatap Riana yang tertunduk.
“Siapa dia?”
Riana tak menjawab apapun.
“Saya Rayyan. Saat ini saya sedang berusaha untuk membuka hati Riana agar mau ta'arufan sama saya.” Rayyan menjawab lantang.
Aldebaran mengernyitkan dahi. Dia kembali menatap Riana.
“Kamu bersedia ta'arufan sama dia?”
Riana tak menjawab apapun. Aldebaran mengartikan, saat ini Riana tengah berta'aruf dengan Rayyan, karena itu ia begitu dingin padanya dan sengaja menghindarinya.
“Kamu mencintai dia?” tanya Aldebaran lagi.
Lagi-lagi Riana membisu. Bibirnya terkatup.
“Okay, kamu menerima ajakan ta'aruf orang lain dan kamu menolak ajakanku untuk menikah.” Aldebaran tak dapat lagi menyembunyikan kekecewaannya. Ia berharap Riana masih menjaga hati untuknya tapi ternyata semudah itu ia berta'aruf dengan orang lain. Bahkan ada kemungkinan Riana mencintai pemuda itu karena gadis itu hanya terdiam saat ia menanyakannya.
Tanpa bicara apa-apa lagi, Aldebaran melangkah keluar pintu gerbang dengan segunung rasa kecewa. Riana terpaku menatap langkah laki-laki yang mengobrak-abrik perasaannya. Langkah itu terus menjauh dan ia hanya mematung. Rasanya begitu sakit... Ia tak mengira akan sesakit ini. Ia pikir dengan menjauh dari pria itu, segalanya akan lebih baik, tapi ternyata ia salah. Kini hatinya jauh lebih sakit, berserakan entah kemana saat ia sadar, mungkin selepas ini Aldebaran tak akan lagi datang padanya.
******