6. Masih Berharap
Aldebaran melangkah gontai menuju mobil. Ia hempaskan tubuhnya di jok dan tatapannya masih tajam mengawasi Riana yang masih berdiri di pelataran sekolah. Yang membuat Aldebaran semakin kecewa adalah, Riana tidak jua mengejarnya, ia justru melangkah masuk ke dalam mobil Rayyan.
Aldebaran memukulkan tangannya ke kemudi. Ia kesal karena Riana mau saja berdua dengan laki-laki dalam satu mobil. Pria itu tak tahu bahwa di dalam mobil Rayyan, ada sosok lain yang menemani, ponakan Rayyan yang berumur delapan tahun.
Dia tak akan membiarkan Riana lepas begitu saja. Ia mengikuti laju mobil Rayyan. Mobil itu berhenti di depan pintu gerbang panti asuhan Permata, kini Aldebaran tahu bahwa Riana tinggal di panti asuhan.
Aldebaran kembali ke hotel. Hatinya masih saja bergemuruh. Rasa rindu itu belum terobati sepenuhnya. Namun kekecewaannya pada Riana membuatnya sakit hati. Ia cemburu pada pemuda itu. Terlihat jelas, Rayyan begitu menyukai Riana.
Seusai mandi sore, Aldebaran berjalan mondar-mandir di kamar, memikirkan apa yang akan dilakukannya sebelum kembali ke Purwokerto. Rasanya gelisah tak menentu. Ia berencana pulang ke Purwokerto pagi buta, tapi hatinya belum lega jika tidak melihat Riana sekali lagi.
Ia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi w******p. Hal pertama yang ia cari adalah status dari Riana. Ia baca status itu berulang.
Pasrahkan semua pada Allah...
Status yang singkat. Ingin ia menghubungi gadis itu, tapi ia berpikir, mungkin ia perlu menjaga jarak sejenak dari Riana untuk menguji apakah gadis itu merasa kehilangan atau tidak. Namun di sisi lain, ia takut Rayyan akan bergerak lebih cepat darinya.
Aldebaran merebahkan badan di ranjang. Ponsel itu masih ada dalam genggaman. Ia geram sendiri. Gadis yang diharapkan akan sedikit memahami perasaannya, nyatanya tenang-tenang saja dan tidak berinisiatif mengirim pesan untuknya. Aldebaran beranggapan, Riana senang karena ia memilih mundur.
Aldebaran mengetik status di WA-nya.
Patah...
Hanya satu kata yang ia ketik. Satu kata yang mampu mewakili perasaannya. Ia semakin kesal, saat gadis itu tak mau peduli. Jangankan membalas statusnya, membacanya pun tidak.
Karena tak tahan lagi, ia membalas status Riana.
Apa yang harus dipasrahkan? Jodoh? Aku harus pasrah dan nggak perlu memperjuangkan sampai di titik ini? Ketika orang yang aku pikir masih menyimpan perasaan untukku, ternyata sedang berta’aruf dengan laki-laki lain.
Ia menunggu balasan dari Riana, tapi balasan yang diharapkan tak jua datang. Aldebaran kembali mengirim pesan.
Kenapa kamu nggak balas? Kamu benar-benar ingin aku berhenti berjuang? Kamu serius menjalani ta’aruf dengan Rayyan? Mau menikah dengannya? Kalau memang kamu sudah menentukan pilihan, memilih Rayyan, kenapa kamu nggak bilang dari awal? Aku nggak akan memaksamu untuk memilihku meski aku sangat berharap kamu mau ngasih aku kesempatan.
Sepi balasan. Hati Aldebaran kembali retak. Kali ini rasanya lebih sakit. Ia kembali mengetik huruf demi huruf dan mengirimnya pada gadis itu.
Apa masa laluku yang menjadi alasanmu tak memilihku? Apa aku sedemikian rendah di matamu sampai kamu nggak mau kasih aku kesempatan? Allah saja Maha Pengampun, kenapa kamu begitu angkuh untuk memberiku kesempatan? Nasib seseorang nggak akan berubah kalau dia nggak mau berusaha dan aku masih ingin berusaha. Tentu semua Allah yang menentukan. Manusia hanya bisa berusaha yang terbaik. Aku masih ingin memperjuangkanmu. Tapi kalau kamu terus mengabaikanku, aku bisa apa? Aku nggak rela kamu dimiliki Rayyan atau siapapun. Tapi aku juga nggak punya hak untuk mengatur hidupmu.
Aldebaran semakin galau. Ia tak mau kehilangan Riana. Ia tak ingin melepaskan gadis itu. Namun jika Riana terus mengabaikannya, hatinya akan semakin terluka jika ia terus memaksa diri untuk menggapai cinta gadis itu. Dia berpikir, mungkin laki-laki memang sudah sewajarnya mengejar perempuan. Sudah dari sananya, laki-laki terbiasa untuk berjuang lebih keras. Namun ia juga perlu melindungi hatinya. Pada dasarnya semua orang takut untuk terluka dan sakit hati. Memberi proteksi pada hati sejak awal adalah cara terbaik menjaga hati agar tidak jatuh terlalu dalam.
Ia hanya manusia biasa. Sebejat apapun kelakuannya di masa lalu, ia masih punya perasaan dan ketakutan untuk merasakan patah hati tak berujung. Ia akui, urusan cinta terkadang menjadi faktor utama seseorang terluka begitu dalam. Semua bisa saja kacau dalam sekejap jika sudah menyentuh satu urusan itu.
Ego dalam dirinya seolah melolong memintanya untuk berhenti. Ego itu memintanya untuk berpikir ulang dan menggunakan kembali logika yang sudah mati. Ia punya pekerjaan, anak semata wayang yang meski sudah memiliki papa tiri, tapi dia tetap membutuhkan waktu dan kasih sayangnya, ia juga punya keinginan untuk tenang menjalani hidup tanpa harus diresahkan dengan patah hati yang begitu menyiksa. Tentu ia tak mau mengorbankan semua demi seseorang yang bahkan tak memikirkannya, apalagi memberi kesempatan. Demi menemui Riana, dia izin dari kampus dan menunda semua pekerjaan yang harus ia selesaikan. Apa ia harus mengejar sesuatu yang tak pasti, mengejar seseorang yang jelas menolaknya, dan mengabaikan hal-hal lain yang juga penting?
Seseorang kadang menyerah bukan karena tak lagi mencintai, tapi banyak hal yang harus ia pikirkan. Meski hidupnya pernah berantakan, tapi ia tak mau lagi mengacaukan hidupnya karena pikirannya selalu terpusat pada Riana. Atau dia harus terus menduda tanpa memikirkan pendamping hidup? Tak terbersit di pikirannya untuk kembali membuka hati dan jatuh cinta pada wanita lain.
Ia mengetik satu pesan lagi untuk Riana. Mungkin setelah ini, ia tak akan mengirim pesan apapun pada gadis itu. Mungkin ia akan perlahan mundur karena diabaikan itu sungguh menyakitkan. Bukan hanya perempuan yang bisa baper, sakit hati, dan terluka. Laki-laki juga bisa, meski seorang yang b******k sekalipun.
Perempuan yang patah hati, bisa saja seharian menangis, atau mencurahkan isi hatinya pada sahabat terdekatnya. Namun setelah itu, perasaannya akan lebih baik. Bisa saja ia kembali membuka hati jika ada seseorang datang dan benar-benar tulus mencintainya, meski butuh waktu. Lalu bagaimana dengan dirinya? Ia tahu rasa sakit yang seolah menjalar ke seluruh pembuluh darah, begitu berat untuk ia tanggung. Namun ia juga tak bisa gegabah membagi luka yang ia rasakan, termasuk pada Satria atau Eric sekalipun, dua sahabat terdekatnya. Ia sebut Satria sebagai penyelamat di saat ia hendak salah melangkah, sedang Eric bisa dibilang partner ini crime, teman bersenang-senang dan terkadang semakin menjerumuskan, tapi di sisi lain bisa menjadi penasihat yang baik saat otaknya sedang waras.
Terkadang ego sebagai laki-laki berbicara. Ia tak mau dinilai lemah apalagi jika harus menangis diam-diam di kamar, meski kadang ia ingin melakukannya. Mungkin rasa perih yang berkecamuk akan sedikit berkurang seiring dengan aliran air mata. Namun lagi-lagi ia tak mau dibilang lemah. Meski ia tahu, menangis bukan simbol kelemahan, itu hanya cara lain bercerita bahwa dirinya hanyalah seorang manusia. Manusia biasa, yang bahkan saat pertama kali menapak dunia pun sudah mendengungkan tangis.
Ia berusaha memantapkan hati sebelum mengirim pesan itu. Akhirnya pesan itu terkirim.
Kalau kamu memang tak mau lagi aku usik. Kalau kamu memang benar-benar menolakku, aku akan pergi.
Aldebaran menghela napas dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Rasanya ia tak perlu lagi menginap semalam lagi. Mungkin lebih baik untuknya pulang ke Purwokerto malam ini juga.
Saat ia beranjak untuk mengambil baju di lemari, ponselnya berbunyi. Aldebaran terhenyak. Ia menggeser layar ponsel dan membaca satu pesan dari Riana.
Aku punya banyak pertimbangan kenapa menolakmu. Asal kamu tahu, aku tidak sedang berta’aruf dengan siapapun. Aku rasa lebih baik aku menutup hatiku dari siapapun.
Aldebaran terdiam sejenak. Ia lega karena Riana belum berta'aruf dengan Rayyan. Aldebaran membalas pesan tersebut.
Menutup hati? Sampai kapan?
Riana membalas lagi.
Entah...
Aldebaran melirik jarum jam. Sudah pukul sembilan malam. Ia pikir tak apa jika malam ini ia mendatangi Riana di panti asuhan. Ia ingin melihat Riana sekali lagi sebelum kembali ke Purwokerto.
******
Aldebaran mematung di depan pintu gerbang panti yang sudah ditutup. Ia mengucap salam dengan lantang. Baru di ucapan ketiga, seseorang menjawab salamnya dan berjalan mendekat.
Pemuda yang ia taksir usia sembilan belas-dua puluhan menatapnya aneh.
“Maaf, aa siapa, ya?” raut wajah pemuda itu datar dan siratkan kewaspadaan.
“Aku pingin ketemu Riana. Aku ini temannya dari Purwokerto,” balas Aldebaran.
“Sebentar, saya panggilin teteh Riana dulu.” Pemuda itu berbalik menuju panti.
Aldebaran masih berdiri di depan pintu gerbang, menunggu Riana. Ia harap gadis itu mau menemuinya. Ia berbalik dan wajahnya berganti cerah ketika menatap langkah gadis itu keluar dari panti.
Riana tak jua membuka pintu gerbang, ia hanya berdiri di balik pintu pagar yang saat ini menjadi pembatas antara dirinya dan Aldebaran.
Aldebaran ingin masuk ke dalam, tapi Riana tak jua bergerak untuk membuka pintu.
“Kenapa pintunya nggak dibuka?” tanya Aldebaran. Tangannya mendorong pelan pintu pagar. Karena kurang sabar, ia mencoba mendobrak pintu.
“Nggak usah didorong-dorong. Pintunya udah digembok dan nggak akan aku buka. Kalau kamu mau ngomong, ngomong aja sekarang,” ucap Riana datar.
Aldebaran menghentikan gerak tangannya. Dia sudah sangat bersyukur Riana mau menemuinya meskipun harus dibatasi pagar untuk bisa bicara dengannya.
“Aku cuma mau bilang kalau pagi buta nanti aku pulang ke Purwokerto.”
Riana mengangguk pelan, “Udah?”
Aldebaran mengernyitkan dahi. Ia mengharapkan respons lebih dari Riana.
Riana berbalik. Aldebaran buru-buru memanggil namanya.
“Ri, aku bilang aku mau balik ke Purwokerto.” Aldebaran mengeraskan suaranya.
Riana berbalik dan menatap pria itu kembali.
“Terus?” tanyanya singkat.
Lagi-lagi dahi Aldebaran berkerut. Ia tak habis pikir Riana bisa sesantai ini. Ia pikir, Riana akan memohon untuknya agar tinggal sehari atau dua hari lagi di Bandung. Atau paling tidak bersikap lunak padanya, lebih ramah, tidak lagi datar dan kaku. Kalau perlu ia ingin sekali mengecup kening Riana, bahkan juga mencium bibirnya. Namun ia sadar, Riana tak akan mau disentuh.
“Terus apa? Kamu nggak ingin mengatakan sesuatu?” Aldebaran menatap Riana tajam.
Gadis itu menggeleng. Ia langsung berbalik dan masuk ke dalam panti.
Aldebaran terpaku. Sungguh, ke geregetan sendiri melihat sikap Riana yang begitu dingin padanya. Dengan langkah gontai, ia kembali ke mobilnya. Ia melirik sejenak bangunan panti itu lagi. Ia tak tahu, apa ke depannya akan kembali lagi ke tempat ini atau berhenti berjuang. Terkadang rasa sakit itu memintanya untuk berhenti, tapi jauh di lubuk hati ia ingin memenangkan hati gadis itu dan membawanya ke pelaminan.
Bunyi ponselnya membuyarkan lamunannya. Satu pesan dari Riana.
Hati-hati di jalan.
Segaris senyum terulas dari kedua sudut bibirnya. Ia bahagia mengetahui Riana masih peduli padanya. Ia masih ingin berjuang meluluhkan gadis itu. Ia ingin memantaskan diri untuk Riana. Ia tahu, Riana masih meragukannya. Ia tak akan berhenti untuk meyakinkan gadis itu.
******