Part 3

1541 Kata
Sepanjang jam pelajarannya, Helena masih memikirkan tentang tamu yang dibawa ayahnya ke rumah. Mau tidak mau, ia juga merasakan hal yang sama seperti yang ibunya rasakan. Takut kalau orang asing itu berbuat jahat pada keluarganya. Namun jika memang orang itu merupakan orang baik, bagaimana caranya nanti mereka berkomunikasi? Berbicara menggunakan Bahasa Indonesia yang baik saja ibunya terkadang kesulitan, bagaimana dengan bahasa asing? Jam pelajaran pada akhirnya selesai. Dengan cepat Helena membereskan tasnya dan pergi meninggalkan sekolahnya, mengabaikan panggilan teman-temannya yang menanyakan kenapa dirinya pergi begitu buru-buru. Helena memang tidak biasa bermain sepulang sekolah karena dia masih harus membantu ibunya untuk bekerja. Namun sudah menjadi kebiasaannya untuk kembali kerumah dengan berjalan bersama rombongan teman-temannya yang lain. Sementara kali ini, dia memilih untuk pulang lebih dulu karena ia merasa khawatir dengan keberadaan tamu di rumahnya. Dengan napas terengah, Helena duduk di atas tangga batu menuju teras rumahnya. Ya, meskipun rumahnya panggung, berdinding bilik dan berlantai papan, namun untuk terasnya dan tangga depannya terbuat dari batu dan cor yang dilapisi semen. Terasnya juga dipagari dengan semacam pagar batu yang diukir dengan bagian atasnya berbentuk persegi yang kokoh dimana kedua sudutnya terdapat pilar yang memiliki ukiran yang sama namun berukuran lebih besar. Dan dibagian luar teras, tepat di samping pilar, dengan sengaja diletakkan masing-masing satu buah tong plastik besar dan gayung kayu bergagang panjang yang biasa digunakan untuk mencuci kaki sebelum naik ke atas rumah. Atau digunakan untuk berwudhu saat mereka hendak pergi ke masjid. Helena melirik jendela kaca besar di bagian tengah rumahnya yang masih tertutup gorden berwarna merah muda kesukaan ibunya. Begitu juga dengan dua kamar yang ada di sisi kiri dan kanannya. Tampaknya, ibunya memang belum kembali ke rumah mereka sejak saat ibunya keluar bersamaan dengan Helena dan keluarganya yang lain tadi padi. Helena menyandarkan tasnya di pagar batu dan kemudian dengan sengaja berjalan mengelilingi rumah. Di setiap kamar rumahnya terpasang jendela vertikal berukuran lima puluh sentimeter kali satu meter. Selain jendela kamar, ada juga jendela dapur dan jendela samping rumah lainnya yang dibuat ayahnya untuk ventilasi udara. Dan kini, Helena berniat untuk memeriksa semua jendela itu hanya untuk memastikan kalau rumahnya masih aman-aman saja. Ia berjalan ke samping rumah dan melihat jendela satu kamar lainnya masih tertutup sama seperti jendela kamar lainnya. Dia berjalan ke bagian belakang rumah, memastikan jendela dapur dan juga pintu kayu dapur masih tertutup rapat sebelum berjalan ke sisi rumah lainnya dan memastikan jendela terakhir juga masih sama tertutupnya. Setelah yakin kalau tamu mereka tidak melakukan tindakan aneh, Helena kembali duduk di undakan batu rumahnya. Menarik napas dan melambai pada teman-temannya yang sudah mulai terlihat melewati rumahnya. “Meni rusuh, aya naon?” (Kenapa cepat-cepat, ada apa?) Tanya Yuni, salah satu teman baik Helena. Gadis berkuncir kuda itu berdiri di depan tanaman boxwood yang sengaja dibiarkan tumbuh untuk menjadi pagar halaman rumahnya tanpa berniat untuk mendekat. “Mules.” Jawab Helena singkat yang membuat temannya itu tertawa mendengarnya. “Voli moal?” (Voli gak?) tanyanya lagi ingin tahu. Helena melambaikan tangan seraya menggelengkan kepalanya sebagai tanda kalau dia tidak akan pergi. “Ngabatuan heula Emak. Sok weh de Voli mah, ngiring ramena.” (Bantuin Emak dulu. Silahkan saja kalau mau pergi Voli, ikut serunya aja.) ucapnya yang dijawab anggukkan Yuni. Helena juga meminta sahabatnya itu untuk memberitahu ibunya kalau ia sudah pulang dan Yuni menganggukkan kepalanya saja seraya berlalu pergi. Helena kemudian melepas sepatu dan kaus kakinya. Mencuci kakinya dengan menggunaan air dari tong dan mengeringkannya dengan keset yang ada di teras. Ia kembali mengambil tasnya dan berjalan mendekati pintu. Ia berjongkok di depannya dan merogoh ke bagian samping pilar teras untuk mencari kunci cadangan yang biasanya ayah atau ibunya simpan disana. Setelah berhasil menemukannya, ia membuka pintu dan mengucap salam dengan bisikan pelan seperti yang biasa ia lakukan jika tahu di rumah tidak ada siapa-siapa. Helena masuk ke kamarnya dan meletakkan tasnya. Mengganti seragam sekolahnya dengan kaus dan celana training sebelum berjalan menuju dapur. Perutnya sudah sangat lapar, dan ia ingin menghangatkan nasi yang dimasak ibunya. Menggoreng ikan asin yang akan ia santap dengan sambal goang kesukaannya. Ia menyalakan kompor minyak tanah supaya bisa lebih cepat digunakan dan meletakkan dandang di atasnya dan mengisinya dengan air sebelum meletakkan kukusan bambu kerucut dan meletakkan nasi yang sudah matang di atasnya. Sambil menunggu nasi kembali panas, Helena keluar dari pintu dapur untuk memetik beberapa butir cabai yang ditanam ibunya di bagian belakang rumah. Mencucinya dan kemudian meletakkannya di atas cobek batu. Mengupas satu siung bawang putih dan memotongnya menjadi dua bagian, mengiris sedikit gula merah dan mencubit sedikit garam gandu sebelum menguleknya. Setelah nasi yang ia hangatkan matang, Helena mengganti dandang dengan katel kecil dan menuang sedikit minyak ke dalamnya. Sambil menunggu minyak panas, Helena memindahkan nasi ke dalam baskom besar dan mulai ngakeul (Istilah Sunda untuk mengipasi dan mengaduk nasi panas supaya menjadi lebih pulen). Setelah ia melihat minyak di katela panas, ia mulai menggoreng dua ekor ikan peda berukuran sedang seraya melanjutkan akeul-annya. Helena baru saja menyendok nasi ke atas piring seng dan hendak mengangkat ikan asin dari katel saat ia mendengar bunyi benda jatuh yang cukup keras. Mengangkat katel dan meletakkannya di atas hawu lalu mengecilkan kompor, Helena berjalan cepat kembali ke tengah rumah. Satu-satunya yang ia curigai adalah tamunya, maka ia dengan cepat membuka pintu kamar yang dihuni tamunya itu dan cukup terkejut ketika melihat sang tamu tergeletak di bawah lantai dengan wajah meringis. “Sen kimsin?” tanya pria itu serak yang hanya bisa Helena jawab dengan tatapan bingung. “Bu nerede?” tanya pria itu lagi yang kembali dijawab Helena dengan kernyitan. Satu hal yang Helena bisa lihat dari pria bertubuh tinggi besar itu adalah, dia sedang merasa kebingungan. “Burasi Endonezya? Hala Endonezya’dayim?” Kali ini Helena menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pria itu kemudian melambaikan tangannya, seolah meminta Helena untuk mendekat. “Buraya gel, bana yardim et.” Ucapnya yang dijawab Helena dengan gelengan kepala. Pria itu terlihat kesal dan mengusap wajahnya dengan sebelah tangan yang kemudian mengernyit karenanya. “Ben simdi ne yapmaliyim?” tanyanya pada dirinya sendiri dengan kepala tertunduk. “Allah Allah.” Ucapnya dengan nada mengeluh. “You, Muslim?” tanya Helena dengan ragu dengan sedikit kosakata bahasa inggris yang dia tahu. Pria itu kemudian mendongakkan kepala dengan wajah berbinar. “Alhamdulillah, yes I am.” Jawab pria itu senang. “You speak English?” pria itu balik bertanya. Helena menggelengkan kepala. Pria itu kembali terlihat lesu. “Just a little.” Jawabnya malu yang membuat pria itu kembali tersenyum. “My name is Ahmed. You?” tanya pria itu pelan. “Helena.” Jawab Helena malu-malu. “Such a beautiful name.” puji pria itu yang membuat wajah Helena tersipu. “Where am I?” tanya pria itu lagi. “Is this still in Indonesia?” tanyanya lagi yang dijawab Helena dengan anggukkan. “Alhamdulillah.” Ucap pria itu lagi dengan penuh syukur. “My-father-bring you here.” Ucap Helena dengan terbata. “He…” Helena kembali menggaruk kepalanya dengan bingung. Ia kemudian berlari ke kamarnya dan mencari sebuah kamus tebal yang ada di rak bukunya dan kembali berjalan ke depan pria bertubuh besar itu seraya membuka kamusya. “found you-lying-at street.” Ucapnya kembali dengan terbata. Ketika Helena mendongak untuk melihat apakah pria itu mengerti perkataannya atau tidak, ia melihat pria itu sedang tersenyum ke arahnya. “Where is he?” tanya pria itu. “I have to thank him.” Lanjutnya lagi. Helena memiringkan kepala, mencoba mencerna ucapan pria itu. “He..work.” jawab Helena lagi yang dijawab anggukkan pria itu. “Are you hungry?” tanya Helena lagi. Pria itu memandang Helena sejenak lantas kemudian menganggukkan kepala. “Wait a moment.” Ucapnya lantas kemudian berjalan kembali ke dapur. Helena mengisi air dalam gelas besar, menyendok nasi dalam jumlah yang banyak ke atas piring dan setelahnya meletakkannya di atas nampan. Ia juga meletakkan piringnya dan piring kecil berisi ikan asin di samping piring dan gelas yang ia siapkan untuk tamunya. Setelah itu ia kembali berjalan ke kamar. Ahmed terlihat memandang ikan yang ada di atas piring kecil dengan dahi mengernyit. Ekspresinya tampak tak suka saat mencium wangi ikan asin yang Helena sodorkan kepadanya. “What is this? Is this a rotten fish?” tanyanya lagi masih dengan hidung mengernyit. Helena yang tidak mengerti apa yang pria itu katakana kemudian menyodorkan kamusnya. Pria itu kemudian membuka halaman dan menunjuk sebuah kata yang ada didalamnya yang membuat Helena menggelengkan kepala keras. Rotten berarti busuk. Tapi ikan asin bukan ikan busuk. “This fish not rotten.” Jawab Helena terbata. “This fish salted.” Entahlah ia bicara benar atau tidak, yang jelas itulah maksudnya. Helena kemudian memberikan pria itu contoh cara memakannya. Ia mencubit sedikit ikan asin, meletakkannya di atas nasi hangat dan mencomotnya sebelum kemudian mencocolkan nasinya ke atas sambal yang ada di dalam cobek dan memasukkan nasi itu ke mulutnya. Ahmed yang melihat Helena tampak tergiur dan kemudian melakukan hal yang sama. Tapi rasa pedas yang membakar mulutnya membuatnya terbatuk seketika yang membuat Helena tertawa. “It’s hot.” Ucapnya seraya meminum air dengan rakus. Helena hanya menganggukkan kepala dan kembali makan nasi dan ikan asinnya. Sementara Helena berpikir kalau dia dan Ahmed bisa berteman baik. Ahmed berpikir kalau Helena adalah gadis yang menarik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN