Part 4

1301 Kata
Helena tidak akan terkejut jika ia melihat ayah atau pamannya makan sampai berpiring-piring nasi saat mereka makan dengan ikan asin dan sambal. Tapi ia cukup terkejut ketika melihat tamu asing di depannya makan sampai tiga kali mengambil nasi padahal awalnya pria itu tampak tidak menyukai ikan asin dan rasa pedas sambal yang dimakannya. "Kamu menyukainya?" Tanya Helena dalam bahasa Inggris yang terpatah. Pria yang baru saja mengalami perampokan dan cidera itu memandang Helena dengan malu-malu dan kemudian menganggukkan kepala. "Rasanya berbeda, aku tidak pernah makan hal seperti ini sebelumnya tapi ini benar-benar nikmat." Ucap pria itu yang membuat Helena mengernyit bingung yang kemudian pria itu jelaskan dengan perlahan. Setelahnya Helena tersenyum. "Kau menghabiskan porsi makan ayah dan pamanku." Tuduhnya tanpa canggung yang membuat pria itu kembali tertawa namun minta maaf kemudian. "Kapan mereka pulang?" Tanya pria itu ingin tahu. Helena menyebutkan jam biasanya ayahnya pulang sambil membereskan bekas makan mereka ke dapur dibantu oleh Ahmed yang sedikit terpincang. "Duduk saja, biar aku yang melakukan semuanya." Ucapnya yang dijawab gelengan kepala Ahmed. "Aku bukan orang yang tidak tahu terima kasih." Ucapnya yang hanya dijawab kedikkan bahu Ahmed. Setelah meletakkan piring kotor di atas sebuah keranjang, Helena masuk ke sebuah ruangan yang disebut goah (gudang kecil yang ditutup dengan tirai kain) dan mengambil beras untuk ia masak supaya ketika ayah dan pamannya pulang bekerja makanan sudah matang. "Apa yang akan kau lakukan?" Tanya Ahmed ingin tahu. "Menanak nasi." Jawab Helena. Ia kemudian pergi keluar dari rumah dengan bakul nasi dan keranjang piring kotor menuju kamar mandi yang ada di belakang rumah. Saat Helena masih SD, ia harus pergi jauh menuruni bukit di belakang rumahnya menuju ke area pesawahan dimana sebuah kamar mandi umum yang berdinding bilik dan berlantai papan berada. Air yang mengalir menuju pancuran merupakan air jernih dari sungai yang dipergunakan oleh warga sekitar untuk mandi, memasak dan mencuci. Namun saat Helena sekolah menengah pertama dan mulai menstruasi, dia meminta ayah dan pamannya untuk membuatkan kamar mandi di dekat rumah supaya ia dan ibunya tidak harus berjalan terlalu jauh dan tidak takut kalau privasi mereka terganggu. Meskipun sebagian besar dinding kamar mandi mereka terbuat dari bilik dan pintunya dibuat dengan pintu yang terbuat dari seng dan kayu, juga ia harus repot menimba air setiap kalinya, ia tidak keberatan. Baginya itu jauh lebih nyaman dan aman daripada pergi jauh dari rumah dengan resiko diintip oleh para p****************g atau harus mandi bersamaan dengan penduduk desa lainnya. Ahmed jelas terlihat kebingungan dengan pemandangan yang ada di depannya. Dengan sedikit bahasa yang Helena tahu dan banyak bahasa tubuh ia mencoba menjelaskan pada Ahmed bagaimana cara menggunakan kuci pintu kamar mandi yang hanya menggunakan tali rapia yang dililitkan pada ke sebuah paku yang di tancapkan di daun pintu dan bagaimana cara menimba air yang kemudian dimasukkan ke dalam bak mandi atau bagaimana caranya Helena menyimpan air di dalam rumah untuk keperluan memasak. Pria yang kini Helena sadari memiliki ukuran tubuh yang jauh lebih tinggi dan besar daripada ayahnya yang bahkan kepalanya hampir mencapai langit-langit kamar mandi yang rendah itu hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil sesekali berekspresi kebingungan. "Teh!" seruan ibunya membuat Helena balas berteriak kencang. "Teteh, tamu urang kamana?" (Tamu kita kemana?) Tanya ibunya dengan nada panik sambil berjalan menuju kamar mandi dan terenyak kala sosok pria bertubuh tinggi besar tampak sedang menarik timbaan dan menumpahkan air dari ember menuju bak mandi. "Astagfirullahalazim." Seru ibunya panik. "Nanaonan eta si bule didieu?" (Sedang apa itu bule disini?) Tanya ibunya dengan mimik ngeri sekaligus geli. "Namina Ahmed, Mak." (Namanya) Jawab Helena, merasa namanya dipanggil pria yang bertubuh tinggi besar yang hampir menyentuh atap kamar mandi itu menoleh pada ibu Helena dan menyunggingkan senyumnya yang membuat ibu Helena balas tersenyum dengan ekspresi ngeri. "Ngartoseun kana bahasa urang?" (Dia ngerti bahasa kita?) Tanya ibunya dengan khawatir. Helena menggelengkan kepala. "Terus nanaonan atuh eta bule didieu? Nimba deuih. Dipiwarang kusaha eta si bule nimba?" (Terus ngapain itu bule disini? Nimba pula. Siapa yang nyuruh itu bule nimba?) Tanya ibunya ingin tahu. "Nya ku teteh we diajarkeun." (Ya diajarin aja sama teteh) Jawab Helena dengan polosnya. "Babari atuh Mak, ajarkeun we bahasa isyarat." (Mudah Mak, ajarin bahasa isyarat aja) Ucap Helena seraya terkekeh namun tetap tak bisa menghilangkan ekpresi takut di wajahnya. "Mak manggil Helena, ada apa?" Tanya Helena dengan bahasa orangtuanya. "Tadi Mak masuk rumah, pintu depan masih dikunci. Tapi lihat kamarnya si bule kebuka. Mak takut dia kabur." "Kabur kemana, dia sendiri kayaknya masih bingung ada dimana." Jawab Helena dengan santainya. Ia sudah selesai mencuci piring dan beras dan berjalan kembali menuju dapur rumahnya untuk menyalakan api. Ia kembali mengajarkan Ahmed cara membuat api yang benar. "Seperti membuat api unggun?" Tanya pria itu dengan bahasa inggris yang membuat Helena kembali membuka kamusnya. Helena menganggukkan kepala saat tahu maksud pria itu. "Ini terlalu sulit." Ucap pria itu yang hanya dijawab Helena dengan kedikkan bahu. "Maksudku sulit untuk remaja sepertimu." Lanjutnya yang lagi-lagi hanya dijawab Helena dengan kedikkan bahu. Sementara itu ibunya hanya memperhatikan interaksi keduanya dengan tatapan bingung. Dalam hati, wanita pertengahan tiga puluhan tahun itu bersyukur memiliki putri yang cerdas seperti Helena. Jika Helena tidak cerdas, ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya pada orang seperti Ahmed. "Teteh udah nanya dia asalnya darimana?" Tanya ibunya saat mereka sudah duduk di dapur dan memperhatikan api yang menyala di hadapan mereka sementara Ahmed tampak seperti turis yang melihat-lihat isi dapur mereka. Helena menggelengkan kepala. "Teteh baru tahu namanya aja, Mak." Jawab Helena apa adanya. "Kalo gitu, tanya dia. Asalnya darimana, kenapa dia bisa ada disini. Kalo dia penjahat gimana?" Tanya ibunya dengan ekspresi ketakutan dan tubuh bergidik ngeri. Helena hanya tersenyum. Ia memandang pria bertubuh tinggi besar yang sedang menggelitiki dagu kucing ibunya dengan bingung. Ahmed jelas pria yang lebih tua darinya, meskipun ia sendiri tidak tahu berapa usia pria itu. Jadi ia bingung harus memanggil pria itu dengan sebutan apa. Aa? Mas? Mr? atau apa? "Mmmm... Mr?" ucap Helena yang membuat Ahmed menegakkan punggungnya seketika. "Aku tidak tahu berapa usiamu." Ucapnya dengan terbata. "Dua puluh lima tahun." Jawab Ahmed. "Kamu?" "Tujuh belas." Jawab Helena yang diangguki Ahmed begitu saja. "Ibuku ingin tahu darimana Mister berasal?" "Haruskah kau memanggilku Mister?" Tanya Ahmed dengan kernyitan dahinya. Helena mengedikkan bahu. "Di tempat ini kami biasa menyebut Aa atau Akang untuk pria yang usianya lebih tua." "Panggil saja aku begitu. Karena di tempat asalku, memanggil Mister pada seseorang membuat orang itu terkesan tua." Ucapnya yang membuat Helena terkekeh. "Baiklah, A Ahmed rasanya tidak terlalu aneh juga di lidah." Gumam Helena dalam bahasa ibunya yang membuat Ahmed mengernyit bingung. "Jadi, darimana A Ahmed berasal?" tanyanya ingin tahu. "Turki." Jawab pria itu. Helena mengerutkan dahi. "Dimana itu Turki?" tanyanya bingung. Ahmed balik memandangnya bingung. Jelas Turki ada di Turki. Ucap pria itu dalam hati. Namun kemudian ia melihat Helena bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke bagian dalam rumah dan tak lama setelahnya menyodorkan buku kepada Ahmed. "Atlas." Ucap Helena menjawab kebingungan Ahmed. "Tunjukkan padaku dimana itu Turki." Pintanya. Ahmed membuka Atlas sambil menganggukkan kepala dan kemudian menunjuk sebuah tempat dalam peta. "Jauhnya.." gumam Helena yang membuat ibunya mendekat karena tertarik. "Apa itu?" Tanya ibunya ingin tahu. Helena menjelaskan bahwa dia bertanya pada Ahmed darimana pria itu berasal dan pria itu menunjukkan negaranya yang ternyata letaknya sangat jauh dari Negara yang mereka. "Jadi dia tetanggaan sama Arab? Apa dia udah haji? Eh dia muslim?" Tanya ibunya yang dijawab anggukkan Helena. "Dia bilang dia Muslim. Tapi teteh gak tahu dia udah haji atau belum." Ucapnya apa adanya. Sepanjang hari itu, sampai menjelang ayah dan paman Helena pulang mereka berbincang dengan Ahmed. Helena menjadi penerjemah meskipun gadis itu pun kesulitan dan terus membutuhkan bantuan kamus. Untungnya Ahmed tampak seperti pria yang sabar karena pria itu bersedia menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang ibunya ajukan dan menjawabnya dengan membuka kamus bahasa yang tampaknya akan menjadi pegangan Helena kelak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN