05 - Godaan Istri Durhaka

1428 Kata
BARU kerja satu hari, Rein terpaksa mengambil cuti lagi. Perutnya tidak beres setelah memakan nasi goreng buatan Irin. Entah apa yang salah, padahal ia merasa tidak ada masalah. Kemarin malam, telur dadarnya jadi dengan selamat. Paginya, Irin mencoba membuat nasi goreng dari nasi sisa semalam. Entah nasinya yang sudah basi atau perutnya yang tidak keruan, karena salah makan sebelum mencicipi telur dadar buatan istrinya. "Masih mulas, Rein?" Irin menghampiri dengan wajah khawatir. Jelas saja istrinya kepikiran soal masakannya yang bisa saja membuat sang suami sakit perut. Walau Rein tidak terlihat keberatan saat memakan masakannya, tapi bukan berarti semuanya baik-baik saja saat Rein menelan masakan buatannya, kan? Rein hanya mengangguk lemah. "Udah mendingan dari yang tadi," balasnya jujur. Dia jadi mager melakukan apa pun dan lebih memilih tidur dengan tubuh miring di sofa ruang depan. "Papa tadi nelepon, katanya kita disuruh main ke rumah." Rein berjengit dan menatap istrinya dengan tatapan seolah berkata, 'Lo lagi bercanda, kan?' "Enggaklah, beneran Papa nyuruh kita pulang. Beliau mau mastiin sesuatu katanya." Irin mengotak-atik ponselnya, lalu menunjukkannya pada Rein. "Nih, lihat sendiri record panggilannya tadi pagi." Rein menghela napas kasar, sekarang dia mengerti kenapa perutnya bisa mulas tiba-tiba. Bukan karena dia salah makan, tapi karena dia mau bertemu papa mertua. Jujur saja, Rein tidak punya masalah apa-apa dengan orang tua Irin, kecuali satu ... dia yang dulu sering kabur dari pelatihan renang papa mertuanya sewaktu ia kecil. Kenakalan masa kecilnya itu selalu dijadikan olok-olok yang membuat Rein malu kalau harus mengingatnya lagi. "Kalau udah baikan, ayo anterin gue pulang. Daripada lo di sini doang nggak ada kerjaan, kan? Mendingan juga ikut gue pulang, Rein." Rein meringis. Membayangkan dia akan duduk di depan papa mertuanya yang terus mengejeknya membuat perutnya mulas lagi. Ayolah, mungkin memang Rein yang terlalu parno dan berlebihan, tapi memang itulah yang ia alami setiap kali bertemu Verga. Padahal, dia bisa lulus kelas pelatihannya dengan nilai sempurna, tapi tetap saja, orang satu itu akan terus mengejeknya setiap kali mereka berjumpa. "Rein?" "Hm." "Mau, ya?" Irin menatapnya dengan wajah memohon yang tak kuasa Rein tolak. "Iya," balasnya, walau sekarang dia mau mual sendiri membayangkan dirinya akan berhadapan dengan Verga sebentar lagi. "Sana mandi dulu, abis itu gantian gue yang mandi." Rein mendengkus kecil. "Apa lo mau mandiin gue?" Irin langsung menimpuknya dengan bantal yang sejak tadi ia gunakan sebagai alas kaki. *** Rein dengar dari mamanya, dulu Verga seorang atlit renang internasional yang kemudian berhenti dan memilih meneruskan usaha keluarga. Sembari menjalankan usahanya, dia juga membuka kelas renang untuk anak-anak kecil yang ingin belajar renang darinya, dan Rein salah satu muridnya. Begitu mereka bertemu, Rein hanya bisa mojok dan diam saja, dia tidak berani bicara. Takut kalau dia diolok-olok lagi, karena dulu, Rein satu-satunya murid nakal yang suka bolos dari pelatihan dan lebih memilih main boneka bersama anak semata wayangnya, Irin. "Gimana keadaan kalian?" tanya Verga seraya menatap tajam menantunya. Irin bahkan terlihat biasa saja, tidak terlihat cedera sama sekali, tapi Verga bisa menatapnya setajam itu. Rein menghela napas kasar, dia juga memahami kalau ayah dari anak perempuan pasti seposesif Verga. Contoh saja ayahnya. "Baik, kok, Pa." Verga mengernyitkan dahi, dia menatap Rein seraya menaikkan sebelah alisnya yang membuat Rein menatapnya tidak mengerti. "Apa?" tanyanya tidak paham. "Kenapa, Pa?" tanya Irin yang ternyata juga tidak paham apa-apa. Apa sih maksud ini om-om satu? batinnya yang sama sekali tidak mengerti akan kode-kodean yang diberikan Verga untuknya. Virna datang membawakan minuman serta camilan di atas nampan. Rein langsung berdiri dan membantu mama mertuanya meletakkan minuman serta camilan yang ia bawa ke atas meja, sedang Irin hanya ternganga di tempat duduknya. Kok ... dia ..., batinnya yang kebingungan melihat interaksi Rein dengan mamanya. "Makasih, lho, Rein. Kamu dari dulu emang yang paling ngerti yang namanya bantuin Mama." Rein tersenyum canggung. Aslinya, itu kebiasaannya membantu Riri yang sering membawakan minum serta camilan saat teman sekolahnya main ke rumah. Rein tidak enak saja melihatnya, dia tidak bisa bantu membuat, jadi kalau bisa dia bantu menaruh saja. "Nggak apa-apa, Ma." Verga berdeham, Rein kembali ke tempat duduknya. Irin menyiku perutnya dengan perlahan. "Kapan lo suka bantu-bantu Mama?" "Udah lama," balasnya pelan. "Kapan? Perasaan lo jarang main ke sini sejak SMA?" tanya Irin sambil mengernyitkan dahinya curiga. "Waktu masih kecil, dia kan suka ke sini," jawab Verga yang kini mengedipkan sebelah matanya. Rein mendengkus pelan. "Jadi, bagaimana malam pertama kalian?" Kedua pengantin baru itu sontak terlonjak. Baik Irin dan Rein saling tatap tanpa banyak berkata, seperti saling bertukar kode yang tak dimengerti orang lain selain mereka berdua. Melihatnya saja membuat Verga langsung menghela napas kasar. "Menginaplah untuk malam ini," katanya seraya menatap putri semata wayang juga menantunya itu dengan bergantian. "Eh, tapi Irin nggak bawa baju ganti," jawab Irin yang kini menatap papanya. "Baju kamu kan banyak di sini, Rin?" balas Virna. Rein mendesis. "Aku nggak bawa baju ganti, Ma." "Kamu bisa pakai baju Verga, Rein. Aku yakin ukuran kalian nggak jauh beda, pasti masih muatlah kalau kamu yang pakai bajunya." Rein menatap Irin. 'Gimana?' Irin mengangguk. 'Nggak apa-apa, kan? Cuma semalam juga?' Rein mendengkus, dia tidak punya pilihan untuk menolak. Jadilah, dia hanya setuju-setuju saja saat Irin mengiyakan permintaan papa mertuanya. *** "GIMANA sama Rein, kamu baik-baik saja, kan?" Verga bertanya begitu Rein naik ke kamar putrinya. Irin menatap ayahnya serius, lalu menganggukkan kepala. "Sekarang masih baik-baik saja, Pa." Verga menghela napas lega. "Rein sudah tahu soal itu?" Irin terdiam cukup lama, sebelum menganggukkan kepala. "Iya, Rein sudah tahu, Pa." "Syukurlah kalau dia mau mengerti. Kapan kamu mau konsultasi lagi? Kamu tidak mungkin akan terus begini setelah menikah, kan?" Irin menggigit bibirnya dengan ragu. "Aku izin sama Rein dulu, ya, Pa?" Perempuan itu menaiki tangga, meninggalkan Verga yang menatap punggungnya khawatir. Irin memasuki kamarnya, dia bisa melihat Rein sudah rebahan di ranjang seperti biasa. Tubuhnya pun mendekat, duduk di samping suaminya, lalu dengan hati-hati tubuhnya merendah dan ia menyentuh wajah tampan Rein dengan perlahan. Tidak ada keanehan apa pun. Tidak ada yang ia rasakan. Sama seperti dulu, tidak ada gejala apa pun yang ia rasakan pada Rein, teman masa kecilnya. "Mungkin, nggak, sih, gue bisa nyoba sama lo?" tanyanya, sembari mengelus rahang suaminya yang tidak ditumbuhi bulu sama sekali. Tangan Irin tiba-tiba ditangkap oleh Rein yang membuka mata dan menatapnya tajam. Tatapan keduanya bertemu. Irin merasa sedang menyelami laut di mata hitam itu dan entah sihir apa yang Rein miliki, karena Irin tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya dan mulai mencium bibir suaminya. Keduanya sama-sama terdiam, bibir mereka hanya menempel tanpa melakukan apa pun, hingga Rein tersadar dan menarik tengkuk istrinya sebelum ia memperdalam ciuman mereka. Napas keduanya memburu, bibir mereka saling beradu, mengecap apa pun yang sanggup mereka jangkau, hingga Rein tak bisa lagi berdiam diri di tempatnya. Ia menarik tubuh Irin untuk jatuh menimpa tubuhnya, sebelum ia membalik posisi mereka. Irin tampak gelagapan begitu ciuman mereka terlepas. Napasnya tak beraturan di bawah tatapan elang suaminya. "Re-rein," panggilnya, begitu perempuan itu tersadar. Dia berusaha mendorong Rein menjauh, tapi Rein sama sekali tak bergerak. Laki-laki itu masih di sana, menatap lurus matanya, tanpa mengeluarkan ekspresi apa pun yang sanggup membuat Irin menggigil ketakutan. "Minggir, dong, ah!" Rein tidak bereaksi. Dia mendekatkan wajahnya, lalu kembali mencium bibir istrinya lagi. Namun, kali ini berbeda. Irin menolaknya. Dia terus berusaha mendorong d**a Rein untuk menjauh dari atas tubuhnya. "Kenapa?" tanya Rein pedih. "Kenapa lo nolak gue setelah lo godain gue tadi, hm?" "Ish, siapa juga yang godain!" Irin lagi-lagi mendorong tubuh Rein untuk menjauhinya. "Minggir, dong!" Rein menghela napas kasar. Dia pun bangkit dan membiarkan istrinya lepas. Dalam hati, dia mengumpat berulang kali. Bangun tidur langsung dicium, tapi digantung di tengah-tengah jalan itu memang rasanya sesuatu sekali. Irin bisa melihat Rein memalingkan muka, saat ia mencari-cari di mana bola matanya berada. Jantungnya masih bertalu-talu, tapi perasaan cemas yang selama ini ia rasakan saat berciuman dengan pria tidak timbul seperti biasa. Kali ini saja ia berpikir, mungkin dia bisa mencobanya dengan Rein. Walau kecanggungan itu pasti ada, tapi ... ini semua layak untuk dicoba. "Lo kenapa nggak mau natap gue? Ngambek?" Rein mendengkus, dia bangkit dan langsung berjalan menuju kamar mandi. "Pikir aja sendiri." Irin turun dari ranjang dan langsung mengejar suaminya. "Beneran ngambek lo?" Irin memegangi lengan Rein yang belum menghilang di balik pintu kamar mandi. Rein mendelik ke arahnya. "Lepasin, Rin, gue mau mandi." "Idih, ngambek kenapa lo? Karena digantungin gitu aja, apa karena ciumannya nggak dibales?" Rein memegangi bahu Irin dan menatap istrinya dingin. "Kalau lo cuma niat mau ngolok-ngolok gue atau cuma mau godain gue doang, mendingan berhenti. Kalau gue sampai lepas kendali, gue perkosa lo sekarang." Rein melepaskan istrinya dan langsung sembunyi di kamar mandi. "Kok serem, ya?" ____
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN