06 - Hasrat Laki-laki

1421 Kata
SETELAH berciuman dengan Irin beberapa saat lalu, Rein mulai merasa ada yang tidak beres dengan otaknya. Pikiran-pikiran m***m terus berkeliaran, mengusik, dan meminta pelampiasan. Sebenarnya, hal itu tidaklah sulit. Rein hanya tinggal mencari jalang di luar sana, lalu menidurinya seperti biasa, maka ketenangannya akan kembali. Masalahnya, sudah sebulan lebih ia belum pernah menyalurkan hasrat. Dan Irin membuat perjanjian yang sukses membuat Rein berpikir berulang kali untuk jajan di luar. Laki-laki itu berdecak. Dia mendelik ke arah Irin yang entah sejak kapan telah bersender di bahunya sambil nonton TV di rumah papa mertua. "Kenapa, sih?" tanya Irin dengan wajah tidak berdosa. "Mau apa lo di sini?" tanyanya malas. "Nemenin suami nonton TV." Rein mendelik. "Gue bisa sendiri." "Gue mau nemenin, nggak, boleh?" Rein mendesah kasar. Dia mendorong Irin agar menjauh darinya, kalau perempuan itu kembali dekat-dekat, entah apa yang bisa Rein perbuat padanya. "Jangan deket-deket." "Kenapa?" Irin memalingkan kepala dan langsung bergelayut di lengannya. "Udah lama lo nggak pernah meluk gue." Jika dipikir-pikir memang benar. Sudah lama Rein tidak pernah memeluk Irin. Kapan terakhir kali dia memeluknya? Sepertinya ... sudah bertahun-tahun yang lalu. "Dulu lo kecil banget, Rein. Gue bisa narik-narik lo semau gue, gue bisa peluk-peluk lo dengan bebas. Sekarang? Jangankan bisa narik lo, meluk lo aja nggak bisa puas." Tangan Irin tidak sampai memeluk dadanya, padahal dulu Rein terlalu kecil untuk perempuan itu sampai bisa dia diseret-seret ke mana pun Irin mau. Rein tak kuasa tertawa. "Gue kan makan, Rin, makanya bisa gede gini." Dia tentunya hanya bercanda. Irin pasti tahu soal pria dewasa yang sudah melewati masa pubertas di mana suara dan bentuk tubuhnya berubah. Namun, soal perempuan itu berikutnya, ternyata lebih berbahaya dari yang ia duga. "Yang bawah sana nambah gede kayak badan lo atau nggak, ya?" Irin tersenyum kecil, sedikit menggodanya. Rein mendelik. "Jangan nantangin, lo tahu gue nggak akan bisa nahan. Kalau lo emang mau, bilang aja, gue kasih servis memuaskan." Dalam hatinya Rein mengharapkan itu. b******a dengan Irin terdengar lebih menyenangkan daripada menyewa jalang di luar sana. Lebih baik dia tidur dengan istrinya, bisa setiap malam, bisa puas, dan bisa selalu minta tambah. "Dasar m***m!" Irin mengelus-elus d**a suaminya dari luar baju. "Lo beneran pengin emangnya?" Mata pria itu menggelap. "Jangan ngegodain gue terus, sayang. Gue bener-bener bisa merkosa lo kalau lo terus macam-macam kayak gini." Rein memegangi tangan Irin yang sejak tadi meraba dadanya. Dia langsung terlonjak begitu satu tangan lain milik perempuan itu meraba miliknya di bawah sana. "Anjir, udah bangun. Cepet amat!" Irin langsung bangkit berdiri, tapi Rein masih memegangi tangannya. Ekspresi laki-laki itu benar-benar serius sekarang. "Sini!" Irin menggeleng panik. "Nggak, nggak, nggak!" "Dari tadi lo godain gue mulu. Coba sini, lepas celana terus ngangkang di atas gue." Irin menelan ludah susah payah. Dia memukul pelan kepala Rein menggunakan tangannya. "m***m banget, sih, lo! Cuma digrepe-grepe gitu, masa udah—" Rein menarik Irin dengan kuat hingga tubuhnya limbung dan jatuh di sebelahnya. Rein segera mengunci pergerakan perempuan itu dan memenjarakannya di sofa. Tatapan keduanya bertemu. Rein yang tampak serius dengan ekspresi dingin itu membuat Irin takut. "Rein!" "Hm." "Lo mau ngapain?" "Mau ngapain? Lah, gue kan udah bilang dari tadi." Rein memandangi bibir merah Irin yang terlihat tengah menggodanya untuk lekas ia cicipi. Rein langsung mendekatkan wajahnya, mencium istrinya sembari menahan tubuhnya agar tidak menimpa istrinya sepenuhnya. Dulu, Irin memang lebih besar darinya. Namun, sekarang, Irin hanyalah perempuan kecil yang bisa ia remukkan begitu saja dengan tubuh besarnya. Irin menyambut ciumannya dengan baik. Semuanya terasa pas, semuanya terasa sempurna. Rein benar-benar merasa dirinya akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Tangan pria itu mulai bergerak mencari-cari, menyingkap kaus yang Irin gunakan dan siap membelai perut rata istrinya yang benar-benar menggoda jemarinya. Dilepaskannya ciuman mereka, ditatapnya Irin yang kini menganggukkan kepala memberinya izin, dan Rein pun menggila. Jemari tangannya menangkup dua buah gumpalan di balik kaus istrinya, lalu meremasnya dengan perlahan. Sedang bibirnya mulai menghujani leher Irin dengan ciuman. Istrinya tampak mendesah atas apa yang Rein lakukan dan Rein siap melanjutkan semua ini sampai tuntas sekarang juga. "Ehem!" Dehaman itu membuat Rein berhenti. Dia lantas menarik diri dan dia bisa melihat Irin dengan pipi memerah dan memalingkan mukanya ke arah lain yang tampak menggemaskan sekali di matanya. "Kalian kalau mau melakukannya, setidaknya cari kamar dulu, jangan di ruang santai begini. Papa ngerti kalau kalian memang pengantin baru, tapi tahan diri kalian di tempat seperti ini, mengerti!" Rein melirik papa mertuanya sinis. "Papa harusnya balik badan dan pura-pura tidak lihat saja, ngapain pakai komentar segala?" Verga membalas tatapan menantunya dengan ekspresi tajam. "Papa ada kepentingan di sini, jadi lebih baik kalian pindah tempat sebelum Papa usir sekalian dari rumah ini karena tingkah m***m kalian itu." Rein melirik Irin yang akhirnya duduk setelah membereskan kausnya. "Gimana sayang, jadi mau pindah?" Irin mendelik, tapi Rein hanya tertawa. Pria itu berdiri dan berjalan lebih dulu menuju kamar Irin, sembari menunggu kedatangan istrinya. "Sepertinya, kamu baik-baik saja dengannya." Irin mengangguk lemah. Dia berharap, Rein bisa mengobati trauma yang telah ia derita sa.a bertahun-tahun lamanya. Walaupun Irin telah berobat ke psikiater berulang kali, tapi tidak terlalu bisa menyembuhkan ketakutan yang selalu ia rasakan di dalam hati. Kecuali, dia mencoba mulai membuka diri dan menerima seseorang laki-laki yang benar-benar bisa dia percayai untuk menyentuhnya dengan hati-hati. Dan ia memilih Rein, teman masa kecilnya. Dia menaruh banyak harapan pada Rein sekarang. Dan semoga ... Rein tidak akan mengecewakannya. *** SAAT itu dia mulai bertanya-tanya. Kenapa istrinya—yang sejak hari pernikahan mereka mengatakan tidak mau melakukan hubungan intim dan akan mengakhiri pernikahan dua bulan kemudian—tiba-tiba saja mengizinkan Rein untuk menyentuhnya? Kenapa Irin tiba-tiba mau melakukannya? Apa yang sebenarnya ada di kepala istrinya itu? Kalau Irin memang mau b******a dengannya dan sengaja memberikan ancaman itu agar Rein tidak berselingkuh di kemudian hari. Irin hanya tinggal bicara dan Rein pasti menuruti semua kata-katanya. Irin tidak perlu mengancamnya, karena Rein tidak pernah main-main dengan pernikahan mereka. Namun, Irin telah melakukannya. Jelas ada alasan di balik semua kalimat yang pernah istrinya lontarkan. Rein menghela napas kasar. Dia menatap pintu kamar yang kemudian terbuka dan Irin muncul dengan senyuman lebar yang terlihat mencurigakan. "Mampus, kan, ketahuan!" Irin terkekeh, nada suaranya tampak normal dan penuh canda. Sangat berbeda sekali dengan Irin yang menganggukkan kepala dan mengizinkan Rein untuk terus menyentuh tubuhnya beberapa saat lalu. Apa kepribadian istrinya bisa berubah dalam sewaktu-waktu? Rein mengernyitkan dahi, tapi kemudian dia menanggapi omongan Irin dengan santai. "Nggak apa-apa. Kan, wajar, Rin, namanya juga pengantin baru." Irin bersedekap d**a. "Emang nggak ngerasa gimana gitu abis ke-gap sama orang tua sendiri?" Rein mengangkat bahunya santai. "Sekarang dia nggak ada di sini, kita lanjutin yang tadi?" Irin melotot. "Nggak! Nggak! Gue mau tidur, cape banget tahu." Perempuan itu menyerobot masuk melewati Rein yang masih berdiri di dekat pintu. Tatapan suaminya tampak mengintimidasi, walau Rein hanya diam saja, tapi rasanya memang sesuatu sekali. "Rein!" "Hm." "Jangan bilang lo emang mau ngelakuin 'itu' sama gue?" tanya Irin yang sudah menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. "Kalau iya memangnya kenapa? Lo tetap nggak mau ngasih jatah gue, ya?" Rein mendekati Irin, duduk di sisi ranjang menatap istrinya yang kini memalingkan wajah ke arah lain. "Bener, lo cuma mau godain gue doang dari tadi? Lo nggak ada niat buat ngasih gue keseriusan sama sekali, Rin?" Rein bisa melihat kalau Irin sedang menggigit bibir bawahnya. "Hm ... kasih gue waktu." "Buat apa?" tanya Rein yang kini mengernyit tak mengerti. "Biar gue bisa yakin, kalau lo emang bisa gue titipin hati yang lemah dan tak berdaya milik gue ini." Rein sontak tertawa mendengarnya. "Hati lo lemah dan tak berdaya, tapi lo suka banget mainin perasaan orang. Jadi, kayak gimana itu bentuknya?" Irin menatap suaminya kesal. "Kalau nggak mau, ya udah, dua bulan kemudian kita——" Rein mendekatkan wajahnya dengan cepat hingga berada tepat di depan wajah istrinya. "Kalau lo emang serius mau menjalani pernikahan ini sama gue, jangan ungkit kata-kata itu lagi, ngerti?" Irin hanya bisa mengangguk sembari menelan kalimatnya kembali. "Kalau lo butuh waktu, oke, gue bakal kasih berapa lama pun yang lo mau. Tapi syaratnya, lo harus janji sama gue, kalau lo nggak boleh ninggalin gue demi cowok lain." "Iya sama," Irin memalingkan muka, "lo nggak boleh ninggalin gue buat cewek lain!" katanya berapi-api. "Oke." Rein mengecup pelan pipi istrinya. "Gue mau mandi, mau mandiin gue, nggak?" Irin mendorong tubuh Rein untuk menjauh dari sisinya. "m***m banget! Nggak mau gue!" Rein hanya tertawa terbahak-bahak dan menuju kamar mandi dengan segera. Meredakan nafsu dan mengembalikan pikirannya kembali sedia kala, atau dia benar-benar akan menggila dan memerkosa istrinya. "Ck, sejak kapan otak gue jadi kayak gini?" ____
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN