Bela menggeliat pelan di atas tempat tidur. Kelopak matanya perlahan terbuka, pandangannya kabur pada awalnya. Namun, perlahan-lahan sekitarnya mulai terlihat jelas.
Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit putih dengan lampu yang dinyalakan temaram. Lalu sebuah botol infus lengkap dengan selangnya yang menancap di tangannya.
“Hah?” Ia mendesah pelan, bingung dan gelisah. Karena yang terakhir kali ia ingat adalah pemotretan prewedding di rumah salah satu kliennya.
Bela berusaha bangkit, namun kepalanya yang pening menahan tubuhnya tetap berbaring di kasur. Sampai kemudian, sebuah suara menyapa telinganya.
“Jangan bangun dulu, badan kamu masih lemah.”
Reflek, Bela menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria bertubuh jangkung dengan bahu lebar berdiri di samping ranjang Bela. Penerangan yang temaram serta jendela kamar yang terbuka menampilkan cahaya dari lampu kota membuat wajah pria itu tak terlalu terlihat.
Bela memicingkan mata, pria itu maju selangkah. Saat cahaya dari lampu di langit-langit kamar itu menerpa wajahnya, barulah Bela bisa melihat dengan jelas gurat-gurat kegelisahan di wajah Tristan.
Ya, pria itu Tristan. Tampak sedikit kusut dengan kemeja yang beberapa kancingnya terbuka serta lengannya digulung hingga siku. Rambutnya yang biasanya disisir rapih kini tampak jatuh ke keningnya.
“Tristan?” lirih Bela seolah ingin memvalidasi penglihatannya.
Pria itu menghela nafas pelan, duduk di tepi ranjang. “Gimana keadaanmu? Masih pusing?”
Bela tak menjawab, masih mengunci tatapannya pada Tristan. Situasi ini terasa seperti saat mereka masih bersama, tatapan Tristan yang lembut dan penuh perhatian serta atmosfer hangat yang tercipta—terlepas dari pendingin ruangan yang sepertinya diatur cukup rendah.
Bela nyaris saja tenggelam dalam keakraban dan kehangatan yang ditawarkan Tristan, jika saja ia tidak ingat tentang bagaimana pria itu terus mendesaknya untuk menyerahkan anak yang ia kandung padanya.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Bela waspada.
Sebersit keterkejutan menyapu ekspresi Tristan. Raut wajahnya yang tadi tampak lelah dan dipenuhi kegelisahan, kini kembali mengeras dan dingin.
Dan Bela—tanpa sadar, sudah merindukan wajah Tristan yang melunak seperti tadi.
“Kamu pingsan dan perdarahan. Alya sama kamu tadi kan? Dia yang meneleponku karena dia nggak tahu harus mengabari siapa soal kondisimu.” Tristan menjawab dengan nada bicara yang tak lagi hangat.
Ia tak berbohong soal Alya yang meneleponnya. Karena saat ia di perjalanan menuju rumah sakit tempat Bela dilarikan, Alya memang mengabarinya soal kondisi Bela.
“Kalau gitu, kamu boleh pergi. Toh, aku sudah sadar.” Bela mengusir tanpa basa-basi.
Tristan diam, sama sekali tak beranjak dari tempatnya duduk. Tatapannya pun tidak seinci pun beralih dari wajah Bela.
“Kenapa belum pergi?” tanya Bela, mulai merasa tak nyaman ditatap sedemikian intens oleh Tristan.
“Aku punya hak buat tetep ada di sini.” Tristan menjawab tanpa berkedip.
“Memangnya apa hakmu? Keluarga, bukan. Saudara, juga bukan.” Bela menyahut ketus.
“Kamu lupa kalau aku adalah ayah dari bayi yang kamu kandung? Jadi aku punya hak untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Caranya, dengan memastikan ibunya baik-baik saja.” Tristan tersenyum jumawa, merasa menang. “Nah, sekarang kamu mau ngapain dulu? Mandi, makan, atau tidur lagi?”
Bela mengerutkan kening, bingung bercampur kesal. “Aku bilang, pergi aja.”
“Dan aku juga udah bilang, aku nggak mau pergi.” Tristan bersikeras, menyedekapkan tangan di depan d**a.
“Tristan!”
“Iya, Bela?”
Bela mendengus mendengar Tristan memanggil namanya dengan lembut begitu. Ia memalingkan wajah. “Jadi kamu nggak mau pergi?”
“Enggak. Titik.”
“Gimana kalau suamiku datang?” tanya Bela hati-hati, seolah menguji jawaban Tristan.
Tristan tampak menegang sesaat, mungkin kaget. Tapi kemudian ia hanya mengedikkan bahu tak peduli. “Dia nggak akan datang.”
“Tahu dari mana?”
“Insting.”
Faktanya adalah Tristan tahu dari mata-matanya bahwa Davka sedang berada di luar negeri karena urusan pekerjaan. Ia juga tahu dari anak buahnya bahwa Bela dan Davka sudah proses bercerai. Jadi tidak ada alasan untuk Davka datang ke sini.
“Nah, daripada kita bertengkar untuk urusan sepele, mending kamu pilih, mau tidur lagi, makan, atau mandi?” Tristan mengembalikan topik semula.
“Memangnya kalau mandi ada baju gantinya?”
Tristan mengambil sebuah paper bag besar dan meletakkannya di atas kasur. “Aku nggak tahu seleramu masih sama atau sudah berubah,” katanya tanpa konteks.
Bela mengernyit, tapi kemudian ia perlahan-lahan bangkit untuk duduk dan memeriksa isi tas itu.
Ada dua set piyama tidur, dua set celana dan blouse, perlengkapan mandi serta satu set skincare high end lengkap dengan produk make up dasar.
“Kamu yang beliin ini buat aku?” tanya Bela dengan mata melebar kaget.
Tristan tersenyum puas melihat ekspresi Bela. “Iya. Kecuali kamu mau aku masuk ke butik kamu terus nyari sendiri barang-barang kamu. Mau?”
“Enggak, enggak.” Bela menyahut cepat. “Tapi ini … eh, kamu kan kaya. Segini mah nggak seberapa,” imbuhnya sambil melirik sinis.
Tristan nyaris tertawa. Ekspresi Bela saat ini persis seperti ketika dulu ia masih berpacaran dengannya dan sering memberi Bela hadiah. Bela selalu terkejut pada setiap hadiah yang Tristan beri, matanya berbinar senang, lalu melontarkan kalimat pamungkas itu.
“Kamu kan kaya, segini mah nggak seberapa.”
Meski begitu, senyum di bibir Bela tak pernah luntur. Beda dengan saat ini. Wanita itu memeriksa setiap pemberian Tristan dengan wajah merengut kesal.
“Kenapa? Nggak cocok?” tanya Tristan hati-hati.
“Bukan.” Bela menggeleng, mengeluarkan barang terakhir dari tas.
“Terus kenapa?”
Akhirnya Bela mendongak, menatap Tristan dengan sorot mata yang perlahan-lahan melunak. “Kenapa kamu masih ingat kalau aku suka pakai brand ini, suka piyama panjang begini, suka baju dengan potongan begini, bahkan shade lipstik dan cushion yang cocok di aku juga kamu masih ingat. Kenapa? Kenapa kamu masih ingat semuanya?” Suara Bela terdengar sedikit bergetar di akhir, menandakan ia mulai kesulitan mengatur emosinya.
Tristan tak langsung menjawab. Ketegangan yang tadi menghampiri seluruh otot di tubuhnya luntur begitu melihat ekspresi Bela. Tangannya berkedut, ia ingin menggenggam tangan Bela sekarang tapi menahan diri sekuat tenaga.
“Aku masih ingat semuanya, Bela. Aku juga masih ingat kebiasaan-kebiasaan kecilmu, bahkan cemilan favoritmu kalau kamu lagi bikin sketsa.” Suara Tristan rendah dan penuh nostalgia. “Aku juga ingat gimana kamu biasanya sering lupa makan dan tidur kalau lagi sibuk. Aku yakin, gara-gara itu kan kamu pingsan?”
Bela menghela nafas bergetar, matanya memanas. “Kalau kamu masih ingat semuanya, kenapa … kenapa dulu kamu mengkhianatiku?”
Tristan terkesiap, tak menyangka kalimat itu akan terlontar kembali. Kalimat itu ditanyakan oleh Bela padanya berkali-kali. Dan berkali-kali pula, Tristan tak pernah bisa menjawabnya. Bukan karena tidak ada jawabannya, tapi karena dulu, Tristan belum punya cukup keberanian untuk mengakui kebodohannya.
Sekarang, apakah masih ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu?